INDONESIA sesungguhnya patut dicemburui. Negeri yang luasnya hanya 1,3% dari luas daratan bumi ini ternyata menduduki posisi nomor dua di dunia -- sesudah Brasil -- dalam hal keanekaragaman hayati. Jenis tumbuh-tumbuhan, hewan, dan mikroorganismenya sa-ngat kaya. Beberapa tumbuhan, yang tersebar di seantero bumi, ber-asal dari negeri ini. Keanekaan burung dan kupu-kupunya juga tak tertandingi. Banyak ahli dan pengamat asing terkagum-kagum akan kekayaan flora dan fauna Indonesia. Sebaliknya, orang kita rata-rata tak peduli, bahkan cenderung meremehkan. Sementara itu, proses pembangunan jalan terus dengan dampak kerusak-an lingkungan. Luas areal hutan menyusut, wilayah pantai rusak, terumbu karang hancur, daratan dieksploatasi besar-besaran. Kondisi seperti itu juga menimpa hampir semua negara di dunia. Inilah yang mendorong ke arah peles-tarian lingkungan hidup. Beberapa LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) di Indonesia telah merintis gerakan pelestarian itu, antara lain dengan dukungan dana dari luar. Ini tidak mudah karena tidak semua LSM mempunyai akses ke sana. Dalam situasi yang tidak menguntungkan itu, Januari silam pihak pemerintah dan swasta sepakat membentuk Yayasan Keanekaragaman Hayati (Kehati), yang akan menjadi penyandang dana untuk berbagai program keanekaan hayati. Dan akhir Februari lalu berlangsung rapat pertama dewan penyantun Kehati di Jakarta. Hadir dalam acara tersebut Ketua Bappenas, Menteri Kehutanan, dan Menteri Negara Lingkungan Hidup, dan tentu saja bekas Menteri KLH, Emil Salim, yang menjabat sebagai Ketua Dewan Penyantun. Adapun peserta rapat lainnya adalah para bankir terkemuka, pengusaha, dan ilmuwan. Sebagai lembaga penyandang dana, Kehati akan menyalurkan dana kepada LSM. "Sifat yayasan ini terutama sebagai katalisator. Yayasan akan mendorong masyarakat untuk berupaya dalam usaha pelestarian dan pemanfaatan keanekaragaman hayati," demikian Emil Salim. Tokoh yang berjasa dalam membentuk wawasan lingkungan pada rakyat Indonesia ini lalu menjelaskan apa manfaat program pelestarian itu. "Di dalam ekosistem terdapat beberapa genetik yang menjadi sumber obat dan makanan di masa depan," tutur Emil lagi. Kulit kayu pinus, misalnya, ternyata mengandung bahan baku obat untuk melawan penyakit polio. Dari contoh ini bisa dibayangkan betapa rugi manusia bila pinus itu punah dari muka bumi. Karena itu, tak ada pilihan lain kecuali mengamankan semua sumber hayati dari kepunahan ataupun kelangkaan. Untuk itu, Kehati telah berhasil meyakinkan USAID, lembaga pemerintah Amerika Serikat yang berwenang memberi bantuan luar negeri. Tapi, pendekatan pada USAID tentu akan menimbulkan tanda tanya, karena bukankah AS dua tahun lalu -- dalam KTT Bumi di Rio de Janeiro -- menolak untuk menandatangani konvensi internasional mengenai keanekaragaman hayati. Kini AS tampaknya berubah sikap. Tanpa gembar-gembor, Juni tahun lalu AS telah menandatangani konvensi internasional mengenai biodiversity (keanekaragaman hayati). Sekarang AS akan menghibahkan dana untuk pelestarian keanekaan hayati pada Indonesia. Langkah ini diikuti Jepang yang telah mengucurkan US$ 20 juta, untuk membiayai program-program serupa. Dana dari AS itu akan diserahkan pengelolaannya kepada pihak swasta -- dalam hal ini Kehati. Menurut Sekretaris Kehati, Agus Purnomo, USAID menjanjikan US$ 15 - 18 juta sebagai dana abadi dan US$ 3 juta untuk membiayai overhead publikasi dan pengumpulan dana. Dana abadi itu akan ditanamkan dalam berbagai bentuk investasi, terutama di AS sendiri. Bunganyalah yang dipakai untuk membiayai program Kehati. Ada kekhawatiran bahwa bantuan itu akan membuat dunia hayati kita menjadi terbuka lebar bagi negara donor. "Dari segi organisasi, itu bisa dicegah, " tepis Agus. Soalnya, 90% anggota organisasi adalah orang Indonesia. Dan menurut Agus, mereka sadar betul tentang kerugian yang akan timbul jika segala informasi tentang biodiversity Indonesia jatuh ke pihak-pihak luar. "Pemberian grant ini tak ada ikatan apa-apa. Kecuali dalam hal-hal teknis, seperti pengelolaannya yang mesti profesional," ujar Agus. Kalangan LSM tampaknya menyambut kehadiran Kehati dengan gembira dan rasa syukur. "Kami selalu kesulitan dana. Biasanya dana didapat dari luar negeri. Tapi itu pun tidak gampang, " kata Hadi Purnomo, Direktur Pelak-sana Yabshi (Yayasan Bina Science Hayati). LSM ini memiliki tujuh ahli biologi dan salah satu proyeknya adalah penelitian etnobiologi -- inventarisasi dan monitoring ekologi -- di Kepulauan Togian, Sulawesi Tengah. Tapi karena program dibiayai UNDP, maka informasi yang dikumpulkan tak bisa tidak mesti dilaporkan kepada sang donor. Keharusan semacam itulah yang diharapkan tak akan muncul bila berurusan dengan USAID. Toh itu tidak berarti semuanya akan mulus. Perundingan dengan USAID saja masih akan panjang. Selain masalah biodiversity masih baru bagi USAID, Amerika semula juga lebih menginginkan agar pengelolaan dana itu ada di tangan mereka sendiri. "Kami menaruh harapan besar pada Kehati. Tapi jangan sampai perundingan dengan USAID yang punya batasan-batasan ketat itu berlarut-larut. Karena itu berarti, tak ada dana yang bisa diturunkan buat LSM, " kata Soraya Afif, aktivis Walhi.G. Sugrahetty Dyan K. dan Sri Wahyuni
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini