Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Dari sisi dalam, akrab

Skenario: parakitri tahi simbolon sutradara: edward pesta sirait resensi oleh: isma sawitri. (fl)

13 Juni 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

GADIS PENAKLUK Skenario: Parakitri Tahi Simbolon Sutradara: Edward Pesta Sirait MENYAJIKAN tema remaja dengan konsekuensi mengulang yang itu-itu juga, agaknya sulit dihindarkan. Sutradara Edward Pesta Sirait nampaknya menyadari hal ini. Sesudah filmnya Buah Terlarang yang bergelimang masalah usang seperti kenakalan remaja dan hamil di luar nikah, ia lewat Gadis Penakluk berusaha menghadirkan sosok dunia remaja dari sisi lain, dari dalam. Katakanlah itu suatu sisi kejiwaan, yang jika dilihat dari luar selalu membosankan dan menyebalkan. Tapi dari dalam, sisi ini menawarkan panorama lain yang lebih memikat. Beberapa hal seperti konflik guru-murid, percintaan semusim ledakan emosi dan semacamnya mungkin terlihat dari kacamata dewasa tak lebih dari hal kecil, cengeng dan tidak penting, tapi lewat sisi ini jadi terasa aktual, akrab dengan kita dan acapkali mengharukan. Film ini menggali kekuatannya di sini, sama seperti yang dilakukan film Inggris To Sir With Love yang beredar di awal tahun '60-an. Kedua film ini sama-sama mengangkat tema remaja. Dalam penokohan juga kebetulan sama: ada seorang Agnes (Merlyna Husin), gadis brengsek, dan ada seorang guru muda (Adi Kurdi) yang sabar dan bijaksana. Ia mengajar bahasa Indonesia. Sebagaimana halnya guru lain, ia pun jadi sasaran keisengan dan keusilan para murid. Namun berkat kearifan dan pendekatan yang simpatik, sang guru berhasil menjinakkan anak-anak gembalaannya. Proses menjinakkan ini digambarkan lewat berbagai adegan kecil yang hidup dan kocak. Dan puncaknya tercapai tatkala Agnes, gembong anak-anak berandal itu jatuh cinta pada bapak gurunya. Dalam psikologi, jatuh cinta semacam itu dianalisa sebagai pemujaan remaja pada seorang tokoh idola. Tapi dalam film ini, hal tersebut suatu episode yang paling menentukan dalam hidup Agnes. Sebab pada saat yang tepat ia belajar memahami dirinya sendiri, perilakunya, lingkungannya. Ia bersama teman-temannya juga belajar memahami mengapa misalnya guru harus dihormati, mengapa ini benar dan itu salah, juga mengapa harus berbahasa Indonesia yang baik. Hal terakhir ini mewarnai film secara khas, tidak dibikin-bikin, tidak pula dipaksakan. Jalan Pintas Seperti dalam Buah Terlarang, setting yang diambil masih tetap sekolah PSKD. Pilar-pilar tinggi dan langit-langit suram kali ini tertolong oleh suasana segar, antara lain dialog yang bijak tapi nakal. Penulis skenario agaknya tahu benar bagaimana menjalin kisah berikut menyajikan masalah. Penonton jadi yakin bahwa guru yang kurang dedikasi, bahasa Indonesia yang baik, atau konflik guru-murid tidaklah sekedar cantolan belaka. Kesemuanya menyatu dalam kaitan yang lancar, kecuali pada bagian banjir. Bukan karena malapetaka itu sendiri tidak nampak di layar, tapi karena abang sang guru jatuh sebagai korban. Tokoh abang ini sejak mula diperkenalkan sebagai manusia teladan. Tapi jalan cerita rupanya menuntut ia mati dan meninggalkan seorang wanita yang diam-diam justru sedang menghamilkan anaknya. Sebab musababnya tidak jelas. Peristiwa ini dibiarkan gelap, bahkan dimanfaatkan sebagai jalan pintas agar film berakhir secara adil bagi semua pihak. Agnes, sang gadis penakluk, kehilangan guru pujaannya, sedang ayah Agnes kembali pada istrinya dan guru muda itu menjadi suami untuk wanita yang tidak dicintainya, bekas kekasih abangnya. Penyelesaian rada kuno seperti ini agaknya tidak bisa dihindarkan. Tapi seperti halnya semua film Sirait, Gadis Penakluk kaya dalam nuansa, enak ditonton. Kalau dalam filmnya terdahulu sutradara senang memotret ayunan langkah kaki sebagai satu ekpresi, hal yang sama terulang dalam film ini. Tapi ayunan langkah itu berkurang dalam frekuensi, terjalin rapi. Dalam Festival Film Indonesia 1981 Gadis Penakluk memboyong 2 Citra, masing-masing untuk skenario terbaik (Parakitri) dan pemain pembantu wanita terbaik (Ita Mustafa). Isma Sawitri

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus