BOLEH jadi kali ini warga Nahdlatul Ulama tak banyak yang ribut. Tak seperti ketika organisasi keagamaan terbesar di Indonesia ini menyatakan diri kembali ke Khitah 1926. Atau ketika Ketua Tanfiziah NU Abdurrahman Wahid menjadi juri Festival Film Indonesia 1985, dan sesepuh NU Kiai As'ad menyebutnya sebagai "ketua ketoprak". Atau ketika pernyataan Gus Dur, panggilan akrab Ketua Umum PB NU itu, terpublikasikan secara tak utuh. Yakni pernyataannya tentang ucapan assalamualaikum, yang dalam suatu wawancara dengan sebuah majalah di Jakarta ia katakan boleh diganti dengan "selamat pagi." Juga tak diributkan seperti ketika putra K.H. Wahid Hasjim ini menerima penunjukan sebagai anggota MPR dan ia memilih fraksi Golkar. Padahal, masalahnya cukup serius. Suatu kegiatan, yang dalam Islam sendiri belum dicapai kata sepakat bulat, yakni soal bunga bank. Itulah ihwal ditekennya perjanjian kerjasama antara NU dan PT Bank Summa untuk mendirikan 2.000 Bank Perkreditan Rakyat (BPR), Jumat pekan lalu di Hotel Sahid Jaya, Jakarta. Adakah NU begitu saja menerima lembaga bank dengan bunga banknya sebagai yang jelas halal? Ketika peristiwa itu berlangsung di Ruang Prambanan di Hotel Sahid itu, segalanya berjalan beres meski suasana yang terlihat, dan terdengar -- bagi mereka yang suka mengikuti acara-acara Bank Summa -- ada yang aneh. Umpamanya, dalam sambutannya, William Soeryadjaya -- bos Astra, perusahaan induk Bank Summa -- untuk pertama kali dalam sebuah sambutan berkali-kali menyebut "Tuhan". Kemudian hadirin itu sendiri sangat beragam pakaiannya. Pihak Summa dan Astra jelas bersetelan lengkap: berjas dan berdasi. Ketua Umum NU Abdurrahaman Wahid, seperti bisanya, berbaju batik dan berpeci miring. Sementara itu, tamu dari pihak NU tampil dengan biasa: prianya hanya berpeci, dan berkemeja biasa tanpa berdasi, sementara wanitanya berkebaya dan berjilbab. Tapi, peristiwa penandatanganan yang adem itu, bila ditengok ke dalam NU, terlaksana setelah lewat debat panjang. Setidaknya ada tiga kali rapat: pertama di Pesantren Tebuireng, Jombang, Jawa Timur kedua, di Jakarta dan ketiga di Jakarta juga, di Markas Besar NU, di Jalan Kramat Raya 164, Rabu malam pekan lalu. Dalam semua rapat dua hal menjadi bahan acara. Yakni laporan Tanfiziah NU dan soal pembentukan BPR. Dari rapat ketiga itulah, yang makan waktu enam jam, akhirnya penandatanganan dua hari kemudian dilaksanakan. Tak susah ditebak, mulurnya waktu memang karena "penjeiasan" soal BPR yang diperlukan memang tak bisa simpel. Dan fokus perdebatan memang tentang soal lama: halal-haramnya bunga bank. Dalam rapat yang dipimpin oleh K.H. Ali Yafie, Wakil Rais Am PB NU, konon sang ketua rapat segera meminta penjelasan dari orang yang ditunjuk bertanggung jawab. Yakni Ali Ridwan, Direktur Utama PT Duta Dunia Perintis (DDP) -- perseroan terbatas yang dibentuk oleh NU guna mendirikan BPR itu. Menurut K.H. Ma'ruf Amin, 47 tahun, Katib Am (Sekretaris Umum) Syuriah NU, selain dalam rapat-rapat ditinjau seluk-beluk perbankan, hadirin juga menengok ke sejarah NU itu sendiri. Tentang lembaga bank sebagai shayarifah, lembaga yang melayani masyarakat, tak ada masalah. Tapi tasharuffnya, yakni transaksi yang dilakukan bank itu dengan nasabahnya, masih diperdebatkan. Dalam sejarah NU, kata Kiai Ma'ruf, ada tiga pendapat. Yakni, bunga bank itu haram, halal. dan syubhat (maksudnya masalah yang ditunda dulu putusannya). Tapi dalam Kongres ke 12 NU di Malang. Jawa Timur, forum kali itu mengambil keputusan sangat hati-hati: bunga bank haram hukumnya. Tahun berikutnya dibuka Kongres ke-13 Persisinya, pada 14 Juni 1938 dalam satu Majelis Tertutup, dimulai pukul 10 pagi, dipimpin oleh K.H. Zainoel Arifin dan H.M. Dachlan sebagai sekretaris, dibahaslah perlunya NU memiliki bank Islam. Menurut dokumen yang masih disimpan, dicatat bahwa rapat menyetujui anggapan bahwa "mendirikan bank adalah suatu jalan untuk memajukan perekonomian rakyat." Untuk memperoleh sosok bank yang jelas, dimintalah K.H. Abdul Wahab Chasbullah (salah seorang pendiri NU), menje- laskan ihwal bank. Di situlah Kiai Wahab Chasbullah mengulang anggapan yang ada dalam tubuh NU tentang bunga bank. Kembali disebut adanya tiga pendapat: halal, haram, dan syubhat. Yang kemudian tak jelas dalam catatan yang masih ada, mengapa pada akhirnya Majelis menjatuhkan pilihan pada anggapan bahwa bank (tentunya dengan pengertian beserta bunga banknya) halal. Menurut Kiai Ma'ruf Amin, ya itu tadi. Diterimanya penghalalan itu karena yang jadi masalah itu adalah transaksi antara bank dan nasabah. Ada transaksi yang menyebabkan bunga bank jadi riba karena demikian mencekik nasabahnya, atau sebaliknya. Salah satu contoh, nasabah yang demikian jujur dan bisa bekerja keras, tapi karena musibah jatuh bangkrut hingga tak mungkin membayar cicilan kredit. Di situ pasal-pasal dalam transaksi jadi menentukan. Bila kepada pengambil kredit itu pihak bank menjatuhkan penyitaan atas harta miliknya guna membayar uang yang dipinjamnya, jelas bank ini tergolong yang diharamkan. Bila terjadi suatu musyawarah, mencarikan jalan keluar pada yang terkena musibah, inilah bank yang dipuji. Umpamanya, bank pun ikut menanggung kerugian ltu. Penjelasan inilah yang rupanya dalam pertemuan enam jam itu yang diterima. Maka, tugas NU kini adalah merumuskan transaksi-transaksi macam apa yang nanti boleh dipraktekkan di PBR-PBR yang didirikan NU dan Bank Summa. Sementara menanti rumusan yang akan diusalkan oleh PB Syuriah BPR akan berpraktek sebagai mana bank biasa (lihat bagian 2, wawan- cara). Soalnya, sudah dianggap mendesak adanya BPR itu. "Sudah hajiyat," kata Kiai Ma'ruf, "maka akad permulaannya akan disempurnakan, tak sebagaimana akad umumnya bank yang tak jelas." Tapi, benarkah pertemuan yang dihadiri oleh 25 pengurus NU itu bisa dianggap mencerminkan pendapat umat NU seluruhnya? Dua hari setelah rapat, Ahad 3 Juni, di rumah K.H. Masjkur, selah seseorang sesepuh NU di Jakarta, diadakan silaturahmi halal bi halal warga NU. Sebagai pengundang adalah Lembaga Dakwah Nadhlatul Ulama yang diketuai oleh H. Sukron Makmun. Hadir sekitar 300 hadirin, termasuk dari kedutaan besar Mesir, Maroko, dan Arab Saudi. Mungkin, karena adanya tamu-tamu, di antara hadirin tak terdengar keras membicarakan soal bank NU. Toh, dalam acara sambutan, setidaknya dua warga NU secara terbuka mempertanyakan keputusan kerjasama NU dengan konglomerat. H. Sukron Makmun sendiri masih merasa bingung. Sebab. "Langkah itu kan belum menjadi kesepakatan para ulama NU. Memang ada yang setuju bunga bank, tapi itu kan belum final." Yang terdengar keras adalah yang tampil menyambut setelah Ketua Lembaga Dakwah itu. Yakni Syekh Habib Al Jufri, seorang dai asal Jawa Timur. "Ada apa di balik pemberian dana itu kalau bukan untuk mengambil keuntungan dari umat Islam sendiri?" demikian retorika Habib Al Jufri. "Dan itu berupa keuntungan ekonomis maupun politis." Habih Al Jufri mengakui bahwa sebagian besar umat NU, dan umat Islam pada umumnya, lemah posisi ekonominya. Tapi jangan ditingkatkan "dengan dana Yahudi dan dengan jalan haram." Sayang, Syekh dan Jawa Timur ini tak memberi uraian lanjut apakah semua jenis bank haram, dan benarkah pemberi modal untuk BPR-BPR NU Yahudi. Apalagi memberi alternatif usaha. Dari sini tampaknya alasan buat membantu lapisan bawah meningkatkan ekonominya masuk akal. Kata K.H. Yusuf Hasyim, terhitung paman Abdurrahman Wahid, BPR bisa menjembatani kesenjangan sosial antara ekonomi lemah dan ekonomi kuat. Tentu saja kiai yang mukim di Pondok Tebuireng itu mensyaratkan sejumlah hal. Antara lain, dilatihnya karyawan dari NU di BPR agar terampil dan benar-benar mengetahui kerjanya. Tentunya agar mereka tak mudah tertipu. Dan bisa melakukan pendekatan dengan nasabah seperti yang diinginkan NU, dengan wajah dan hati bersih. "Untuk sementara mereka kami latih di bank-bank pemerintah," tutur Yusuf Hasyim. Faktor yang ditekankan oleh Kiai Yusuf tentunya mengambil pengalaman masa lalu. Bank Nusantara yang didirikan oleh orang-orang NU di Jakarta, meski sempat jaya di awal 1960-an, harus bubar pada sekitar ]967. Lalu Bank Ya Muallim di Semarang, dan sempat punya cabang di beberapa kota, bertahan sampai 1973 sebelum ambruk. Bank yang khusus mengurusi haji ini pada 1969 pernah dimasalahkan oleh nasabahnya karena tak bisa mengembalikan uang simpanan naik haji. Dan sempat salah seorang pengurusnya dipenjarakan setahun. Semua itu, menurut komentar beberapa warga NU, karena manajemennya tak beres -- hal yang tak diinginkan terjadi pada BPR NU kini. Soal kemampuan BPR itu pula yang diragukan oleh Dawam Rahardjo, dari LP3ES. Terutama kemampuannya bersaing dengan pengijon. "Kalau BPR tak efisien, apalagi sampai tak diterima rakyat di pedesaan, kecil kemungkinan berhasilnya," kata Dawam. Padahal, bila dikaji, niat NU dengan PT Duta Dunia Perintis sungguh mulia dan berani. Benar, bisa saja justru NU yang dimanfaatkan oleh pemodal untuk masuk ke pelosok. Tapi, mengingat jangka panjangnya BPR akan dimiliki oleh NU, dan di perjalanan dimungkinkan adanya sistem transaksinya, ide ini mestinya mendapat dukungan positif. Ketika di kota-kota peluang usaha kecil makin dipepet, asongan dan abang becak disilakan minggir dari Jakarta, dan kemudian di desa-desa usaha mereka dibiarkan mati enggan hidup tak mau, lalu di mana sebenarnya hak hidup mereka? Ketika seorang ibu pedagang sayur menarik uangnya dari bawah kasur dan membawanya ke sebuah BPR, mestinya itu dilihat sebagai suatu kesadaran yang mesti dibina dan diberi kesempatan berkembang seterusnya. Bambang Bujono, Wahyu Muryadi, Priyono B. Sumbogo
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini