POHON kehidupan Kalpataru yang terukir di candi Mendut, Jawa
Tengah, mendadak jadi populer. Perlambang manunggalnya manusia
dengan alam, pohon ini dicetak ke atas perangko dalam
memeriahkan Hari Lingkungan Hidup se-Dunia 5 Juni. Bahkan ia
dijelmakan dalam pahatan sebagai hadiah pemerintah RI.
Dan Presiden Soeharto dalam suatu upacara di Istana Negara pekan
lalu menyerahkannya kepada sebelas orang yang dinilai berjasa
terhadap pelestarian lingkungan. Di antaranya enam mendapat
penghargaan sebagai perintis lingkungan, dua sebagai pengabdi
lingkungan dan tiga sebagai penyelamat lingkungan. Selain
pahatan Kalpataru, mereka memperoleh piagam dan uang Rp 2,5
juta. Khusus untuk penyelamat lingkungan, hadiah uangnya Rp 5
juta.
Berikut ini beberapa kisah mereka yang berjasa itu:
Syahdan, 16 tahun lalu Sularso meninggalkan desanya. Mengikuti
kapal, ia berlayar ke lndonesia Timur. Selama hampir 4 tahun ia
jarang menginjak daratan. "Setiap kapal merapat di pelabuhan,"
katanya, "saya sibuk memuat atau membongkar barang."
Awal 1969, karena kapalnya harus naik dok, Sularso bisa naik ke
darat. Di Maluku itu, ia melihat orang yang bertanam cengkih
cukup makmur hidupnya. Ia lalu teringat kampungnya yang gersang
dan ingin pula mengolah tanah.
Kentang & Kapri
Begitu kapal sampai di Surabaya, ia minta berhenti, dan langsung
pulang ke Desa Balepanjang, Kecamatan Jatipurna, Kabupaten
Wonogiri (Jawa Tengah). Kebetulan ia dapat warisan 1 hektar
ladang dan 0,3 hektar sawah. Ia coba menanam cengkih, tapi
ratusan pohon yang ditanamnya sebagian besar mati. Tiga kali
dicoba, tetap tak berhasil.
Bekas pelaut ini tak patah semangat. Ia menghubungi Dinas
Pertanian setempat, dan belajar cara menanam yang betul,
pemupukan dan perawatan yang teratur. Barulah, katanya, "cengkih
saya hidup semua."
Di tanahnya yang kini sudah 4,5 hektar, ia punya 850 pohon, di
antaranya 250 sudah menghasilkan. Tak hanya cengkih. Dengan
petunjuk penyuluh pertanian, Sularso juga menanam buncis,
bawang, kentang dan kapri. Semuanya berhasil baik.
Sebelumnya, katanya lagi, "penduduk Balepanjang cuma kenal
tanaman ketela dan jagung." Berkat kepeloporan Sularso, 36
tahun, kini mereka di desa itu punya pohon cengkih dan kebun
yang subur. Tak ada lagi penduduk yang pergi ke hutan membabat
kayu. "Dari hasil kebun sendiri sudah cukup untuk hidup,"
katanya.
Bahkan sebagian penduduk Balepanjang kini punya mobil. Listrik
pun sudah masuk desa ini, tempat Sularso jugaterkenal sebagai
dalang wayang kulit.
Medang, 80 tahun, ketua adat suku Dayak Kalis di Nangah Danau,
Kapuas Hulu, Kalimantan Barat, tampaknya kaget mendapat
penghargaan sebagai perintis lingkungan. Kakek ini lelah
mengikuti acara di Jakarta. "Saya sakit, lihat tuh obatnya,"
katanya. Tubuhnya Kurus, tapi otot lengannya kekar.
Suatu hari di tahun 1975, Medang merasa terpanggil oleh anjuran
dari desa agar beralih dari petani ladang (berpindab-pindah) ke
sawah. Gagasan ini tak begitu saja diterima warganya yang
berjumlah 47 kepala keluarga (200 jiwa). Tapi, katanya, "karena
saya tumenggung tak ada yang berani melawan."
Secara gotong royong dibuatlah waduk mini berukuran 45 x 2,5 x
2,5 meter (panjang x lebar x tinggi). Sekaligus dibuat irigasi
sepanjang 1500 meter, yang bisa mengairi 45 hektar tanah yang
lalu dijadikan sawah. Satu hektar sawah bisa menghasilkan 2 ton
padi sekali panen. Cara pengolahan tanah memang masih sederhana.
"Cangkul sumbangan kecamatan, baru beberapa kali dipakai sudah
rusak," katanya. Kerbau atau alat pembajak belum ada.
Sekarang sudah enam desa dengan 293 kk yang mengikuti jejaknya.
Dan Medang berbahagia. Sekarang "kalau mau musyawarah mudah.
Penduduk sudah tinggal menetap," katanya. Dari hutan yang kini
tak lagi dibakar, "kami bisa dapat rotan dan damar."
Seperti Medang, Sakmin, 49 tahun, petugas PPA Ujungkulon, boleh
dibilang tak pernah menginjak kota. Pengabdi lingkungan ini tak
pernah sekolah. Tiap hari, membawa senapan tua dan bekal makanan
untuk beberapa hari, ia berpatroli di P. Handeuleun. Sepuluh
hari Sekali ia baru pulang menengok istri dan lima anaknya
yang tinggal di Taman Jaya, tapal batas cagar alam.
Sakmin -- satu dari 67 petugas, PPA Ujungkulon dua kali
memergoki penembak gelap badak bercula satu (rhinoceros
sondaicus), yang langka. Penebang liar, sering pula
dipergokinya.
"Sekarang, dijamin tak ada lagi orang seperti itu," katanya.
Dan berkat jasanya, berdasar sensus April lalu di sana badak
berjumlah 58 ekor, naik dari 50 ekor tahun lalu.
Pesantren An Nuqayah (berdiri 1887) di Desa Guluk-Guluk,
Kecamatan Guluk-Guluk, Kabupaten Sumenep, Madura, mendapat
penghargaan karena para santrinya berhasil mengajak penduduk
melakukan penghijauan. Semula pesantren ini suka dilanda banjir
bila hujan turun. Di musim kemarau, penduduk sulit mencari
rumput untuk ternak, dan panasnya bukan main.
H.A. Basith, ketua biro pengabdian masyarakat An Nuqayah, lalu
diutus mengikuti latihan selama enam bulan di pesantren
Pabelan, Jawa Tengah, yang diselenggarakan atas prakarsa LP3ES,
suatu lembaga ekonomi-sosial dan penelitian di Jakarta. Sejak
itu terbukalah hati Basith "memanfaatkan potensi besar
masyarakat guna memperbaiki lingkungan hidupnya."
Pihak pesantren mengajak masyarakat menanam pohon turi di
sepanjang jalan desa. Ini terjadi 1978, ketika pihak pemerintah
pun lagi menerapkan program penghijauan. Tapi didekat pohon turi
yang ditanam, bibit akasia ditanam pula. Ternyata keduanya
gagal.
Gagal dengan turi, mereka mencoba lamtoro gung. Penanamannya
disempurnakan, dengan cara menggali lubang sedalam setengah
meter dan memasukkan pupuk dedaunan. Ini berhasil baik.
Bukit Lancaran yang tak seberapa jauh dari pesantren, dihijaukan
mereka pula dengan tanaman lamtoro gung, akasia dan kapuk.
Masing-masing berjumlah 1500, 2000 dan 500 batang. Semuanya
tumbuh baik, kata Basith, "karena kami selalu konsultasi dengan
dinas pertaman. "
Semua usaha penghijauan itu, "biayanya nol rupiah." Para santri
dan masyarakat yang terlibat, cukup puas meneguk air teh sebagai
honor. Bibitnya sebagian disediakan pihak pertanian, sebagian
disemai pihak pesantren.
Biaya cuma dikeluarkan waktu membuat tempat mandi umum dengan
jalan membendung sumber air. Saringan kerikil, pasir dan injuk
dibuat hingga airnya bersih. 'Ilmu' ini diperoleh dengan cara
mengundang mahasiswa ITB ke pesantren.
Dan pesantren mengajak masyarakat membuat jamban. Kini ada 30
jamban umum yang sudah dibuat. Akhirnya banyak warga masyarakat
tertarik membuat jamban sendiri di rumah masing-masing.
Uang hadiah Rp 5 juta, kata Basith, "akan kami gunakan untuk
lebih menghijaukan daerah sekitar pesantren." Ini memang jumlah
yang bukan main bagi pesantren yang luasnya 3,5 hektar ini,
asuhan K.H. Mohd. Amir Ilyas.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini