TIGA pekan belakangan adalah hari-hari sibuk Menteri Kehutanan Hasjrul Harahap. Menyongsong peringatan Hari Lingkungan Hidup Sedunia 5 Juni, Hasjrul, yang diundang pemerintah Australia dan Selandia Baru, memanfaatkan kesempatan itu untuk berkampanye mengenai hutan tropis. Ia memang harus meyakinkan banyak pihak karena Indonesia dituding telah merusak "paru-paru dunia" tersebut. Maka, hampir pada setiap kesempatan Hasjrul mencoba meyakinkan dunia bahwa Indonesia memanfaatkan hutan alam tanpa mengabaikan kelestariannya. Peringatan Hari Lingkungan Hidup Se-dunia 1990 mengambil tema: Lingkungan Hidup dan Anak-Anak. Namun, isu tentang kelestarian hutan tropis seolah menenggelamkan tema "anak-anak" itu. "Soal hutan tropis memang selalu ramai jadi perdebatan," kata Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup Emil Salim. Tak heran setiap kali isu hutan tropis muncul ke permukaan, Indonesia tak luput masuk agenda. Pasalnya? Menurut pelbagai kalangan internasional, laju kerusakan hutan tropis Indonesia termasuk tinggi peringkat ketiga dunia, setelah Brasil dan Kolombia. Padahal, 10% dari hutan yang jadi "paru-paru dunia" itu ada di Indonesia. Hutan tropis Indonesia berjumlah sekitar 115 juta hektale -- nomor dua terbesar di dunia, setelah Brasil, yang punya stok sekitar 350 juta hektare. Alkisah, demikian menurut sebuah ramalan, hutan tropis Indonesia akan lenyap dalam dua abad mendatang kalau saja tingkat kerusakannya tetap 0,5% setahun. Tapi ada juga ramalan yang lebih seram: kerimbunan hutan tropis itu akan musnah dalam tempo satu abad. Ramalan bahasa bumi kita yang terkenal molek itu kelak bisa gundul mengacu pada perhitungan bahwa setiap tahun lebih dari satu juta hektare hutan tropis Indonesia berubah menjadi setengah telanjang -- bahkan konon telanjang bulat. Orang boleh saja percaya, boleh juga tidak. Tapi angka-angka yang meluncur dari kalkulator para juru ramal sungguh bukan omong kosong. Bayangkan, selama 1950 -- 1985 sebanyak 40 juta hektare hutan telah ditebang untuk pelbagai keperluan: ya untuk transmigrasi, perkebunan rakyat, tanaman industri, pertambangan, persawahan, sampai bisnis melego kayu ke luar negeri. Proyek-proyek menurut taksiran pukul rata telah melahap korban seluas 1,14 juta hektare hutan tropis setiap tahun. Lalu ada pencurian kayu besar-besaran yang sulit ditaksir jumlahnya. Itu masih ditambah lagi dengan kebakaran hutan serta perladangan berpindah. Maka, jadilah angka pemakaian hutan tropis melambung hampir dua kali lipat. Penebangan yang sewenang-wenang itu telah melanda hampir semua negara pemilik hutan tropis. Ujung-ujungnya, kalau terus-terusan dibiarkan begini, sungguh sebuah kisah yang teramat tragis: Hanya dalam waktu satu dasawarsa saja, 100 juta hektare hutan tropis, bersama ribuan spesies flora dan fauna di dalamnya, akan lenyap dari Afrika Barat. Asia Tenggara, Lereng Selatan Himalaya, Amerika Latin, dan Kepulauan Pasifik. Maka, bisa dimengerti bila nasib hutan tropis kini jadi salah satu isu internasional paling hangat. Itu pula yang mendorong para pencinta lingkungan, lewat wadah lembaga swadaya masyarakat (LSM), ramai-ramai menuntut agar negara-negara pemilik hutan tropis menjaga kekayaan alam tersebut. Dasar tuntutan yang mereka pakai bersandar pada klaim bahwa hutan tropis adalah paru-paru dunia. Kelebatan dedaunan di hutan tropis diharapkan bisa menangkal terjadinya bahaya global warming -- kenaikan suhu dunia akibat membengkaknya gas CO2 dalam atmosfer. Atas alasan itu pula, Menteri Hasjrul Harahap didaulat pencinta alam di Australia berdialog tentang kelestarian hutan di Hotel Hilton, Sydney, pekan lalu. Kelompok pencinta alam itu, antara lain Green Peace dan Kelompok Penjaga Hutan Tropis, menuduh lebih dari 90% hutan Indonesia rusak berat. Mereka menuntut agar penebangan hutan tropis dihentikan sekarang juga. Merasa dituding, Menteri Kehutanan Hasjrul Harahap mencoba mendudukkan perkara sebenarnya. "Saya jelaskan kepada mereka bagaimana kita mengelola hutan tropis," tuturnya setiba di Bandara Soekarno-Hatta, Rabu malam pekan lalu. Di depan kelompok pecinta alam di Australia itu, antara lain, ia menjelaskan seluk-beluk tebang pilih tanam Indonesia (TPTI), hutan tanaman industri, dan program konservasi. "Agar yakin mereka saya persilakan datang kemari untuk melihat sendiri kondisi lapangan," ujarnya. Sebelum dialog Hasjrul di Negeri Kanguru tadi, hutan tropis yang dirisaukan nasib itu digunjingkan dalam pertemuan ITTO (International Tropical Timber Organization) pada 16-23 Mei silam di Bali Beach Hotel, Denpasar. Delegasi negara konsu- men kayu tropis dan kelompok pencinta alam ingin mengetahui persis keadaan hutan di Indonesia. Bahkan berbagai pertanyaan gencar mereka itu terpaksa dijawab Bob Hasan. Menurut Ketua MPI (Masyarakat Perkayuan Indonesia) ini, Indonesia tidak main babat hutan begitu saja. "Sebagian hutan yang ada disisihkan untuk hutan lin- dung dan suaka alam. Bagi kedua jenis hutan ini, haram hukumnya ditebang," katanya. Masih menurut Bob Hasan, permintaan kayu tropis di pasaran itu malah dilayani dengan pengusahaan hutan produksi. Di situ juga ada aturan main yang tertera dalam panduan TPT] (Tebang Pilih Tanam Indonesia). Misalnya tegakan hutan yang di bawah 50 cm tak ditebang. Karena itu, Bob mengajak peserta sidang ITTO tak melulu mengkritik Indonesia. Apalagi hutan Indonesia masih tetap lebih hijau dibandingkan dengan di negara-negara maju yang sudah lebih awal menebangi hutannya. Australia contohnya. "Kalau kita terbang dari Melbourne ke Sydney dan kita lihat ke bawah, yang tampak tanah telanjang, merah seperti karpet," katanya. Pengusaha ini jengkel dengan kritik pelestarian hutan yang cuma dialamatkan ke negara-negara tropis yang relatif miskin. "Itu tidak fair," ujarnya di sela-sela sidang ITTO. Mestinya penebangan hutan di negeri maju seperti Amerika dipersoalkan juga. Mengapa tidak? "Kita makan kedelai dan gandum impor dan Amerika. Padahal, lahan untuk menanam kedelai dan gandum itu dulunya hutan juga," katanya. Bob optimistis terhadap pelestarian hutan walau ia sering "berkelahi" dengan pencinta lingkungan yang begitu kritis melihat hutan. Lantas, bagaimana keadaan hutan tropis di Indonesia? Potret sebenarnya sulit direkam. Tetapi, sebuah studi yang dilakukan lembaga PBB, yaitu FAO (Food and Agriculture Organization) pada 1981-82 memperkirakan, 114 juta hektare (60%) dari 191 juta hektare daratan Indonesia adalah berupa hutan. Sementara itu, Departemen Kehutanan mengklaim: kawasan hutan Indonesia adalah 144 juta hektare, atau 75% dari luas daratan. Jumlah ini dibagi empat kelompok, masing-masing hutan lindung 30 juta hektare, suaka alam 19 juta hektare, hutan produksi 64 juta hektare, hutan konversi 31 juta hektare. Dalam kondisi demikian, Indonesia lebih hijau dibandingkan dengan daratan Eropa Barat (minus negara-negara Skandinavia) yang hampir sama luasnya. Luas hutan di Eropa Barat sekitar 25%. Ini lebih buruk ketimbang Amerika Serikat yang punya hutan 32% dari luas daratannya. Di Kanada 78% dari 920 hektare tanahnya masih hutan. Berpegang pada data versi Departemen Kehutanan seperti sudah disebut tadi, penebangan pohon itu dilakukan di kawasan hutan produksi. Menurut Jamaludin Suryohadikusumo, Dirjen Pengusahaan Hutan, setiap tahun luas areal penebangannya 800 ribu sampai 1 juta hektare. Dalam pada itu, hutan lindung merupakan kawasan penjaga siklus hidrologis. Jadi, areanya tertutup. Daerah terlarang juga untuk hutan suaka alam -- termasuk suaka margasatwa, taman nasional, dan hutan wisata. Sedangkan hutan konversi adalah kawasan yang dicadangkan untuk perkebunan, tambak, persawahan, transmigrasi, atau hutan tanaman industri bagi perusahaan kertas dan pulp. Hutan konversi ini sebagai hutan primer atau sekunder kurang potensial untuk diusahakan sebagai hutan produksi. Potensi kayu dalam hutan konversi hanya 20 m3 per ha. Hanya yang layak dikelola sebagai hutan produksi adalah hutan yang memiliki potensi kayu di atas 40 m3 per ha. Di atas lahan hutan produksi inilah sekitar 540 pemegang HPH (hak pengusahaan hutan) menambang kayu. Pada hutan produksi berlaku banyak aturan -- seperti termaktub dalam pedoman TPTI. Diameter pohon yang digaruk mesti di atas 50 cm, dan siklus penebangannya 35 tahun. Komposisi pohon yang ditebang juga ada aturannya. Misalnya, kayu meranti yang digaruk tidak melebihi dari 75% dari seluruh kayu yang dipanen walau persentase ini bisa berbeda antara satu dan tempat yang lain. Demi siklus tebang itu, seorang pemegang HPH harus memetakan kawasan HPH-nya menjadi tujuh blok besar. Lalu, masing-masing dibagi lagi jadi lima blok kecil. Nah, blok kecil itulah yang menjadi jatah resmi penebangan setiap tahunnya. Penebangan di luar blok dianggap suatu pelanggaran. Sebelum melakukan penebangan, pemegang HPH diwajibkan membuat sebuah proposal yang disebut rencana kerja tahunan (RKT). Dan proposal tersebut dilengkapi lagi dengan paparan hasil survei pohon, yang kemudian dibuat peta tegakan berskala 1 km2. Ketika survei yang disebut cruising itu dilakukan, pohon-pohon yang layak tebang harus diberi tanda pengenal khusus. Berdasarkan peta itulah, lalu pemilik HPH membuat jalan-jalan di tengah hutan dan melakukan penebangan. Hasil penebangannya diperiksa oleh petugas kehutanan di tempat pengumpulan -- dan ini sekaligus untuk menentukan jumlah iuran hasil hutan serta dana reboisasi yang harus dibayar pengusaha HPH. Semua yang baru disebut lancar? "Nggak jalan," ujar Indro Tjahyono. Pimpinan Skephi (Sekretariat Kerja Pelestarian Hut- an Indonesia) ini bahkan memastikan konsep TPTI itu hanya di atas kertas, konon, setelah ia mengakui mengintip cara kerja HPH di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Irian Jaya. "Siapa, sih, yang mau capek masuk hutan becek menyensus pohon," ujarnya. Apalagi para perambah hutan itu, menurut Indro, bekerja atas dasar kepraktisan belaka. "Apa yang ada di hutan dan bisa dijual, diambil begitu saja," ujar arsitek tamatan ITB 1980 itu. Diameter kayu -- apalagi komposisi jenisnya -- malah tak mereka pedulikan. Tapi bukankah diperiksa petugas kehutanan? "Ah, semuanya bisa lewat dengan sogokan," tambahnya. Pemegang HPH bisa pula berbuat sederet maunya sendiri. Menurut Indro, mereka juga sering menebang di luar blok atau masuk ke hutan lindung. Lalu ia memperlihatkan tumpukan kayu berdiameter kurang dari 40 cm yang teronggok di tepian sungai. Di tangannya bahkan ada foto bengkel kendaraan berat di tengah hutan lindung Lorelindu. di Sulawesi Tengah. Agaknya, kenakalan pengusaha HPH memang tak terlepas dari mutu oknum petugas kehutanan sendiri. Seorang manajer di perusahaan HPH yang beroperasi di perbatasan Riau-Sumatera Barat-Sumatera Utara bersaksi adanya permainan dengan si petu- gas. "Saya biasa membawa uang sekoper kalau ngurus RKT (Rencana Kerja Tahunan), bisa belasan juta rupiah atau lebih," ujarnya. Dengan cara itu, kerja perusahaan HPH menjadi enteng. Survei pohon dan pembuatan peta bisa dilakukan secara fiktif dan tentu saja mudah lolos dari pemeriksaan petugas. "Hubungan baik" itu juga membuat mereka lebih leluasa menebang di luar blok yang disetujui, atau, melakukan keonaran lain: menebang tanpa menunggu siklus 35 tahun. Pengusaha HPH tahu benar bahwa pohon-pohon hutan terus tumbuh. Maka, blok yang telah digarap sering didatangi lagi, 4-5 tahun kemudian. Dalam jangka waktu itu, di situ sudah bisa ditemukan kembali sejumlah pohon yang tumbuh membesar dan layak tebang. Perbuatan yang biasa disebut "cuci mangkok" ini, kata sumber tadi, memang lazim terjadi. Bahkan, yang keterlaluan adalah menebang di luar blok. Dan ini manggasak hutan lindung. Santer disebut bahwa pelaku kenakalan jenis dimaksud adalah PT Kawedar Mukti, yang beroperasi di Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat. Soegeng Widodo, Kepala Dinas Kehutanan di sana, tidak meng-iya-kan pelanggaran itu, tapi mengakui bahwa perusahaan ini "memang nebangnya ngawur". Kasus memangsa hutan lindung juga ada di Sumatera Utara. PT Bakakas Lumber Co. dan PT Goodwin Timber yang beroperasi di sana, misalnya, melakukan tindak tercela itu. Lebih dari 1.000 hektare hutan lindung korban. "Izin HPH mereka dica- but," ujar Drs. M. Purba, pejabat di Kanwil Kehutanan Sumatera Utara, kepada Irwan Siregar dari TEMPO. Memang, pihak Departemen Kehutanan tak menutup mata. Setelah dua tahun belakangan ini pengawasannya ditingkatkan, terjaring 230-an perusahaan HPH yang melakukan lebih dari 300 kasus. Dan empat di antaranya menebang hutan lindung. Keempat perusahaan itu, kata Dirjen Jamaludin Suryohadikusumo, akan diajukan ke pengadilan. Pelanggaran lain hanya dikenai denda dan ada yang membayar hampir Rp 1 milyar. "Kalau mereka melakukan pelanggaran lagi, kami akan larang mereka menebang," ujar Jamaludin Suryo. Tapi, praktek pendendaan itu masih simpang siur. Seperti disebut sumber TEMPO di Kanwil Kehutanan Kalimantan Barat "Ada yang didenda Rp 100 ribu per m3 kayu yang dicuri, ada pula yang cuma kena Rp l0 ribu." Sebaliknya, pengawasan dari Departemen Kehutanan sulit ketat. Selain sebagian aparatnya terbiasa berpraktek "damai", jumlah mereka juga tak memadai. Laporan Bank Dunia setahun lalu malah menyebutkan tentang 50% petugas Kehutanan berada di Jawa, pulau yang hanya memiliki 2% dari luas hutan di Indonesia. Namun, kerusakan hutan bukan saja akibat "malapraktek" HPH. Kasus pencurian kayu, dari hutan produksi, atau hutan lindung, merupakan ancaman tersendiri. Ada contoh dari H.M. Arma, Wakil Gubernur Sumatera Selatan. "Penebangan liar punya andil besar dalam merusak hutan Sum-Sel," katanya dalam konperensi pers pertengahan Mei lalu. Indikasi Penebangan liar juga terlihat dari volume kayu yang disetor ke Industri Pengolahan Kayu (IPK). Di Sum-Sel, jumlahnya 681 unit. Dalam skenario resmi, semua IPK itu hanya dimaksudkan melayani sejumlah HPH di provinsi yang memproduksi kayu log 1,5 juta m3 setahun itu. Untuk memanfaatkan kelebihan kapasitas IPK yang ada, mereka diizinkan mernasok kayu log dari HPH di Jambi, Sum-Bar, Kal-Bar, yang besarnya 300 ribu m3 per tahun. Prakteknya lain. Seluruh IPK justru menggarap 4 juta ton kayu log setahun. Sisa 2,2 juta ton itulah dianggap dari pe- nebangan liar. Arma mengantungi bukti. Di Lebong Hitam, Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan, Januari lalu pihaknya memergoki 18 IPK menerima pasokan kayu curian. "Kini mereka sedang diproses untuk dibawa ke pengadilan," kata Arma kepada Bersihar Lubis dari TEMPO. Gara-gara ulah itu, kemudian Arma menginstruksikan kepada semua bupati dan wali kota di Sum-Sel agar mengawasi IPK-IPK yang ada. Industri pengolah kayu itu disebutnya bahkan sebagai penyandang modal bagi penebangan liar. "Sindikatnya rapi seperti mafia," tambahnya. Untuk memerangi sindikat Itu, ia memerintahkan para pejabat tadi mencabut izin operasi IPK yang tidak punya jaminan pasokan dari sumber resmi. Rusak dan ciutnya hutan bukan cuma dari tindak pencurian atau pengusahaan hutan. Laporan Bank Dunia malah menambah dua lagi: proyek pemerintah, kebakaran, dan peladangan berpindah. Proyek pemerintah -- seperti PIR atau Perusahaan Inti Rakyat, tambak, dan sejenisnya -- menurut laporan itu, menelan lahan tak kurang dari 250 ribu hektare setahun. Juga, perladangan berpindah perlu diperhitungkan. Bank Dunia menaksir ada 11 juta hektare hutan lahan di Sumatera, 14 juta hektare di Kalimantan, dan 2 juta hektare di Irian merupakan ajang perladangan berpindah. Setiap tahun, konon, 500 ribu hutan dijarah para peladang. Angka itu jauh lebih besar dibandingkan dengan korban panggangan api yang "cuma" 70 ribu ha per tahun. Yang menarik justru laporan Bank Dunia menyebutkan bahwa kerusakan hutan akibat penebangan kayu hanya sekitar 80 ribu ha per tahun, atau 10% dari areal tebangan. Dan di bagian lain dalam laporan itu dicatat, kerusakan tegakan hutan rebah selama penebangan berlangsung. "Itu angka ajaib," ujar Indro Tjahyono tentang angka 80 ribu tadi. Terlepas dari yang ajaib itu, para pengusaha HPH memang wajib menanam kembali sejumlah bibit di areal bekas tebangan. Dalam panduan TPTI, prosedur ini disebut enrichment. Namun, bibit itu tidak gampang ditanam, seperti disangka. Pelaksanaannya di lapangan sulit. "Sekitar 80% bibit yang ditanam mati," ujar Soegeng Widodo yang tadi. Padahal, hutan merupakan komunitas yang tumbuh menurut caranya sendiri untuk mencapai keseimbangan dalam populasi baru. Karena itu, menurut Bank Dunia, hutan membangun diri dengan kecepatan setara dengan 1,3 m3 tegakan pohon per ha setahun. Penebangan, tentu saja, akan membuatnya menciut. Jika praktek penebangan dibiarkan seperti yang sudah-sudah, Bank Dunia mengingatkan, hutan di Kalimantan dan Sumatera akan tersisa 26,8 juta hektare pada tahun 2001 nanti. Namun, kalau pelaksanaan TPTI benar-benar dibenahi, maka hutan yang tersisa mencapai 30,4 juta hektare. Selisih 2,6 juta hektare ini hampir lima kali luas Pulau Bali. Memang, bukan jumlah yang sedikit. Putut Tri Husodo, Wahyu Muryadi (Jakarta), dan Djunaini KS. (Pontianak)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini