BANYAK ikan lele di Sungai Winongo (Yogya) mendadak menjadi
jinak. Penduduk begitu mudah menangkapnya. Dalam seminggu mereka
berhasil mengumpulkan ikan itu seberat 1,5 ton. Dalam minggu
berikutnya mereka mengumpulkan sebanyak 250 kg lagi. Rezeki
dalam Februari itu kemudian ternyata permulaan wabah.
Dari Kali Winongo, wabah itu dalam Maret mengejutkan penduduk di
sekitar Ambarukmo (Kabupaten Sleman). Di situ dalam tiga hari
saja sebanyak 1,5 ton lele mati. Bagai tak berkesudahan, awal
Mei, ikan lele di Kabupaten Bantul dan Kulonprogo pula jadi
korban. Dinas Perikanan DIY telah mencegah pengiriman lele ke
luar DIY, namun wabah itu terus menjalar akhir Mei ke Magelang.
Apa sesungguhnya penyakit itu? Semula ada dugaan kematian lele
itu disebabkan oleh kotoran buangan pabrik yang banyak mengalir
di Sungai Winongo. Tapi wilayah yang tak mendapat air dari
Sungai Winongo ternyata juga terkena penyakit serupa.
Penduduk kemudian menghubungkan wabah itu dengan hujan buatan-di
Gunung Kidul. Soeyono Tani Cipta Baruno, Kepala Seksi Budidaya
Ikan Dinas Perikanan DIY membantah hal ini. "Justru Gunung Kidul
itulah, satu-satunya kabupaten yang hingga kini tidak terjangkit
wabah," katanya. "Hujan buatan itu akan membuat ikan bertambah
subur, sebab mengandung pupuk urea. "
Dinas Perikanan DIY selain memberitahukan persoalannya pada
Jurusan Perikanan Fakultas Pertanian UGM, juga meminta bantuan
Lembaga Penelitian Perikanan Darat (LPPD) Bogor. Penelitian
sudah dimulai. Sementara itu, ikan lele yang korban kian
bertambah -sampai pekan lalu mencapai lebih dari 5 ton. Di
Kabupaten Sleman saja, dari hampir 46.000 mÿFD luas kolam yang
ada, lebih 3 ton ikan lele yang mati.
Berbeda dengan ikan air tawar umumnya, lele (Clarius
relanoderma) tak bersisik. Ini menyebabkan ia mudah dihinggapi
bakteri, jamur, virus, ataupun parasit lainnya. Jika diserang
penyakit, lendir yang menyelimuti tubuhnya gampang menghilang,
lantas kulitnya terluka, menembus dagingnya, dan akhirnya
tulangnya menyeruak. Bahkan ikan lele di Yogya sungutnya menjadi
putus, hingga ia kehilangan alat peraba, tak dapat mengenali
makanannya.
Lele hidup di lingkungan yang tidak hygienis. Seperti juga
belut, ia hidup di comberan. "la senang terbenam dalam lumpur,"
kata Ir. Rustadi dari Jurusan Ilmu Perikanan Fakultas Pertanian
UGM.
Tergolong ikan liar, lele makan sembarangan, termasuk kotoran
manusia. Oleh karena lingkungannya yang jorok itu, sungguh sulit
mengatasi penyakitnya.
Ngasem, pasar lele terbesar di Yogya sangat terpukul. Penjualan
di situ merosot, akibat wabah lele ini. Juga pemilik restoran,
seperti Mirota di Jalan Sala, Yogya, mengeluh. Tak banyak lagi
orang memesan pecel lele, masakan yang banyak digemari di sana.
"Pendapatan kami berkurang Rp 20 ribu sehari," ujar Budi Handoko
pemilik warung itu.
Kalium Permanganat
Dan Suyat, 3 tahun, yang sehari-hari hidup dari menangguk lele
di Kali Winongo, terpaksa menggantungkan jalanya. Ia kini
terpaksa menjadi buruh bangunan.
Lembaga Penelitian Perikanan Darat Bogor menyimpulkan lele di
DIY itu diserang bakteri Aeromonas hydraphila. Bakteri ini pula
yang menyerang ikan di wilayah Jawa Barat bulan Oktober dan
November tahun silam.
Penyakit itu tak hanya menyerang ikan yang dipelihara di
comberan, tapi juga yang di perairan umum. Akibatnya, terancam
pula benih lele di perairan umum. "Untuk mengatasi kekurangan
benih, ikan yang masih hidup harus dirawat secara baik," kata
Rustami Djajadiredja, Kepala LPPD Bogor. Kepada petani di DIY
konon akan diberikan lele dari Bangkok, yang sudah lama
dibudidaya di daerah Jawa Barat.
Dari penelitiannya itu, LPPD Bogor menjumpai betapa Dinas
Perikanan Tingkat II perlu menyediakan oba-obat seperti kalium
permanganat, dan antibiotika seperti terramycin. "Dan untuk
pencegahan," kata Rustami, makanan ikan perlu diberi
sulfamyracin.
Akhirnya, dinasihatkan agar kebiasaan membudidayakan lele di
comberan itu diubah. Lele yang dapat dipelihara seperti ikan air
tawar lainnya kini di anjurkan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini