Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MATAHARI bersinar garang di bumi Parahyangan, cukup membuat keringat mengucur dan mata memicing. Tapi, Selasa siang pekan lalu, seratusan murid taman kanak-kanak yang berkumpul di hutan Babakan Siliwangi tidak kepanasan. Pohon-pohon besar, seperti mahoni (Swietenia macrophylla) dan cemara papua (Cupressus papuanus), yang menjulang sukses membuat hawa senantiasa adem.
Ditemani orang tua dan guru, bocah-bocah itu asyik menanam benih agar hutan di Kelurahan Lebak Siliwangi, Kecamatan Coblong, Bandung, itu makin hijau. Ada sawo kecik (Manilkara kauki), damar (Agathis alba), juga buni (Antidesma bunius). Kegiatan ini merupakan bagian dari Konferensi Lingkungan Anak dan Remaja Internasional. Diikuti 1.200 perwakilan 150 negara, pertemuan ini berlangsung lima hari dan berakhir akhir pekan lalu. Ini merupakan yang keempat kalinya, setelah pertemuan di Bangalore (India), Leverkusen (Jerman), dan Daejeon (Korea Selatan).
Hutan Babakan Siliwangi menjadi tempat pertama yang mereka kunjungi dalam konferensi ini. Direktur Pelaksana Program Lingkungan Perserikatan Bangsa-Bangsa, UNEP, Achim ÂSteiner, menetapkan kawasan seluas 3,8 hektare itu sebagai hutan kota dunia. "Dari anak dan remaja, untuk masa depan yang lebih baik," ujarnya.
Menteri Lingkungan Hidup Gusti Muhammad Hatta mengatakan Babakan Siliwangi merupakan hutan kota dunia yang pertama. Meski tidak menjabarkan konsep pengembangannya, dia mengatakan lahan hijau itu menjadi ajakan untuk membuat hutan sejenis di kota lain di dunia. "Mendorong pemerintah terus menambah paru-paru kota," katanya.
Dulu warga menyebut wilayah di bagian utara Bandung itu Lebak Gede alias lembah besar. Luasnya terbentang hingga 11,6 hektare, dibatasi Jalan Taman Sari, Sungai Cikapundung, dan kebun binatang. Hingga 1970-an, kawaÂsan itu masih berupa lahan pertanian dan pernah menjadi tempat percobaan padi jenis unggul. Sejak 1960-an, masyarakat menggelar adu domba di sana. Tradisi ini dilestarikan Himpunan Peternak Domba dan Kambing Indonesia, yang berlangsung pada Ahad pertama tiap bulan, dengan peserta dari berbagai daerah di Jawa Barat. Penontonnya ratusan orang, lengkap dengan tribun beratap seng dan alunan tarling.
Pada 1980-an, pemerintah kota, selaku pemilik lahan, menyewakan 7,8 hektare ke Institut Teknologi Bandung untuk dijadikan Sasana Budaya Ganesha, kolam renang, dan lapangan sepak bola beserta trek lari. Area itu berada di bagian lembah. Bidang tanah sisanya, yang relatif lebih tinggi dari daerah sekitarnya, tetap hijau. Pemerintah kota membangun restoran sunda berlabel Babakan Siliwangi di sana. Dalam bahasa Sunda, "babakan" berarti permukiman baru, sedangkan "siliwangi" diambil dari nama jalan di dekatnya. Di samping rumah makan, ada sanggar seni yang didirikan Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata. Warga menyebut kawasan itu secara singkat Baksil, kawasan hijau yang ditumbuhi 48 jenis pohon, mulai mahoni, flamboyan, durian, kelapa, pinus, hingga bambu.
Habis terbakar pada 2003, rumah makan itu tinggal puing. Baksil pun seolah ditelan bumi. Sampah, kebanyakan plastik, bertebaran di banyak sudut. Air kolam empat meter persegi di tengah hutan tidak terlihat karena tertutup sampah. Saat bergotong-royong membersihkan lokasi itu pekan lalu, seorang mahasiswi terkejut melihat orang buang air besar di kolam. Sehari-hari keramaian hanya berlangsung di sanggar seni.
Kontras dengan restoran yang mangkrak, di sekitar Babakan Siliwangi ramai berdiri hotel, apartemen, restoran cepat saji, dan kafe, terutama lima tahun belakangan. Maklum, posisinya ciamik. Hanya hitungan menit naik kendaraan bermotor dari berbagai titik strategis, seperti kawaÂsan elite Dago, ITB, dan pasar jins Cihampelas. Ditambah kontur tanah yang tinggi, tak aneh banyak pengusaha ngiler saban menikmati kerindangan saat melintas di Jalan SiÂliwangi.
Yang beruntung adalah PT Esa Gemilang Indah. Perusahaan ini memperoleh hak pengelolaan kawasan selama 20 tahun sejak 2007. Wali Kota Bandung Dada Rosada berharap privatisasi bisa meraup laba, sehingga pemeliharaan hutan tidak membebani kas daerah.
Awalnya, pengusaha ingin membangun hotel, kondominium, dan rumah kebun. Namun pemerintah hanya mengizinkan pembangunan kembali rumah makan. Luasnya pun sama dengan pendahulunya, 2.000 meter persegi plus 5.000 meter persegi untuk tempat parkir. Hampir empat tahun berlalu, restoran itu urung berdiri karena terganjal izin rencana tata ruang dan wilayah dari Pemerintah Provinsi Jawa Barat. "Sudah lama diajukan, tapi belum keluar," kata Dada.
Pemerintah kota menutup rapat nilai transaksinya. Sewa-menyewa ini menjadi perhatian Bandung Inisiatif, aliansi yang terdiri atas Wahana Lingkungan Hidup, Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda, Bicons, serta Ikatan Arsitek Landscape Indonesia. Koordinator aliansi, Reggy Kayong Munggaran, memperkirakan besarnya sekitar Rp 300 juta per tahun. Nilai itu didapat dari perhitungan pajak bumi dan bangunan dikalikan dengan nilai jual obyek pajak di wilayah itu. "Kecil sekali," katanya.
Selain karena nilai sewa yang tidak sepadan, aktivis menolak rumah makan itu dengan alasan Baksil merupakan ruang terbuka hijau, yang harus bebas dari pembangunan fisik, dan adanya jaminan akses pengunjung. Sayang, peraturan daerah tentang rencana tata ruang dan wilayah Bandung, yang kini masih dalam tahap rancangan, mengubah wilayah itu dari hijau jadi kuning, yang artinya boleh dibangun. Padahal, dengan label hutan kota dunia, Babakan Siliwangi merupakan aset masyarakat dunia. "Bukan aset pemerintah kota, apa lagi korporasi," ujar Reggy.
Kepala Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah Jawa Barat Setiawan Wangsaatmaja mengatakan rancangan peraturan daerah itu ditargetkan kelar sebelum akhir tahun ini. Secara institusi, dia menginginkan Babakan Siliwangi tetap sebagai wilayah hijau. "Mengejar 30 persen ruang terbuka hijau di kota tidak gampang," katanya. Dia mengacu pada angka yang tertera dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Tata Ruang. Sedangkan Bandung baru memiliki 9,31 persen dari total wilayah 167 kilometer persegi. "Yang ada harus dipertahankan, malah ditambah." Namun Setiawan tidak bisa menjamin kehijauan wilayah itu. Alasannya, rancangan itu digodok oleh tim lintas instansi, seperti badan perencanaan pembangunan daerah dan dinas kehutanan.
Direktur Esa Gemilang Indah, Iwan Sunarya, berjanji hanya akan membangun rumah makan di lahan yang ditentukan. Bentuknya rumah adat Sunda dengan atap berjambul runcing. Dia mengaku sudah mengantongi analisis mengenai dampak lingkungan. Tinggal membuat izin mendirikan bangunan, yang akan disesuaikan dengan tata ruang-wilayah. Jika dokumen sudah lengkap, dia memulai pembangunan akhir tahun ini. Bangunan lain yang ia rencanakan adalah jembatan di dalam hutan.
Iwan mengatakan akan mempertahankan hutan itu sebagai ruang publik, dan sebisa mungkin gratis. Kata "gratis" perlu ditekankan. Sebab, dengan pengelolaan swasta, kawasan itu jadi setara dengan obyek wisata, seperti kebun binatang, yang dikenai retribusi oleh pemerintah kota. "Kalau ada pungutan, kami akan mengambil iuran," katanya.
Melihat lawan melaju, Bandung Inisiatif tak mau kalah. Juni lalu, mereka menggelar sayembara desain kawasan hutan Baksil. Pesertanya ada puluhan, mulai murid sekolah dasar, mahasiswa, sampai arsitek profesional. Juri, di antaranya arsitek Ridwal Kamil dan seniman Tisna Sanjaya, dan perwakilan dari Kementerian Lingkungan Hidup, menetapkan pemenangnya pada pertengahan Agustus. Mereka memilih karya empat mahasiswa arsitektur Universitas Gadjah Mada bertajuk Expect to Reflect.
Desain pemenang itu mengandalkan jembatan sebagai jalur berjalan. Ini memungkinkan pengunjung menikmati suasana hutan tanpa merusak tanah. Jembatan dilengkapi jajaran cermin, sehingga pengunjung tidak merasa sendirian di tengah hutan. Juga ada panggung kesenian, tempat makan, serta air mancur dan saung di sini-sana.
Dibekingi Kementerian Lingkungan Hidup, jembatan, minus cerminnya, rampung pekan lalu. Menjadi simbol perlawanan terhadap pemerintah kota. Terbentang 85 meter, setinggi tiga meter dari tanah. Rangkanya dari baja dan pijakannya dari kayu. Begitu pembuatan jembatan kelar, 1.200 anak dan remaja peserta konferensi langsung menjajalnya. Tempo tidak mau ketinggalan. Rasanya seru, seperti menclok dari satu pohon ke pohon lain.
Reza Maulana, Anwar Siswadi (Bandung)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo