SIAPA bilang OPEC sudah rontok? Organisasi negara-negara pengekspor minyak itu, sesudah bersidang 10 hari di Jenewa, terbukti masih bisa menelurkan kesepakatan untuk membuat minyak mereka jadi panduan harga minyak dunia. Untuk menolong agar struktur harga minyak OPEC bisa menetap kembali di angka US$ 18 per barel, para menteri minyak (kecuali Irak) itu, Sabtu pekan lalu, sepakat memangkas kuota produksi harian mereka dari sekitar 17 juta barel jadi 15,8 juta barel. Dengan mengurangi tingkat produksi 7,25%, mulai 1 Januari sampai akhir Juni mendatang itu, OPEC berharap harga minyak milik 13 anggotanya kelak bisa dikerek naik dari dasar sumur. Dan, seperti sudah diduga sebelumnya, angin dari Swiss itu memang terbukti bisa ikut menarik harga minyak Inggris dan Norwegia. Wajar bila Indonesia kemudian berusaha memanfaatkan situasi itu dengan menaikkan harga Minas dari US$ 13,5 jadi US$ 17,56, mulai Februari tahun depan. Usaha menyesuaikan harga minyak andalan itu, menurut bekas Menteri Pertambangan Prof. Dr. M. Sadli, akan menyebabkan pemerintah mendapat tambahan penghasilan bersih sekitar US$ 1 milyar di RAPBN 1987-1988. Kenaikan pendapatan ini terutama disebabkan persentase selisih kenaikan harga itu lebih besar daripada pemotongan kuota produksi. Yaitu selisih antara kenaikan harga hampir 30% dan penurunan produksi (bagi Indonesia) di bawah 6%. "Ini lebih baik dari yang kita perkirakan," kata Menteri Subroto di Jenewa. Beberapa jam setelah kesepakatan OPEC itu tercapai, Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional Prof. J.B. Sumarlin segera menghadap Kepala Negara, dan sesaat kemudian, dalam nada hati-hati, memberi keterangan pers. Sikap hati-hati ini hadir bukan tanpa alasan, mengingat pertambahan pendapatan sekitar US$ 1 milyar itu belum berarti apa-apa dibandingkan dengan tekornya pendapatan migas di tahun anggaran berjalan. Menurut Prof. Widjojo Nitisastro, seperti dikutip koran Suara Karya, penerimaan pajak migas pada tahun anggaran berjalan hanya akan tercatat Rp 5,7 trilyun, atau Rp 4 trilyun lebih rendah dari perkiraan. Dengan penerimaan sebesar itu, sulit dibayangkan pemerintah akan bisa berbuat banyak dengan anggaran yang terasa ketat. Beberapa penghematan bahkan sudah dilakukan pemerintah dengan, misalnya, tak merealisasikan dana cadangan pangan, yang sudah dianggarkan Rp 417 milyar itu. Wajar kalau banyak pengamat ekonomi menganJurkan agar kenaikan harga minyak ini tak membuat para arsitek ekonomi Indonesia menjadi lengah. Bahkan ada pula yang menyangsikan, harga rata-rata US$ 18 itu bisa dicapai, mengingat sikap keras delegasi Irak yang menolak kesepakatan itu. Kalau usaha mengendalikan penawaran itu tak dipatuhi, persediaan minyak dunia, yang kini ditaksir masih 5,6 milyar barel, tentu tak akan pernah berkurang. Kehadiran stok berlebih ini membuat OPEC tak punya pilihan lain selain menurunkan tingkat produksinya jika menginginkan kenaikan harga minyak. Menurut seorang pimpinan delegasi Indonesia, penurunan produksi sekitar 1,2 juta barel per hari ini diharapkan mampu menyerap sedikitnya separuh dari stok bcrlebih tersebut dalam semester pertama tahun depan. Dan, menurut sumber tadi, kesepakatan tentang hal ini boleh dikata sudah tercapai di hari kedua sidang. Yang kemudian membuat sidang menjadi alot adalah menentukan pembagian pemotongan kuota ini secara adil. Tapi mereka juga sadar, kesepakatan harus bisa dicapai dalam waktu singkat untuk menghindari rontoknya harga minyak karena sidang berlarut-larut. Selain itu, sejumlah anggota juga membutuhkan kepastian harga minyak ini untuk menyusun anggaran belanja 1987-1988, termasuk Indonesia. Arab Saudi sampai pernah harus menunda penyusunan anggarannya dua kali karena sulit memegang buntut harga minyak. Tapi sampai sidang ditutup Irak tetap menunjukkan sikap kepala batunya. Negara itu bersikeras menuntut kuota yang sama dengan seterunya dari Iran. "Kami tak ingin ada perbedaan bahkan satu barel pun," kata Menteri Perminyakan Irak Qassem Ahmed. Dalam kuota baru itu Irak memang hanya mendapat 1,466 juta, sementara seterunya dalam perang memperoleh 2,255 juta barel sehari. Sikap keras Irak ini, menurut seorang kolumnis di sebuah koran Saudi, bukanlah semata-mata karena masalah ekonomi. Skandal penjualan senjata AS kepada Iran baru-baru ini dipandang juga sebagai pertanda berpalingnya Arab Saudi ke Iran dalam kemelut perselisihan kedua negara di Teluk Persia itu. Sebab, dianggap tak mungkin AS akan mendekati Iran tanpa diketahui Saudi. Bagi anggota OPEC yang lain, kemungkinan produksi total OPEC akan melampaui kuota akibat ulah Irak tak terlalu dirisaukan. Perang Iran-Irak terbukti membuat produksi kedua negara itu tak pernah mencapai kuota yang diberikan OPEC. Lagi pula, sudah disepakati untuk mengadakan sidang lagi di Wina pada bulan Juni tahun depan untuk menyusun langkah yang diperlukan dalam upaya mempertahankan harga patokan baru ini. Adanya dukungan dari produsen minyak non-OPEC, seperti Norwegia dan Meksiko, yang mendukung harga baru dan menjanjikan penurunan produksi memang memberikan harapan harga US$ 18 ini bisa tercapai. Bambang Harymurti
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini