GADIS PENAKLUK
Skenario: Parakitri Tahi Simbolon
Sutradara: Edward Pesta Sirait
MENYAJIKAN tema remaja dengan konsekuensi mengulang yang itu-itu
juga, agaknya sulit dihindarkan. Sutradara Edward Pesta Sirait
nampaknya menyadari hal ini. Sesudah filmnya Buah Terlarang yang
bergelimang masalah usang seperti kenakalan remaja dan hamil di
luar nikah, ia lewat Gadis Penakluk berusaha menghadirkan sosok
dunia remaja dari sisi lain, dari dalam.
Katakanlah itu suatu sisi kejiwaan, yang jika dilihat dari luar
selalu membosankan dan menyebalkan. Tapi dari dalam, sisi ini
menawarkan panorama lain yang lebih memikat. Beberapa hal
seperti konflik guru-murid, percintaan semusim ledakan emosi dan
semacamnya mungkin terlihat dari kacamata dewasa tak lebih dari
hal kecil, cengeng dan tidak penting, tapi lewat sisi ini jadi
terasa aktual, akrab dengan kita dan acapkali mengharukan. Film
ini menggali kekuatannya di sini, sama seperti yang dilakukan
film Inggris To Sir With Love yang beredar di awal tahun '60-an.
Kedua film ini sama-sama mengangkat tema remaja.
Dalam penokohan juga kebetulan sama: ada seorang Agnes (Merlyna
Husin), gadis brengsek, dan ada seorang guru muda (Adi Kurdi)
yang sabar dan bijaksana. Ia mengajar bahasa Indonesia.
Sebagaimana halnya guru lain, ia pun jadi sasaran keisengan dan
keusilan para murid. Namun berkat kearifan dan pendekatan yang
simpatik, sang guru berhasil menjinakkan anak-anak gembalaannya.
Proses menjinakkan ini digambarkan lewat berbagai adegan kecil
yang hidup dan kocak. Dan puncaknya tercapai tatkala Agnes,
gembong anak-anak berandal itu jatuh cinta pada bapak gurunya.
Dalam psikologi, jatuh cinta semacam itu dianalisa sebagai
pemujaan remaja pada seorang tokoh idola. Tapi dalam film ini,
hal tersebut suatu episode yang paling menentukan dalam hidup
Agnes. Sebab pada saat yang tepat ia belajar memahami dirinya
sendiri, perilakunya, lingkungannya. Ia bersama teman-temannya
juga belajar memahami mengapa misalnya guru harus dihormati,
mengapa ini benar dan itu salah, juga mengapa harus berbahasa
Indonesia yang baik. Hal terakhir ini mewarnai film secara khas,
tidak dibikin-bikin, tidak pula dipaksakan.
Jalan Pintas
Seperti dalam Buah Terlarang, setting yang diambil masih tetap
sekolah PSKD. Pilar-pilar tinggi dan langit-langit suram kali
ini tertolong oleh suasana segar, antara lain dialog yang bijak
tapi nakal. Penulis skenario agaknya tahu benar bagaimana
menjalin kisah berikut menyajikan masalah. Penonton jadi yakin
bahwa guru yang kurang dedikasi, bahasa Indonesia yang baik,
atau konflik guru-murid tidaklah sekedar cantolan belaka.
Kesemuanya menyatu dalam kaitan yang lancar, kecuali pada bagian
banjir. Bukan karena malapetaka itu sendiri tidak nampak di
layar, tapi karena abang sang guru jatuh sebagai korban.
Tokoh abang ini sejak mula diperkenalkan sebagai manusia
teladan. Tapi jalan cerita rupanya menuntut ia mati dan
meninggalkan seorang wanita yang diam-diam justru sedang
menghamilkan anaknya. Sebab musababnya tidak jelas. Peristiwa
ini dibiarkan gelap, bahkan dimanfaatkan sebagai jalan pintas
agar film berakhir secara adil bagi semua pihak. Agnes, sang
gadis penakluk, kehilangan guru pujaannya, sedang ayah Agnes
kembali pada istrinya dan guru muda itu menjadi suami untuk
wanita yang tidak dicintainya, bekas kekasih abangnya.
Penyelesaian rada kuno seperti ini agaknya tidak bisa
dihindarkan. Tapi seperti halnya semua film Sirait, Gadis
Penakluk kaya dalam nuansa, enak ditonton. Kalau dalam filmnya
terdahulu sutradara senang memotret ayunan langkah kaki sebagai
satu ekpresi, hal yang sama terulang dalam film ini. Tapi ayunan
langkah itu berkurang dalam frekuensi, terjalin rapi.
Dalam Festival Film Indonesia 1981 Gadis Penakluk memboyong 2
Citra, masing-masing untuk skenario terbaik (Parakitri) dan
pemain pembantu wanita terbaik (Ita Mustafa).
Isma Sawitri
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini