Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Bali di musim menjarah turis

Sembilan anggota komplotan penjarah turis asing dibekuk di bali. mereka mengaku pantang bertindak kasar terhadap korbannya.

4 Juni 1994 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SAYA kapok ke Bali," ujar Katrin, 19 tahun. Turis Swedia yang masih pelajar itu buru-buru hengkang dari Pulau Dewata. Rupanya, komplotan penjambret, perampok, dan penipu mengusik kenikmatan beberapa turis asing yang libur di Bali. Selama Januari-Mei lalu tercatat 36 turis asing yang dijarah. Kini, tim buru sergap Kepolisian Daerah Nusa Tenggara diminta lebih waspada, terutama setelah pengaduan Katrin pada 28 April silam itu. Siang itu, ia baru mencairkan uang Rp 825.000 di Bank Duta, Denpasar. Ia disamperi sebuah mobil Suzuki Carry. Dalam kendaraan itu ada tiga penumpang. Setelah bertanya pada satpam bank, dan mendapat jawaban bahwa mobil itu biasa mengangkut penumpang, Katrin tak ragu lagi. Ia menumpang ke terminal Kreneng, dan akan melanjutkan ke Gianyar, tempatnya menginap. Selama dalam kendaraan, Katrin dipuji sebagai wanita bule yang cantik. Ia dipegang-pegang. Senyum ditabur. Kesannya akrab. "Saya menduga mereka itu penumpang yang ramah," kata Katrin pada polisi. Ia kaget ketika mengambil dompetnya untuk membayar ongkos menuju Gianyar. Uang, cek wisata, dan paspornya lenyap. Atas pengaduan Katrin itu, polisi melacak mobil Carry yang dicurigai. Senin awal Mei, mobil itu parkir di sebuah jalan di Denpasar. Begitu didekati tim buru sergap, lima penumpangnya dan Carry itu kabur. Di Jalan Imam Bonjol, Denpasar, mobil itu terbalik. Dua penumpangnya, Rohim, 30 tahun, dan Solid, 35 tahun, tertangkap. Tiga lainnya buron. Keduanya menunjuk Sayuki sebagai pimpinan mereka. Kemudian, pada 3 Mei lalu turis asal Swiss, Rovelli Stanisles, melapor kehilangan kamera Pentax kepada Polsek Singaraja. Ketika ke Gianyar, ia dikerjai empat pengendara Suzuki Carry berpelat mobil Surabaya. Di mobil itu, Stanisles diajak ngobrol. Kesannya ramah. "Saat beraksi, mereka menutup tangannya dengan map agar tak kentara," kata Letnan Satu Beno Laouhenapessy, Kepala Polisi Sektor Singaraja, kepada Putu Fajar Arcana dari TEMPO. Polisi menggerebek rumah kos Sayuki di Singaraja. Di rumah itu tidak ditemukan apa-apa. Yang ditangkap pada 11 Mei lalu itu justru Nyoman Sumajaya, 32 tahun, di Banjar Tegal, Singaraja. Ia menyimpan barang bukti sebuah kamera Pentax. Nyoman selama ini sebagai sopir. Setelah itu polisi baru menangkap Sayuki. Residivis berusia 48 tahun itu pernah dihukum 5 tahun di Lembaga Pemasyarakatan Kerobokan, Denpasar -- dalam kasus serupa. Sulaeman, purnawirawan ABRI, sebagai penadah hasil jarahan kelompok ini, juga digaruk polisi. Supriyanto, 30 tahun, dan Urik, 50 tahun, ditangkap di Banyuwangi, Jawa Timur. Merekalah yang mengembat kamera Pentax milik Stanisles. Sejak awal Mei lalu hingga kini sudah 9 dari 15 anggota komplotan itu yang ditangkap. Sayuki dan anak buahnya ditahan di lembaga pemasyarakatan. Dalam pengakuannya kepada polisi, komplotan ini pantang menggarap korban dengan kekerasan. Modus operasi mereka monoton: pura-pura menawarkan jasa, lalu korban dikerjain di dalam kendaraan. Tiap kelompok beranggotakan empat orang, dan seorang yang pintar berbahasa Inggris bertindak seperti pemandu wisata. Sayuki dan anggotanya kasihan menjarah bangsa sendiri. Mereka juga ogah menggarap orang Bali asli. "Kasihan, mereka bisa batal melakukan ibadah," kata Sayuki pada polisi. Mengenai mobil operasi, mereka menyewa dengan tarif rata-rata Rp 40.000 selama 12 jam. Di Bali, banyak mobil pelat hitam yang dijadikan mobil umum. Selain di Bali, daerah operasi komplotan ini juga sampai ke objek wisata di Gunung Bromo, Jawa Timur. Sebelum beroperasi, mereka membicarakannya dulu dengan cermat. "Mereka memiliki meeting place di Siririt, sebelum menyebar ke Kota Singaraja," kata Letnan Kolonel Andi Chaerudin, Kepala Kepolisian Resor Buleleng. Siririt, kecamatan di selatan Singaraja. Di Buleleng, tiap minggu ada sekitar 2.500 turis asing. Komplotan Sayuki beraksi tanpa dibeking dana. Dana itu diperoleh dari barang yang digadaikan di pegadaian. Pertimbangannya, cepat menperoleh uang tunai. Kemudian, sembari bergerak menjarah korban baru, barang yang digadaikan itu ditawarkan ke sana-kemari. Jika cocok, ditebus lagi untuk dijual. Polisi menyita 9 kamera, 300 gram emas berupa kalung dan gelang, serta tiga mobil Suzuki Carry. Kamera yang selalu ditenteng-tenteng merupakan sasaran empuk. Sayuki mengaku, dari 36 kasus tahun 1994 ini, hanya 18 kasus hasil garapannya. Artinya, di Bali masih ada komplotan lain di luar Sayuki. "Paling tidak kini 50 persen dari pelaku penjambretan dengan sasaran turis asing di Bali sudah ditangkap," kata Kolonel Suparman, Kepala Direktorat Reserse Kepolisian Daerah Nusa Tenggara. Sedangkan hasil jarahan komplotan Sayuki tidak banyak. Kalau harga satu kamera Rp 1 juta, ya, total nilai barang itu diperkirakan Rp 36 juta. Tapi bukan pada nilai rupiah itu yang utama. "Ini menyangkut citra Bali sebagai daerah pariwisata. Keamanan turis asing merupakan prioritas di Polda Nusa Tenggara, selain soal narkotik," ujar Kolonel Suparman.Widi Yarmanto dan Kelik M. Nugroho

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum