KONGRES Taman Nasional Sedunia ke-3 baru saja usai. Menjelang
akhir kongres Jumat lalu, Menteri Pertanian Dr. Soedarsono
mengangkat gunungn, seraya memukul gong pelambang selesainya
lakon yang berlangsung 12 hari, di Bali Beach Hotel, Sanur.
Secara aklamasi kongres telah mengesahkan dua dokumen penting:
Deklarasi Bali dan 20 rekomendasi menyangkut seluruh aspek
konservasi alam.
"Kita patut bangga atas dokumen ini," ujar Kenton R. Miller,
Ketua CNPPA (Komisi IUCN tentang Taman Nasional dan Kawasan
Suaka) yang memimpin sidang penutupan itu.
Deklarasi dua halaman kurang itu antara lain menyatakan "Bumi
satu-satunya tempat di alam semesta yang diketahui menunjang
kehidupan, sementara banyak jenis kehidupan lenyap dan berbagai
ekosistem rusak, kemampuannya untuk itu cepat merosot . . ."
Diingatkan pula: " . . . mungkin hanya generasi kita yan masih
berkesempatan memilih kawasan alami baru yang luas untuk
dilindungi."
Ada pendapat lain, seperti dikemukakan Dr. Gerardo Budowski ahli
kehutanan dari CATI (Pusat Penelitian dan Latihan Agronomi
Tropis) di Costa Rica. Menurut Budowski, kongres berusaha
menyenangkan semua pihak. "Itulah hasil konsensus yang optimum."
Dr. Harold Eidsvik dari Kanada juga tidak teramat gembira dengan
deklarasi yang datar itu. Tapi yang terpenting menurut Wakil
Sekretaris Jenderal Kongres itu, "Wahana yang lebih luas tentang
pelestarian alam telah dicapai." Eidsvik menunjuk pada jumlah
besar delegasi negara Dunia Ketiga yang hadir: lebih separuh
dari 68 negara peserta.
Deklarasi juga menilai ada enam langkah pokok yang mutiak,
antara lain: . . . meluaskan dan memperkuat jaringan global dan
regional taman nasional serta kawasan suaka lainnya memberikan
status permanen pada kawasan suaka berdasarkan landasan hukum
dan mengakui nilai ekonomis, kultural serta politisberbagai
kawasan suaka.
Yang terakhir mi agaknya ingin rnengungkapkan aspirasi Dunia
Ketig dan merupakan konsepsi baru tentang taman nasional.
"Konsepsi baru itu cukup menguntungkan Dunia Ketiga, " ujar
Reuben Olembo dari Kenya. "Hal ini cukup terungkap dalam
rekomendasi dan deklarasi." Tapi Olembo, yang hadir sebagai
pejabat UNEP, merasa suara Dunia Ketiga belum sepenuhnya
terwakili. "Konsepsi baru itu memang belum banyak dipraktekkan,
jadi harus dibuktikan dulu," katanya.
MUNGKIN perasaan Olembo bersumber pada sebutir kalimat yang
muncul dalam rekomendasi no. 5 tentang peranan kawasan suaka
dalam pembangunan bersinambungan. Di situ kongres menegaskan
kembali keyakinannya bahwa taman nasional dan kawasan suaka
lainnya harus dilindungi dari usaha pengolahan komersial. Ini
justru konsesi lama, yang menurut Olembo, sulit dilaksanakan di
banyak negara Dunia Ketiga (libat box).
Dunia Ketiga agaknya tak punya banyak pilihan- Apakah suatu
kawasan harus diberikan kepada satwa lindungan atau kepada
manusia? Indonesia sendiri sudah menyisihkan 299 kawasan suaka
dengan luas total 11,2 juta ha. Jumlah ini mencakup 4,9 juta ha
dari 16 kawasan suaka berstatus taman nasional, 11 di antaranya
diumumkan peresmiannya dalam kesempatan kongres di Bali.
Luas kawasan suaka bersama itu hampir 6% dari luas total daratan
Indonesia yang 193 juta ha. Dengan populasi mendekati 150 juta,
mau tak mau sebagian hutan bakal berubah menjadi lahan
pertanian. "Ini masalah yang tidak bisa dihindari," ujar Emil
Salim. Satu-satunya yang bisa mengurangi dampak itu, menurut
Menteri PPLH itu, ialah industrialisasi.
Emil Salim menjelaskan, jumlah taman nasional di dunia bertambah
dengan 46% seiak Konperensi Taman Nasional Sedunia ke-2 tahun
1972 di Stockholm. Bagian terbesar pertambahan ini terjadi di
Dunia Ketiga. Kini kawasan suaka di seluruh dunia seluas 380
juta ha. Ini lebih luas dari negara India. Tapi menurut para
ahli, agar manfaat konservasi bisa dirasakan umat manusia kelak,
dibutuhkan sedikitnya 3 kali luas itu Sebagian besar, lagi-lagi
di Dunia Ketiga.
Tapi biaya untuk itu dari mana? Ini juga satu topik yang hangat
dibicarakan, namun tak terjawab. Hanya dalam Rekomendasi No. 11
tentang Bantuan Pembangunan dan Kawasan Suaka kongres mendesak
lembaga bantuan internasional untuk lebih memperhatikan
pemberian dana bagi proyek konservas alam. Kongres juga mendesak
agar pemerintah yang menerima bantuan memberikan prioritas bagi
proyek pelestarian dalam permintaan bantuan mereka.
Bagi Indonesia cukup tersedia peluang untuk mengutarakan isi
hati. Mulai dari Wakil Presiden Adam Malik, Menteri Pertanian
Soedarsono, Menteri Penerangan Ali Moertopo, Menteri Negara PPLH
Emil Salim sampai Dirjen Kehutanan Soedjarwo, semua memacu kata
tentang pentingnya rekonsiliasi tanggung jawab keuangan atas
upaya pelestarian. "Di masa lampau kita belum pernah menerima
bagian yang wajar dari keuntungan . . ." ujar Adam Malik dalam
pidato pembukaannya. ". . . juga tidak bagian yang wajar berupa
bantuan dalam upaya kita turut mengamankan warisan alamiah
bersama secara global."
Masalah lain ialah tenaga yang mampu mendukung pelaksanaan
berbagai program konservasi alam itu. Seperti dikemukakan Emil
Salim, Indonesia yang baru saja memproklamasikan 11 taman
nasional baru, belum punya cukup ahli biologi untuk mengisinya.
Ini juga disinggung Wartono Kadri, direktur PPA. Ia menilai
justru pemenuhan tenaga struktural merupakan masalah yang paling
mendesak sekarang. "Yang saya perlukan ialah dedikasi dulu, baru
ijazah nomor dua," ujar Wartono, salah satu sekretarisjenderal
kongres. "Langkah utama, yang perlu diambil ialah pengamanan
kuantitas dulu, baru kemudian kualitas."
Banyak persoalan secara spesifik belum terjawab dalam kongres.
Tapi agaknya dari 385 peserta (Indonesia 62) dan puluhan
peninjau, kurang lebih sepakat menilai kongres tersebut
"sukses". Setidaknya, "kini kita punya landasan yang tepat untuk
meluncurkan roket kita selama 10 tahun mendatang," ujar Dr.
Coolidge, Ketua Kehormatan IUNC.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini