Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Greenpeace bersama Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis.Universitas Indonesia (LPEM FEB UI) berkolaborasi untuk peluncuran makalah kebijakan energi fossil lock-in, Selasa 12 Desember 2023, di Jakarta. Peluncuran makalah tersebut merupakan bagian dari respons mengenai emisi karbon yang kini menjadi penyebab krisis iklim di dunia, khususnya Indonesia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kepala Kelompok Penelitian Ekonomi Hijau dan Iklim LPEM FEB UI Alin Halimatussadiah mengatakan makalah tentang kebijakan energi fossil lock-in berisikan data-data terkait batu bara dan solusi yang ditawarkan untuk mengurangi pemakaiannya. "Masalah batu bara saat ini berada di sektor kebijakan yang masih mendukung pemakaian batu bara secara hukum dengan pengembangan terus-menerus Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batu bara," kata Alin saat memulai diskusi peluncuran makalah, Selasa.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Alin, langkah untuk menghentikan penggunaan batu bara dengan cara memanfaatkan energi terbarukan masih minim. Sebab, dari riset yang ia temukan, energi terbarukan masih berada di ruang terbatas dan investor kurang tertarik mendanainya.
Alin pun menyebut cita-cita untuk berkomitmen terhadap penanganan iklim hingga kini belum ada titik terangnya. Sebanyak 79 persen batu bara yang ada di Indonesia juga menggunakan teknologi subkritis dan menghasilkan lebih banyak emisi.
Merujuk kepada penanganan krisis iklim yang terjadi akibat banyaknya emisi dari pembakaran batu bara, LPEM FEB UI pun menyarankan kepada pemerintah untuk menghentikan pengembangan PLTU dan mempercepat melakukan pensiun awal kepada pembangkit batu bara yang masih beroperasi.
Selain dengan penghentian pengembangan PLTU batu bara, menurut Alin, pemerintah bisa mengurangi pembakarannya dengan cara memberikan pajak yang lebih tinggi terhadap pemakaian batu bara. "Penentuan harga karbon sangat penting untuk mempercepat pensiun batu bara," ujarnya.
Alin juga menilai langkah menghapus subsidi bahan bakar fosil bisa mengatasi pemakaian batu bara. Reformasi subsidi memberikan pemerintah kesempatan untuk mengalihkan penghematan yang sebelumnya dialokasikan untuk pengembangan energi terbarukan.
"Transisi dari subsidi berbasis komoditas ke subsidi yang ditargetkan sangat penting, demi mendapatkan dukungan politik dan sosial," kata Alin.
Pandangan lain yang disampaikan Alin adalah menetapkan kebijakan terkait harga karbon untuk mendorong transisi energi bersih. Cara ini merupakan strategi ekonomi yang efektif untuk meningkatkan daya saing energi terbarukan. Selain itu, mampu mengatasi kegagalan yang disebabkan oleh eksternalitas negatif emisi batu bara.
"Penetapan harga karbon terbukti menjadi instrumen berharga untuk merangsang investasi dalam energi rendah karbon dan teknologi," kata Alin.
Komoditas batu bara masih menarik di Indonesia
Peluncuran makalah LPEM FEB UI yang disampaikan oleh Alin direspons beberapa penanggap, salah satunya Paul Butarbutar selaku Wakil Sekretariat JETP Indonesia. "Kita mengakui kalau komoditas batu bara menarik di Indonesia, sebab cara dapatnya termasuk mudah, tinggal digali dan dapat," kata dia.
Paul menyebut di luar negeri, misalnya daerah Jerman, batu bara sulit didapatkan. Para penambang sangat kesulitan mendapatkan batu bara karena harus bersusah payah dahulu. Sementara di Indonesia mudah didapat sehingga batu bara masih primadona dipakai di Indonesia.
Paul juga merasa miris yang kurangnya inovasi dalam memanfaatkan batu bara. Ia membayangkan seharusnya ada riset yang membahas tentang pemanfaatan lain dari batu bara selain dibakar supaya mengurangi emisi karbon yang dihasilkan.
"Batu bara menjadi momok sebab emisinya cukup tinggi, coba kita bayangkan berapa jumlah emisi karbon yang dikeluarkan tiap kwh (jumlah ukur listrik) yang kita pakai," ujar Paul. "Tidak berharap ke depannya kita terus menggunakan PLTU, tapi kita harus melihat apakah nanti akan tetap dipakai PLTU tapi bahan bakarnya diganti."
Paul menilai penutupan PLTU juga bukan solusi karena dinilai dapat menghilangkan potensi yang ada. Seharusnya yang dipikirkan saat ini adalah bagaimana mencari energi alternatif dengan tetap memanfaatkan fasilitas yang sudah terbangun sebelumnya, seperti PLTU.
Pada intinya, Paul mengatakan penanganan emisi karbon yang disebabkan oleh pengoperasian PLTU batu bara harus diselesaikan. Salah satu cara yang ditawarkan adalah memberikan kemudahan untuk setiap pembangunan energi terbarukan sebagai pengganti batu bara.
Jika biasanya negara memasang pajak yang lumayan tinggi untuk setiap pembangunan, maka dalam rangka pemanfaatan energi terbarukan dan pembangunan fasilitasnya, pemerintah bisa hadir dengan memberikan fasilitas fiskal tanpa membedakan pembangkit yang dibangun. "Jadi ada kebijakan yang diatur negara supaya energi terbarukan bisa mudah dibangun. Salah satunya dengan mengurangi pajak pembangunannya juga, supaya semua yang investasi bisa lebih mudah dan energi terbarukan bisa terbangun," ujar Paul.
Pilihan Editor: Dubai Berkomitmen Kurangi 50 Persen Emisi Karbon di 2030