Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Perang merk dan bikinan lokal

Persaingan ketat terjadi dalam perdagangan perlengkapan kesegaran jasmani. mulai dari kostum, kaset musik senam, hingga alat-alat senam. sedikitnya 7 merk terkenal eks impor berebut pasar. (ksh)

27 Desember 1986 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

FITNESS boleh jadi sudah merupakan kebutuhan. Memang, belum yang utama. Tapi, paling tidak, dalam posisi tengah digandrungi sekarang ini, ia bak madu yang tengah dikerubuti semut. Para semut, siapa lagi, ialah para pengusaha. Dan juga segelintir wiraswastawan yang tahu bagaimana memanfaatkan kesempatan. Mereka ini bersaing dalam menyediakan apa saja yang diperlukan para peminat kesegaran jasmani. Mulai dari kostum, kaset berisi musik pengiring senam, hingga alat-alat senam. Di beberapa kota kini terasa persaingan itu makin ketat. Sebab, untuk alat senam saja, misalnya, sekarang ini sedikitnya terdapat 7 merk terkenal eks impor yang berebut mencari pembeli. Didukung kuat kantor pusat masing-masing, mereka itu: Kettler (Jerman Barat), Tunturi (Finlandia), Universal, Notilus, Multi Game, dan Paramount (semuanya buatan AS) serta yang terakhir Senoh (Jepang). Untuk sementara, yang tercatat paling laku tampaknya Universal. "Mungkin karena merk ini yang pertama kali dipakai di sini oleh KONI," kata Rukmana Rachmat, 35, Asisten Manajer Divisi Omega dan Peralatan Olah Raga PT Pantja Niaga, persero pemerintah yang kini jadi agen tunggal Universal buat Indonesia. Pantja sudah sejak 1970 mengimpor pelbagai peralatan olah raga. Terutama untuk memenuhi pesanan KONI Pusat. Adalah induk organisasi olah raga ini yang mula-mula memesan alat senam multistationer (16 fungsi) buatan Universal. Lalu, langkah ini ditiru oleh lembaga lain, antara lain Direktorat Keolahragaan P dan K. Sebelum 1980, menurut Rukmana, pasar buat peralatan alat senam tadi belum besar. "Omset tahunan kami hanya berkisar Rp 60 juta saja," kata staf yang sudah bekerja 9 tahun di PT Pantja Niaga itu, pada Happy Sulistyadi dari TEMPO. Baru setelah itu, permintaan terasa meningkat. Tak hanya dari lembaga resmi keolahragaan, tapi juga banyak badan swasta. Sejumlah pusat kesegaran jasmani, di antaranya Kelapa Gading dan International Petroleum Club, membeli alat senam mereka dari persero pemerintah ini. Wajar jika omset Divisi Omega Pantja itu pun melonjak cepat, mencapai Rp 300 juta setahun. Kini, selain agen tunggal Universal, Pantja juga menjadi agen tunggal produsen alat senam lain: Senoh, buatan Matsudu dan Gunma, Jepang. Masuknya produk Jepang ini, tak pelak lagi, memperketat persaingan merebut pangsa pasar. Ini menyebabkan harga pun bersaing. Dengan keistimewaannya masing-masing, alat multistasioner, umpamanya, dijual Universal dengan harga sekitar Rp 30 juta (16 fungsi) sedangkan Paramount menjualnya Rp 30 juta (11 fungsi). Kompetisi ketat. Maka, tak ada jalan lain, para produsen alat senam pun terpaksa menggencarkan promosi penjualan barang mereka. Di Bandung, agen tunggal Kettler dari Jer-Bar, Sabtu pekan lalu, untuk pertama kalinya membuka pekan promosi produk mereka. Pelbagai alat senam dari yang berharga ratusan ribu hingga jutaan rupiah diperkenalkan dalam pameran yang mereka beri nama Kettler Spon Fair. Kini, diageni PT Jempol, Kettler sudah sejak 1985 dipasarkan di sini, bekerja sama dengan PT Gunung Agung. "Sasaran kami terutama pemilik Fitness Center dan pembeli dari kelompok menengah atas," kata Robby Loekito, Asisten Manajer Niaga PT Gunung Agung. Kettler sendiri, menurut Robby siap bersaing dengan pelbagai merk alat senam yang kini ada di Indonesia. "Bagi penggemar fitness, rasanya nama kami sudah tak asing lagi," tambah Robby pada Agung Firmansyah dari TEMPO. Dan memang tak hanya alat senam produk impor yang kini bertempur di pasar. Tapi ada juga buatan lokal. Sejak November 1985 setidaknya, Awik Tjandra, 39, seorang wiraswastawan yang kini bermukim di Surabaya, sudah melempar produk buatannya "Harga alat kami separuh lebih murah dari barang impor," ujar Awik. Jebolan Fakultas Hukum Universitas Merdeka, Surabaya, Awik pernah jadi pengusaha spons (biji besi). Tapi, dua kali gedung dan pabriknya terbakar (1976 dan 1981). Dia lalu banting stir. Dan di area bekas gedung yang terbakar tadi, dia mulai merintis usaha barunya: membuka Fitness Center dan juga sekaligus membuat alat-alat senam. Dengan modal awal Rp 250 juta (Rp 150 juta dar kredit bank) Sekretaris PABBSI Jawa Timur ini memulai usahanya. Sampai sekarang, ia dibantu 20 karyawannya sudah membuat 30 jenis alat yang bisa dipakai buat kesegaran jasmani (senam dan angkat besi). Ia mengaku memang masih kalah bersaing merebut pasar lokal yang kini sudah dirubungi produk impor. Tapi, Awik optimistis, nanti bakal bisa mengalahkan saingannya. Menurut Awik sejak beberapa bulan lalu, ia sudah mendapat pesanan dari beberapa pengusaha dari Singapura dan Jepang. "Pasar domestik gampang ditembus, kalau barang kita sudah laku di luar negeri," tambah Awik. M.S. Laporan biro-biro

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus