Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Kalpataru untuk yang berjasa

Dalam rangka hari lingkungan hidup se-dunia presiden soeharto menyerahkan piagam berupa pahatan kalpataru kepada 11 orang yang dinilai berjasa terhadap kelestarian lingkungan. (ling)

13 Juni 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

POHON kehidupan Kalpataru yang terukir di candi Mendut, Jawa Tengah, mendadak jadi populer. Perlambang manunggalnya manusia dengan alam, pohon ini dicetak ke atas perangko dalam memeriahkan Hari Lingkungan Hidup se-Dunia 5 Juni. Bahkan ia dijelmakan dalam pahatan sebagai hadiah pemerintah RI. Dan Presiden Soeharto dalam suatu upacara di Istana Negara pekan lalu menyerahkannya kepada sebelas orang yang dinilai berjasa terhadap pelestarian lingkungan. Di antaranya enam mendapat penghargaan sebagai perintis lingkungan, dua sebagai pengabdi lingkungan dan tiga sebagai penyelamat lingkungan. Selain pahatan Kalpataru, mereka memperoleh piagam dan uang Rp 2,5 juta. Khusus untuk penyelamat lingkungan, hadiah uangnya Rp 5 juta. Berikut ini beberapa kisah mereka yang berjasa itu: Syahdan, 16 tahun lalu Sularso meninggalkan desanya. Mengikuti kapal, ia berlayar ke lndonesia Timur. Selama hampir 4 tahun ia jarang menginjak daratan. "Setiap kapal merapat di pelabuhan," katanya, "saya sibuk memuat atau membongkar barang." Awal 1969, karena kapalnya harus naik dok, Sularso bisa naik ke darat. Di Maluku itu, ia melihat orang yang bertanam cengkih cukup makmur hidupnya. Ia lalu teringat kampungnya yang gersang dan ingin pula mengolah tanah. Kentang & Kapri Begitu kapal sampai di Surabaya, ia minta berhenti, dan langsung pulang ke Desa Balepanjang, Kecamatan Jatipurna, Kabupaten Wonogiri (Jawa Tengah). Kebetulan ia dapat warisan 1 hektar ladang dan 0,3 hektar sawah. Ia coba menanam cengkih, tapi ratusan pohon yang ditanamnya sebagian besar mati. Tiga kali dicoba, tetap tak berhasil. Bekas pelaut ini tak patah semangat. Ia menghubungi Dinas Pertanian setempat, dan belajar cara menanam yang betul, pemupukan dan perawatan yang teratur. Barulah, katanya, "cengkih saya hidup semua." Di tanahnya yang kini sudah 4,5 hektar, ia punya 850 pohon, di antaranya 250 sudah menghasilkan. Tak hanya cengkih. Dengan petunjuk penyuluh pertanian, Sularso juga menanam buncis, bawang, kentang dan kapri. Semuanya berhasil baik. Sebelumnya, katanya lagi, "penduduk Balepanjang cuma kenal tanaman ketela dan jagung." Berkat kepeloporan Sularso, 36 tahun, kini mereka di desa itu punya pohon cengkih dan kebun yang subur. Tak ada lagi penduduk yang pergi ke hutan membabat kayu. "Dari hasil kebun sendiri sudah cukup untuk hidup," katanya. Bahkan sebagian penduduk Balepanjang kini punya mobil. Listrik pun sudah masuk desa ini, tempat Sularso jugaterkenal sebagai dalang wayang kulit. Medang, 80 tahun, ketua adat suku Dayak Kalis di Nangah Danau, Kapuas Hulu, Kalimantan Barat, tampaknya kaget mendapat penghargaan sebagai perintis lingkungan. Kakek ini lelah mengikuti acara di Jakarta. "Saya sakit, lihat tuh obatnya," katanya. Tubuhnya Kurus, tapi otot lengannya kekar. Suatu hari di tahun 1975, Medang merasa terpanggil oleh anjuran dari desa agar beralih dari petani ladang (berpindab-pindah) ke sawah. Gagasan ini tak begitu saja diterima warganya yang berjumlah 47 kepala keluarga (200 jiwa). Tapi, katanya, "karena saya tumenggung tak ada yang berani melawan." Secara gotong royong dibuatlah waduk mini berukuran 45 x 2,5 x 2,5 meter (panjang x lebar x tinggi). Sekaligus dibuat irigasi sepanjang 1500 meter, yang bisa mengairi 45 hektar tanah yang lalu dijadikan sawah. Satu hektar sawah bisa menghasilkan 2 ton padi sekali panen. Cara pengolahan tanah memang masih sederhana. "Cangkul sumbangan kecamatan, baru beberapa kali dipakai sudah rusak," katanya. Kerbau atau alat pembajak belum ada. Sekarang sudah enam desa dengan 293 kk yang mengikuti jejaknya. Dan Medang berbahagia. Sekarang "kalau mau musyawarah mudah. Penduduk sudah tinggal menetap," katanya. Dari hutan yang kini tak lagi dibakar, "kami bisa dapat rotan dan damar." Seperti Medang, Sakmin, 49 tahun, petugas PPA Ujungkulon, boleh dibilang tak pernah menginjak kota. Pengabdi lingkungan ini tak pernah sekolah. Tiap hari, membawa senapan tua dan bekal makanan untuk beberapa hari, ia berpatroli di P. Handeuleun. Sepuluh hari Sekali ia baru pulang menengok istri dan lima anaknya yang tinggal di Taman Jaya, tapal batas cagar alam. Sakmin -- satu dari 67 petugas, PPA Ujungkulon dua kali memergoki penembak gelap badak bercula satu (rhinoceros sondaicus), yang langka. Penebang liar, sering pula dipergokinya. "Sekarang, dijamin tak ada lagi orang seperti itu," katanya. Dan berkat jasanya, berdasar sensus April lalu di sana badak berjumlah 58 ekor, naik dari 50 ekor tahun lalu. Pesantren An Nuqayah (berdiri 1887) di Desa Guluk-Guluk, Kecamatan Guluk-Guluk, Kabupaten Sumenep, Madura, mendapat penghargaan karena para santrinya berhasil mengajak penduduk melakukan penghijauan. Semula pesantren ini suka dilanda banjir bila hujan turun. Di musim kemarau, penduduk sulit mencari rumput untuk ternak, dan panasnya bukan main. H.A. Basith, ketua biro pengabdian masyarakat An Nuqayah, lalu diutus mengikuti latihan selama enam bulan di pesantren Pabelan, Jawa Tengah, yang diselenggarakan atas prakarsa LP3ES, suatu lembaga ekonomi-sosial dan penelitian di Jakarta. Sejak itu terbukalah hati Basith "memanfaatkan potensi besar masyarakat guna memperbaiki lingkungan hidupnya." Pihak pesantren mengajak masyarakat menanam pohon turi di sepanjang jalan desa. Ini terjadi 1978, ketika pihak pemerintah pun lagi menerapkan program penghijauan. Tapi didekat pohon turi yang ditanam, bibit akasia ditanam pula. Ternyata keduanya gagal. Gagal dengan turi, mereka mencoba lamtoro gung. Penanamannya disempurnakan, dengan cara menggali lubang sedalam setengah meter dan memasukkan pupuk dedaunan. Ini berhasil baik. Bukit Lancaran yang tak seberapa jauh dari pesantren, dihijaukan mereka pula dengan tanaman lamtoro gung, akasia dan kapuk. Masing-masing berjumlah 1500, 2000 dan 500 batang. Semuanya tumbuh baik, kata Basith, "karena kami selalu konsultasi dengan dinas pertaman. " Semua usaha penghijauan itu, "biayanya nol rupiah." Para santri dan masyarakat yang terlibat, cukup puas meneguk air teh sebagai honor. Bibitnya sebagian disediakan pihak pertanian, sebagian disemai pihak pesantren. Biaya cuma dikeluarkan waktu membuat tempat mandi umum dengan jalan membendung sumber air. Saringan kerikil, pasir dan injuk dibuat hingga airnya bersih. 'Ilmu' ini diperoleh dengan cara mengundang mahasiswa ITB ke pesantren. Dan pesantren mengajak masyarakat membuat jamban. Kini ada 30 jamban umum yang sudah dibuat. Akhirnya banyak warga masyarakat tertarik membuat jamban sendiri di rumah masing-masing. Uang hadiah Rp 5 juta, kata Basith, "akan kami gunakan untuk lebih menghijaukan daerah sekitar pesantren." Ini memang jumlah yang bukan main bagi pesantren yang luasnya 3,5 hektar ini, asuhan K.H. Mohd. Amir Ilyas.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus