PRODUKSI gula nasional sedang memasuki musim paling bagus. Kini, dari setiap hektar perkebunan tebu, bisa diperoleh gula kristal 7,2 ton -- naik hampir satu ton dibandingkan tingkat produksi dua tahun lalu. Bagusnya tingkat rendemen itu ikut memperbaiki produksi gula nasional yang, sampai Oktober lalu, sudah mendekati 1,9 juta ton. Angka itu, konon, hampir sama dengan konsumsi tahunan orang Indonesia. Agak mengagetkan juga ketika, pekan lalu, Kepala Bulog Bustanil Arifin mengungkapkan upayanya mengimpor 160 ribu ton gula dengan harga US$ 34 juta. Gula itu dibeli, kabarnya, untuk menambah persediaan Bulog karena persediaan, yang kini tinggal 650 ribu ton, itu dianggap terlalu sedikit untuk memenuhi permintaan gula tahun depan. Menurut Bustanil, tingkat produksi gula lokal, yang mendekati dua juta ton, sebenarnya cukup untuk memenuhi konsumsi dalam negeri. "Tapi, Bulog tak punya tambahan persediaan," katanya. Ia menambahkan, untuk membentuk persediaan selama dua atau tiga bulan, produksi gula nasional harus jauh berada di atas angka konsumsi yang 1,9 juta ton. Usaha memasukkan gula impor, yang harganya cuma Rp 165 per kg, tetap menarik perhatian. Baru sekitar tiga bulan lalu, orang ribut mengenai masuknya gula impor dalam jumlah besar. Keran impor di luar Bulog itu baru bisa ditutup sesudah gula pasir dari luar tadi sempat masuk 10 ribu ton lebih. Karena gula impor itu bisa dijual dengan harga Rp 500 per kg di tingkat grosir, kalau Bulog suatu saat menghadapi kesulitan likuidltas atau perputaran uangnya seret, hasil penjualan gula impor itu tentu akan banyak menolong. Benarkah Bulog kesulitan? Bustanil memang ada menyebut kerugian Bulog Rp 80 milyar lebih gara-gara harus mengekspor kembali beras yang dibelinya sekitar 600 ribu ton. Beras itu semula dibeli Rp 260 per kg, tapi karena harga di luar sedang jatuh, Bulog terpaksa melepasnya dengan Rp 170 per kg. Untung, pemerintah mendevaluasikan rupiah. Kalau tidak, kerugian Bulog, "akan mencapai Rp 130 milyar," katanya. Tak heran kalau orang menyangka usaha Bulog mengimpor 160 ribu ton gula itu merupakan salah satu ikhtiar untuk menutup utang. Tapi, apakah impor masih diperlukan bila produksi gula lokal sudah jauh di atas tingkat konsumsi nasional? Menurut catatan Ditjen Perkebunan, produksi gula dari pelbagai perkebunan negara dan swasta, tiga tahun terakhir ini, sebenarnya naik cukup baik. Tahun ini, sampai akhir Oktober lalu, produksi gula nasional sudah mencapai 1,86 juta ton -- padahal produksi seluruh tahun lalu baru sekitar 1,73 juta ton. Naiknya produksi gula itu, konon, karena usaha intensifikasi cukup berhasil. Di wilayah Perkebunan XV dan XVI, yang lahannya terbentang dari Brebes, Jatibarang, Kudus, sampai Klaten, misalnya, produksi gula kristal setiap hektar kini sudah mencapai 7,43 ton. Tapi, untuk mempertahankan tingkat produksi yang tinggi itu, petani harus diberi insentif dalam bentuk harga beli yang bagus -- sekalipun akhirnya menyebabkan harga gula lokal melebihi harga internasional. Untuk itu, harga gula harus dijaga tidak boleh terlalu jatuh, hingga nilai ekonominya berada di bawah beras. Sekarang saja, penanaman tebu bisa dilakukan hanya karena setiap petani kena kewajiban menanam sawah mereka dengan tebu secara bergiliran. Di Ja-Tim, giliran itu berlangsung tiga tahun sekali, dan di Ja-Teng empat tahun sekali. "Seperti siskamling," kata seorang pejabat Departemen Pertanian. Sayang, usaha memacu produksi dengan mensiskamlingkan petani itu tetap belum bisa mengejar kecepatan tingkat konsumsi masyarakat. Buktinya, tahun ini, Bulog masih harus mengimpor gula dalam jumlah besar karena konsumsi gula ditaksir akan mencapai dua juta ton, atau bertambah 10 ribu ton dibanding konsumsi tahun lalu. "Produksi gula memang meningkat, tapi konsumsi gula masyarakat naik lebih hebat, kata Sukriya Atmaja, Wakil Kepala Bulog. Naiknya konsumsi gula di dalam negeri tentu bukan picu bagi Bulog memperbesar impor gula. Sebab, jika peredarannya tak terkontrol, yang bakal kena tonjok duluan tentu para petani juga.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini