Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Jepang Dan Mereka Sendiri

Pm jepang zenko suzuki mundur, kabinetnya jatuh. citra dan kredibilitas suzuki hancur karena mungkin ia terlalu memperhitungkan kedudukannya. ia juga menghadapi masalah fiskal.

30 Oktober 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI antara negara industri maju, Jepang merupakan yang paling tertutup terhadap aliran moneterisme, baik di lingkungan pengelola ekonomi maupun dalam dunia akademis, apalagi di kalangan politisinya. Sejauh ini ekonomi Jepang sebenarnya dikelola dalam kerangka Keynesian, yang sepenuhnya mengandalkan pada kebijaksanaan fiskal sebagai perangsang kegiatan ekonominya. Kebijaksanaan moneter yang diterapkan di Jepang memang tidak netral terhadap perkembangan ekonomi dalam negeri, tapi tindakan-tindakan moneter semata-mata ditujukan untuk mengoreksi sektor eksternalnya, sesuai dengan gerakan neraca pembayarannya. Sudah sejak beberapa tahun ini dirasakan bahwa struktur fiskal Jepang sukar mendukung pola pengelolaan yang sudah menjadi tradisi itu. Peningkatan pengeluaran pemerintah melalui anggaran, sebagai alat perangsang ekonomi, hanya bisa dilanjutkan dengan meningkatkan penerbitan obligasi atau surat-surat utang kepada masyarakat. Selain karena beban pembayaran kembali semakin berat bagi pemerintah, sektor perbankan Jepang juga sudah lama mengeluh karena kesulitan menyerap peredaran obligasi tersebut. Tahun 1979 pembiayaan defisit di Jepang melonjak mencapai sekitar 40o dari seluruh pengeluarannya. Di Amerika Serikat dan Prancis ratio itu berkisar pada 7-8%, di Inggris dan Jerman-Barat antara 14-16%. Salah satu janji utama Zenko Suzuki ketika ditetapkan menjadi Perdana Menteri adalah untuk merombak struktur fiskal Jepang sehingga dalam tahun anggaran 1984 tidak lagi terjadi defisit yang perlu dibiayai dengan penerbitan obligasi. Namun dalam tahun anggaran 1981 defisit meningkat menjadi 2,5 trilyun yen. Akhir Agustus lalu Menteri Keuangan, Watanabe, mengumumkan suatu "keadaan darurat fiskal" atas dasar perkiraan bahwa defisit untuk tahun anggaran 1982 ini akan meningkat mencapai 5-6 trilyun yen. Hal ini memaksa pemerintah menerbitkan obligasi di atas pembatasan sebesar 3 trilyun yen. Baru 2 minggu setelah pengumuman Watanabe, Perdana Menteri Suzuki berbicara di depan umum untuk menerangkm keadaan darurat fiskal tersebut. Tapi keterangannya dinilai sangat mengecewakan. Suzuki mengkambing-hitamkan resesi ekonomi dunia dan tidak melontarkan gagasan drastis untuk menyelesaikan masalah fiskal Jepang. Suzuki yang menghadapi pemilihan kembali sama sekali tidak menyinggung tindakan kenaikan pajak. Ini justru dinantikan masyarakat. Bila di waktu lalu Ohira dijatuhkan karena berani mengusulkannya tampaknya Suzuki akhirnya 'dijatuhkan' karena tidak berani mengusulkan tindakan tersebut. Siapa saja yang menjabat Perdana Menteri Jepang akan sulit mengatasi krisis fiskal itu. Usul menaikkan pajak, seperti dilakukan Ohira sekitar 2 tahun lampau, memang sangat tidak populer secara politis dan amat riskan bagi seorang politisi Jepang. Namun dalam struktur politik Jepang dituntut keberanian untuk mengambil risiko tersebut. Citra dan krelibilitas Suzuki hancur karena ia mungkin terlalu memperhitungkan kedudukannya. Masalah fiskal uni cuma satu dari sekian faktor lain yang telah menjatuhkan Suzuki. Suasana intern LDP (partai demokrasi liberal) menjadi sernakin sulit untuk dikelola oleh Suzuki. Ia mengetahui benar pengangkatannya sebagai Perdana Menteri merupakan hasil kompromi antar-fraksi-fraksi dalam LDP sendiri. Karena itu pula Suzuki dini hari sudah memproklamasikan falsafah Wa no Seiji (politik harmoni) sebagai landasan pengelolaan negara dan pemerintahan. Namun Suzuki sendiri akhirnya mengkhianati falsafah itu dengan semakin berkiblat pada fraksi Tanaka. Antara lain dengan perombakan kabinet, Suzuki telah memungkinkan Susumu Nikaido, pimpinan fraksi Tanaka, menjadi Sekretaris Jenderal LDP, suatu hal yang sangat menggusarkan fraksifraksi lain. TIDAK mengherankan seketika Watanabe mengumumkan keadaan darurat fiskal, segera pula Fukuda, Komoto dan Shintaro Abe menuntut sidang khusus parlemen (Diet) untuk mencari jalan keluar. Isu fiskal ini kiranya dipakai oleh tokoh-tokoh fraksi non-mainstream tersebut untuk mengkonfrontasi Suzuki. Intinya sederhana: Suzuki diminta mengambil sikap politik--bukan mengenai ekonomi--apakah akan terus tunduk pada Tanaka atau bersedia mengambil kebijaksanaan yang lebih independen (artinya, lebih berimbang). Suzuki yang mengundurkan diri atas alasan menjaga persatuan dalam tubuh LDP sebenarnya 'dijatuhkan' untuk menjatuhkan Tanaka dari mimbar politik Jepang selama-lamanya. Tanaka yang belum bebas dari skandal penyuapan Lockheed dilihat sebagai simbol praktek politik yang korup. Dengan landasan finansial yang kuat, Tanaka tetap berhasil menggalang dukungan terbesar dalam LDP, dan di belakang layar tetap memainkan peran politik yang penting, termasuk sebagai king-maker. Padahal dalam pemilihan umum ia mencalonkan dirinya di antara kelompok independen, dan baru setelah terpilih berpindah lagi ke LDP, prosedur yang memang dimungkinkan di Jepang. Jatuhnya Suzuki sebenarnya tidaklah perlu mengejutkan. Suzuki telah 2 tahun menjadi Perdana Menteri. Sebelumnya, Tanaka hanya memimpin selama 2,5 tahun, Miki dan Fukua masing-masing untuk 2 tahun, dan Ohira sekedar 1,5 tahun. Yang menarik dari kasus Suzuki adalah pelajaran bahwa nasib seorang Perdana Menteri Jepang ditentukan oleh Jepang antara mereka sendiri. Betapa pun besar kesalahan Suzuki dalam menangani masalah-masalah luar negeri, bidang ini tidak akan menjatuhkannya dari tahta. Mungkin kenyataan ini merupakan indikator bahwa Jepang belum menjadi suatu negara 'besar' seperti Amerika Serikat atau Uni Soviet.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus