Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

ITB dan BRIN Riset Indikator Gunung Erupsi dari Kemagnetan Bumi

Tim peneliti ITB dan BRIN rencananya akan menjajal metode itu untuk meneliti gunung api lain, seperti Anak Krakatau di Selat Sunda.

1 Januari 2022 | 07.51 WIB

Gunung Anak Krakatau mengeluarkan asap di Selat Sunda, Senin, 20 April 2015. Kegiatan vulkanik Gunung Anak Krakatau sejak lahir pada 1930 hingga 2000, telah mengalami erupsi lebih dari 100 kali, baik secara eksplosif maupun efusif. Dari beberapa letusan tersebut, umumnya titik letusan selalu berpindah-pindah di sekitar tubuh kerucutnya. Dok.TEMPO/Dian Triyuli Handoko
Perbesar
Gunung Anak Krakatau mengeluarkan asap di Selat Sunda, Senin, 20 April 2015. Kegiatan vulkanik Gunung Anak Krakatau sejak lahir pada 1930 hingga 2000, telah mengalami erupsi lebih dari 100 kali, baik secara eksplosif maupun efusif. Dari beberapa letusan tersebut, umumnya titik letusan selalu berpindah-pindah di sekitar tubuh kerucutnya. Dok.TEMPO/Dian Triyuli Handoko

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

TEMPO.CO, Jakarta - Tim peneliti dari Institut Teknologi Bandung (ITB) dan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) melakukan kajian soal tanda-tanda erupsi gunung api. Mereka akan menjajal metode baru dari sifat kemagnetan Bumi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

“Ketika gunung api mau meletus itu ada perubahan juga dari sifat kemagnetan,” kata vulkonolog dari ITB, Mirzam Abdurrachman, kepada Tempo, Jumat 31 Desember 2021.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

Indikasi itu muncul dari hasil penelitian baru yang dilakukan mahasiswa S3 di ITB. Gunung yang ditelitinya adalah Ijen, Batur, dan Bromo. Menurut Mirzam, pendekatan ilmiah itu belum pernah dilakukan sebelumnya.

“Menggabungkan meteorologi, magmatisme, dan kemagnetan sehingga menjadi metode yang baru, ini menarik,” ujarnya.

Menurutnya, kemagnetan Bumi terkait dengan ilmu geofisika. Intinya, kata Mirzam, metode itu mempelajari kemagnetan Bumi sebagai salah satu indikator perubahan bahan magmatisme, termasuk perubahan temperatur dan kekentalan magma.

“Dengan metode baru ini harapannya model yang dibangun akan semakin komprehensif dan elegan,” kata dia.

Tim peneliti ITB dan BRIN rencananya akan menjajal metode itu untuk meneliti gunung api lain, seperti Anak Krakatau di Selat Sunda. Mirzam mengakui sebenarnya tidak ada satu model di gunung yang bisa dipakai di gunung lain.

“Tapi pendekatan dan cara berpikirnya sama, kalau itu bisa terdeteksi, maka waktu pemantauan gunung api harus hati-hati,” ujarnya.

Letusan besar dari Gunung Anak Krakatau terjadi pada 22 Desember 2018 yang disusul gelombang tsunami hingga merenggut korban jiwa. Saat ini, menurut Mirzam, gunung itu membangun lagi tubuhnya yang ambrol ketika peristiwa erupsi dan tsunami dengan ketinggian sekitar 200-300 meter dari permukaan laut.

Kecepatan pertumbuhan gunung itu menurut dia melambat karena jalan keluar magmanya tertutup. Beberapa hal yang harus diwaspadai, yaitu ketika nanti ada perubahan ketinggian kemudian muncul rekahan berdasarkan data dari satelit, juga ada perubahan kekentalan magma. “Pemantauannya tidak bisa satu parameter tapi harus gabungan,” kata Mirzam.

Selalu update info terkini. Simak breaking news dan berita pilihan dari Tempo.co di kanal Telegram “Tempo.co Update”. Klik https://t.me/tempodotcoupdate untuk bergabung. Anda perlu meng-install aplikasi Telegram terlebih dahulu.

Erwin Prima

Erwin Prima

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus