PARA pecinta lingkungan sudah lama mengkhawatirkan penggunaan insektisida dan pestisida. Tapi sampai kini racun serangga itu tetap digunakan di sawah atau kebun untuk membasmi serangga atau hama tanaman lainnya. Padahal efek samping pembasmi hama buatan itu sudah diketahui. Misalnya, insektisida atau pentisida membuat hama serangga makin kebal. Itulah yang terjadi dalam penggunaan insektisida untuk hama wereng. Yang lain, racun pembunuh hama serangga itu juga membunuh bakteri, jamur, virus, dan semacamnya. Padahal banyak di antara bakteri dan hewan itu adalah musuh alami hama serangga. Akibatnya, serangan hama kian sulit saja dikendalikan. Sudah diketahui pula bahwa insektisida organik itu mencemari lingkungan, dan manusia turut menjadi korbannya. Tiga tahun lalu Dr. Nugrohowati pernah melakukan penelitian untuk disertasinya di Fakultas Farmasi UGM Yogyakarta. Hasil penelitian itu menunjukkan: banyak air susu ibu yang mengandung insektisida, walau kadarnya masih dalam batas yang bisa ditoleransi. Tentu, insektisida itu sampai ke air susu, dari makanan tercemar yang dikonsumsi oleh ibu-ibu itu. Tak adakah alternatif untuk menghadapi hama? Jawaban datang dari Yogyakarta: gunakan saja mikroba bakteri. Belum lama ini Dr. Jesmandt Situmorang dan rekan-rekannya di Fakultas Biologi Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta meneliti bakteri pengendali hama itu. Pada tahap pertama mereka berhasil mendapatkan sekitar 1.200 jenis mikroba potensial. Mikroba itu lalu diseleksi lagi, maka didapatkan 650 isolat -- mikroba yang sudah diisolasi -- yang positif bersifat parasit terhadap serangga. Dari 650 isolat itu, 207 isolat terbukti bersifat parasit pada ulat grayak (spodoptera litura), yang menyerang pohon kedelai. Bahkan 34 isolat di antaranya, dalam waktu dua sampai tujuh hari, mampu membunuh ulat grayak sampai 100 persen. Dalam penelitian itu, 28 isolat dicobakan juga pada ulat kapas (helicoverpa armigera). Ternyata ada 8 isolat yang mematikan ulat kapas dengan tingkat kematian mencapai 50 sampai 80 persen, setelah dua hari. Itu penting, karena ulat jenis ini, selain menyerang kapas, menyerang 80 tanaman budi daya lainnya. Jesmandt juga menguji isolat-nya pada ulat kubis (plutella xylostella). Ada 35 isolat yang mampu membunuh ulat kubis dengan persentasi 50 sampai 100 persen, setelah empat hari. Tapi hasil penelitian itu saja belum cukup. Harus ditemukan isolat yang potensial. "Yaitu isolat yang mudah didapat di alam, mudah dikembangbiakkan, dan punya daya bunuh yang tinggi terhadap serangga tertentu," kata Jesmandt. Setelah isolat tadi diseleksi lagi, akhirnya Jesmandt menemukan lima isolat potensial untuk membasmi ulat kubis, delapan untuk ulat kapas, serta 27 isolat yang sangat potensial untuk membunuh sekaligus ulat grayak, ulat kubis, dan ulat kapas. Salah satu isolat yang potensial membasmi ketiga jenis hama itu adalah bakteri bacillus thuringiensis. Bakteri ini banyak ditemukan dalam bentuk endospora di dalam tanah. Jika endospora ini dimakan ulat, ia berubah menjadi bakteri. Di dalam tubuh ulat itu, bakteri ini membelah diri terus-menerus. Lalu bakteri ini juga memproduksi protein yang bersifat meracuni ulat itu. Akibatnya ulat menjadi sakit, dan beberapa hari kemudian ulat mati. Setelah ulat mati, bakteri itu akan mengalami metamorfosa lagi, berubah menjadi endospora yang tahan terhadap perubahan lingkungan. "Kelebihannya, bakteri ini sangat spesifik terhadap serangga tertentu. Ia tak menyerang serangga yang bukan targetnya," kata Jasmandt. Dengan kata lain, bakteri ini aman bagi hewan lain dan juga aman bagi manusia. Bacillus thuringiensis itu relatif mudah diperoleh. Endosporanya bisa didapatkan dari tubuh serangga yang telah mati, dari dalam tanah, atau air. Caranya, tubuh serangga atau tanah itu digerus, dicampur dengan air, lalu disaring. Cairan yang telah mengandung endospora itu lalu diisolasi dengan memanaskannya pada suhu 65 derajat Celsius selama 30 menit. Kemudian cairan itu ditaburkan di atas agar-agar. Di medium agar-agar ini, endospora berkembang biak dengan cepat. "Dalam waktu 24 jam saja, spora itu sudah berbiak beberapa kali lipat," kata Jesmandt. Untuk mengambil endospora dari mediumnya, masukkan saja agar- agar itu ke dalam sentrifuge (alat pemutar khusus) dengan kecepatan 3.000 rpm selama 15 atau 20 menit. Endospora itu akan mengendap terpisah dari agar-agar. Endapan endospora itu menjadi semacam pelet yang bisa disemprotkan pada tanaman yang terkena hama. Agar tak cepat rusak, pelet endospora itu perlu disimpan di lemari pendingin. Untuk menggunakannya sebagai insektisida biologis memang masih diperlukan beberapa tahapan. Insektisida ini masih perlu diolah agar tahan terhadap suhu luar. Kemudian ia harus diubah menjadi cairan atau bubuk, hingga mudah digunakan oleh petani. Itu mudah dilakukan bila insektisida mikroba ini akan diproduksi secara pabrikan, dalam jumlah besar. Tapi sampai kini belum ada kalangan industri yang berminat. "Padahal industrialisasi bakteri ini mudah dan murah dibandingkan dengan insektisida organik," kata Jesmandt.Bambang Sujatmoko dan M. Faried Cahyono (Yogyakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini