Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Anak Kita

Poster internasional dalam menyambut tahun lingkungan menemakan anak. anak desa, anak udik, anak kota, anak pantai bukan hidup untuk dicibir dan dilukai hatinya. mereka adalah anak-anak kita.

9 Juni 1990 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ANAK, duh kanak. Makhluk titipan Tuhan melalui rahim ibu ini -- di mana saja mereka -- memang anak kita. "Mawar kirmizi hari ini zuriat dua insan, yang fana dan junun," tulis penyenandung tidak terkenal dalam sepotong sajak lusuh. Mungkin dia melihat awalnya alam sekitarnya membentuk karakter anak. Si cilik tumbuh bersama "kata" yang mengalir dari lingkungan sendiri, terdekat. Dan ini lazimnya dimulai dengan ucapan yang dapat menolong watak. Karena itu, tanpa niat berkhotbah, sebuah poster kemudian menyerukan: "Hentikan melontar kata-kata yang melukai hati". Tahun ini, poster internasional menyambut Tahun Lingkungan, menemakan anak di sekitar tempat masing-masing. Lihat, misalnya, bocah yang asyik bermain dengan bebatuan sungai, di pematang sawah, alang-alang huma, tanah basah atau lumpur, dan rimbunan pepohon. Alam dan lingkungan memberinya keterampilan. Kayu, bambu, pelepah pisang dan kelapa, atau putik buah, diolah menjadi alat permainan adaptif. Sedangkan rekan mereka di kota seperti kehilangan tradisi dan memikul perubahan. Ketika kota berkembang, dan sejengkal tanah direbut dan dikuasai, dan angin kehabisan napas yang tidak lagi disambut sendalu bintang pagi, mereka bahkan menjadi anak-anak yang ditakdirkan menerima apa adanya. Tanpa lagi ada permainan yang diberikan alam. Usai sekolah, biasanya, mereka bergelut dengan tembok lorong, aspal jalanan, taman asri, dan dengan kumuhnya tempat tinggal. Sedangkan teknologi memberinya komputer, robot, gamewatch, pesawat tempur, atau pahlawan ruang angkasa. Produk impor itu terus melanda dan menenggelamkan mitologi bangsa -- seperti wayang, cerita rakyat, fabel, atau tradisi lain -- yang konon sebelumnya disebut ampuh mewarnai pembentukan watak. Di saat demikian, tiba-tiba ada ayah dikejutkan oleh keinginan anaknya. "Putri mau lihat kerbau. Benarkah kerbau sama dengan sapi?" Hasratnya yang lain, Putri berimajinasi tentang gunung hijau untuk segera dilukisnya di kanvas "Bagus," puji guru gambar di televisi, usai menyimak karya Putri. Anak desa, anak udik, anak dusun, anak pantai, dan anak kota bukanlah hidup untuk dicibir dan dilukai hatinya. Mereka adalah anak-anak kita. Zakaria M. Passe

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus