Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Membenahi limbah rumah sakit

Sebagian besar belum dilengkapi UPL, padahal limbahnya berbahaya dan beracun. soalnya, UPL terlalu mahal.

4 Juni 1994 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

INDUSTRI rumah sakit sudah sama tuanya dengan usia Republik Indonesia -- bahkan lebih. Tapi baru dua pekan lalu, misalnya, ada anggota DPR yang berbicara tentang limbah rumah sakit. Dialah D.H.M. Rodja dari Komisi D DPRD DKI Jakarta, yang membeberkan nama-nama rumah sakit di Jakarta yang tidak dilengkapi dengan unit pengolah limbah (UPL). Rodja mengungkapkan, sebagian besar rumah sakit membuang limbahnya ke sungai yang melintas di Jakarta. "Padahal, Jakarta sedang menggiatkan program kali bersih," Rodja mengingatkan. Sedangkan menurut catatan Ditjen Pelayanan Medik Departemen Kesehatan, hingga 1992 hanya 18 dari 1.500 rumah sakit di Indonesiayang dilengkapi UPL. Sebagian besar rumah sakit mengolah limbah cairnya lewat septic tank, diberi bahan kimia, kemudian diendapkan dan diberi oksigen. Sedangkan limbah padatnyadibakar. Padahal, seperti dikatakan Rodja, limbah rumah sakit termasuk paling lengkap, mulai dari limbah cair hingga limbah bahan beracun dan berbahaya(B3). Dalam limbah ini, maaf, termasuk potongan tubuh manusia, darah, dahak, urine, dan obat-obatan. Dalam hal pencemaran, boleh jadi limbah rumah sakit berpotensi menularkan penyakit karena mengandung bakteri dan kuman serta zat yang dihasilkan kuman. Malah, menurut Nurhalim Shahib, yang pernah meneliti di Bandung, bakteri dari limbah rumah sakit sudah resisten dan tak mudah dibasmi. "Jadi, limbah rumah sakit harus dikelola dengan benar," katanya. Lalu, di mana salahnya? Ternyata, masalah biaya yang jadi kendala. Tak heran bila rumah sakit menjadikan sungai sebagai bak sampah dan akibatnya masyarakat jadi korban. Contohnya, penduduk di sekitar Rumah Sakit Mitra Keluarga, Jakarta, yang secara rutin mendapat kiriman bau busuk. Rumah sakit Ibu Kota yang diduga tidak mempunyai UPL adalah Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Cikini, Pertamina, Gatot Subroto, St. Carolus, dan Sumber Waras. Tak jauh beda dari Jakarta, beberapa rumah sakit di Surabaya dan Bandung juga membuang limbahnya ke sungai. Limbah cair RS Santo Borromeus, Bandung, memang diproses, tapi hasil akhir dibuang melalui saluran yang bermuara di Desa Bojong Soang, Bandung. Tak mustahil, limbah tadi masih mengandung bakteri yang dapat menularkan penyakit ke manusia. Sementara itu, limbah padat, seperti jaringan tubuh manusia, dibakar di RS Hasan Sadikin. "Memang masih perlu ada perbaikan. Kami kini sedang membangun UPL," kata Kepala Teknik Pemeliharaan RS Borromeus, F.X. Samiyo Hadi. Tiap hari rumah sakit ini menghasilkan 30 kg limbah padat dan 75 kg sampah medis. Yang agak mendingan adalah RS dr. Soetomo, Surabaya. Dua tahun lalu instansi bergengsi ini membangun alat pengolah limbah cair seharga Rp 830 juta. UPL ini juga mampu mencegah berkembang biaknya aneka jenis penyakit. Hanya dalam pengelolaan limbah padat, rumah sakit ini masih semrawut. Ini terbukti dari tumpukan sampah di pekarangan belakangnya. Bagi rumah sakit kecil, menyediakan UPL agaknya tidak sesuai dengan kalkulasi bisnisnya. Bayangkan, satu unit UPL harganya, menurut Rodja, Rp 2 miliar. Karena itu, dalam sebuah seminar di Jakarta pekan lalu, diusulkan untuk mendirikan UPL bersama. Malah ada usul untuk mengirim limbahnya ke Pusat Pengolah Limbah B3 di Cileungsi, Bogor, yang pekan lalu diresmikan Presiden Soeharto. Selain itu, Pemerintah juga mulai menegakkan disiplin. Pemda DKI, misalnya, mulai Oktober depan mewajibkan setiap rumah sakit melengkapi dirinya dengan UPL. "Berlakukan juga sanksi bagi si pelanggar," kata Rodja. Sementara itu, Pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 19/1994, yang berisi ketentuan mengenai larangan impor limbah B3 dan larangan membuang limbah B3 secara langsung ke dalam air, tanah, dan udara. "Kebutuhan untuk mengolah limbah B3 sudah mendesak sekali," kata Menteri Negara Lingkungan Hidup, Sarwono Kusumaatmadja. Hasil survei Bapedal menunjukkan, setiap tahun Indonesia menghasilkan 458 ribu ton limbah B3. Bahkan, menurut Nabil, "Jumlah itu kini sudah membengkak." Adapun limbah B3, menurut PP No. 19 tadi, mempunyai ciri-ciri korosif, reaktif, mudah terbakar, mudah meladak, beracun, dan dapat menyebabkan infeksi. Sedangkan jenisnya meliputi limbah yang dihasilkan dari sumber spesifik, tidak spesifik, bahan kimia kedaluwarsa, tumpahan, sisa kemasan, buangan produk yang tidak spesifik. Ada 42 jenis limbah yang berasal dari sumber tidak spesifik, seperti aki bekas, asam sulfat, dan limbah minyak diesel. Limbah B3 dari sumber spesifik memuat 28 jenis limbah industri, di antaranya berasal dari industri pupuk, laboratorium, dan rumah sakit. Yang terbanyak limbah bahan kimia (182 jenis), ke dalamnya termasuk aneka jenis pestisida. Dengan keluarnya PP No. 19, berarti mulai bulan ini rumah-rumah sakit tak bebas lagi membuang limbahnya ke sungai. Kalau mereka tak mampu? Segeralah merancang pengolah limbah kolektif.Bambang Aji, Ida Farida, dan K. Chandra Negara

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum