BARU saja terkena musibah kredit macet Bapindo Rp 1,3 triliun, Pemerintah harus kehilangan Rp 1,8 triliun dari dana cadangan anggaran pembangunan (CAP). Uang ini digunakan untuk menutup defisit APBN 1993/1994. CAP ini semula hanya akan digunakan bila harga minyak turun. Ternyata, sekalipun harga minyak turun, karena penerimaan pajak nonmigas lebih besar, jumlah penerimaan dalam negeri hanya kurang Rp 0,5 triliun dari anggaran. Defisit terjadi bukan dari dampak turunnya harga minyak, melainkan terutama karena adanya kelebihan pengeluaran rutin sebesar Rp 1,7 triliun. Realisasi APBN 1993/1994, yang disampaikan Menteri Keuangan Mar'ie Muhammad kepada DPR pekan lalu, menunjukkan bahwa turunnya harga minyak bagi Indonesia tak harus menjadi bencana. Benar bahwa harga minyak rata-rata selama tahun anggaran 1993/1994 adalah US$ 1,50 lebih rendah dari perhitungan, hingga penerimaan dari migas kurang Rp 2,6 triliun dari sasaran. Tapi beban penurunan ini diperingan oleh adanya kenyataan bahwa setiap penurunan harga minyak impor berarti penurunan biaya, dan berarti keuntungan buat Pemerintah dari penjualan BBM di dalam negeri. Penurunan harga bahan mentah ini telah memberikan keuntungan kepada Pemerintah sekitar Rp 1 triliun. Beban penurunan harga minyak terhadap APBN juga diperingan oleh dua hal lagi. Pertama, penerimaan migas pada 1993/1994 hanya merupakan seperempat APBN (dua tahun lalu peranannya masih sepertiga). Dan kedua, penerimaan pajak di luar migas sudah sangat meningkat. Angka realisasi APBN 1993/1994 menunjukkan bahwa penerimaan pajak di luar migas hampir mencapai tiga kali lipat penerimaan migas (pada 1990/1991 baru 10% lebih tinggi). Dengan demikian, jelaslah, asalkan penerimaan pajak nonminyak bisa ditingkatkan dengan cepat, penurunan harga minyak beberapa dolar dari sasaran tak perlu menjadi masalah besar bagi Pemerintah. Yang perlu mendapat perhatian dalam waktu dekat ini adalah bagaimana meningkatkan penerimaan dari gas alam cair. Jenis penerimaan ini merupakan bagian dari penerimaan migas. Harganya juga dikaitkan dengan harga minyak. Begitulah perjanjian yang dirumuskan 20 tahun yang lalu antara Pemerintah dan beberapa pembeli gas alam cair, seperti Taiwan, Korea Selatan, dan Jepang. Kontrak jangka panjang pembelian gas alam cair ini sudah ada yang habis masa berlakunya. Sekaranglah saatnya untuk memikirkan, apakah masih wajar dan adil bahwa pembeli gas alam cair kita masih mengaitkan harganya dengan harga minyak. Sebagai bahan bakar, gas alam mempunyai mutu yang lebih baik daripada minyak bumi, terutama dari segi kebersihan dan lingkungan. Wajar kalau Indonesia menuntut harga yang berbeda untuk gas alam ini. Penerimaan Pemerintah pada 1993/1994 secara keseluruhan lebih tinggi Rp 0,4 triliun dari anggaran. Tapi kelebihan penerimaan ini ternyata habis karena pengeluaran Pemerintah ternyata lebih tinggi Rp 2,2 triliun dari anggaran. Semua jenis pengeluaran (rutin, subsidi daerah otonom, cicilan utang, belanja pembangunan) ternyata melampaui jumlah yang dianggarkan. Kelebihan pengeluaran sebagian besar memang merupakan pembayaran gaji pegawai karena ada carry over di awal anggaran sebesar Rp 1,1 triliun. Tapi pembayaran cicilan utang juga lebih tinggi dengan Rp 600 miliar akibat apresiasi yen terhadap dolar. Begitu juga pengeluaran pembangunan lebih tinggi Rp 500 miliar dari yang dianggarkan. Akibatnya, APBN 1993/1994 mengalami defisit yang cukup besar. Dari mana defisit sebanyak Rp 1,8 triliun ini harus ditutup? Untung, Pemerintah mempunyai CAP Rp 3,5 triliun. Ini adalah sisa anggaran yang berasal dari kelebihan penerimaan migas, sejak 1991, yang terkumpul karena harga minyak lebih tinggi dari perkiraan. Cadangan ini memang akan digunakan kalau harga minyak lebih rendah dari perkiraan. Sekarang cadangan ini tinggal Rp 1,7 triliun. Nasib cadangan ini sekarang tak menentu. Ada kemungkinan, cadangan ini akan habis digunakan lagi bila APBN 1994/1995, yang akan mulai berlaku April nanti, mengalami defisit. Dan kemungkinan APBN mengalami defisit dua tahun berturut-turut tak bisa diabaikan. Harga minyak sekarang bertengger di sekitar US$ 13 per barel, atau US$ 3 di bawah harga perkiraan APBN. Ini adalah harga terendah dalam lima tahun terakhir. Bahkan, dalam nilai riil, lebih rendah dari harga pada 1973, ketika negara- negara Arab melakukan embargo minyak terhadap Barat, akibat perang Arab-Israel. Kemungkinan harga minyak akan naik menjadi US$ 16 per barel pada April nanti tampaknya sulit terjadi. Triwulan April-Juni biasanya merupakan musim ketika permintaan minyak dari belahan bumi utara berkurang. Apalagi ekonomi Eropa Barat dan Jepang sedang mengalami resesi. Di samping itu, stok minyak juga masih melimpah karena OPEC memproduksi lebih dari kuota yang disepakatinya. Harga minyak hanya akan membaik bila ada perubahan cepat pada sisi suplai. OPEC mesti mengurangi produksi minyaknya, tapi ini pertanyaan besar karena Arab Saudi, sebagai produsen terbesar, sampai saat ini belum mau mengurangi produksinya. Dengan demikian, seandainya harga minyak sepanjang 1994/1995 gagal mencapai tingkat US$ 16, Pemerintah hanya akan punya dua pilihan: menghabiskan dana CAP yang tinggal Rp 1,7 triliun itu, atau mengurangi pengeluaran rutin, yang secara politis tak mungkin karena sebagian besar menyangkut kesejahteraan pegawai negeri. Usaha meningkatkan penerimaan pajak nonmigas akan membantu. Realisasi penerimaan seluruh pajak nonmigas pada 1993/1994 mencapai Rp 34,8 triliun, yang berarti kenaikan hampir 20% dari realisasi tahun anggaran sebelumnya. Dan tingkat ketaatan pembayar pajak mengalami perbaikan sekalipun masih banyak lubang. Pada umumnya, pembayar pajak memang rela memenuhi kewajibannya. Yang membuat mereka tak rela, dan akan merasa getir, adalah bila uang pajak yang mereka bayarkan dengan ikhlas kepada Pemerintah akhirnya jatuh ke proyek-proyek yang bocor.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini