Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Woman, Man, and God in Modern Islam
Penulis: Theodore Friend
Penerbit: Wm. B Eerdmans, Michigan, Amerika Serikat
Edisi: I, November 2011
Tebal: 464 halaman
Keberagaman adalah kaÂta kunci dari buku Woman, Man, and God in Modern Islam ini. Pengarangnya, ÂTheodore ÂFriend, memotret realitas tentang kehidupan umat Islam di berbagai belahan bumi. Hasil potret itu memunculkan wajah yang penuh warna. Banyak faktor, seperti geografis, latar belakang historis dan kultural, serta kondisi sosio-politik, yang mempengaruhi kebinekaan itu.
Maka, saat Islam disebut, sering muncul sederetan pertanyaan: Islam menurut siapa, di wilayah mana, pada zaman apa, kelompok mana, dan seterusnya. Islam tak hanya menjelaskan hubungan manusia dan Tuhan, tapi juga interaksi sesama manusia, yang terjadi di ruang budaya. Karena itu, penting bagi muslim ataupun nonmuslim memahami Islam secara holistik sehingga tak terjebak dalam kesalahpahaman tentang Islam.
Dengan memahami keanekaan Islam, seseorang diharapkan mampu mengedepankan nilai-nilai penghormatan akan keberagaman sebagai suatu sunnatulah. Juga mampu melepaskan segala bentuk stigma dan prasangka buruk terhadap Islam, sehingga menurunkan potensi gesekan sosial dan kekerasan atas nama agama.
Uraian Friend tentang keberagaman Islam dapat dipertanggungjawabkan secara intelektual. Penulisannya tak hanya menggunakan metodologi ilmiah, tapi juga mendasarkan uraian pada data hasil observasi lapangan. Tak tanggung-tanggung, sejarawan Universitas Yale ini berkeliling ke Indonesia, Pakistan, Arab Saudi, Iran, dan Turki. Kelima negara tersebut dapat mewakili keberagaman masyarakat Islam dari berbagai perspektif.
Friend menggarisbawahi, cara paling mudah dan tepat untuk melihat nuansa keberagaman Islam adalah melalui potret kehidupan kaum perempuan. Sebab, perempuan diyakini sebagai simbol kehidupan, simbol kekuasaan, dan—ini yang paling penting—simbol pemurnian ajaran Islam.
Lihat saja, setiap kali ada upaya formalisasi syariat Islam, selalu perempuan yang menjadi sasaran utama, antara lain dengan memaksa mereka menggunakan jilbab, melarang mengikuti pendidikan tinggi, melarang keluar malam dan bepergian tanpa ditemani muhrim, sampai melarang beraktivitas di ruang publik. Tujuan akhirnya jelas, mengontrol tubuh perempuan, mengekang kebebasan mereka, dan membuat mereka patuh sepenuhnya kepada laki-laki.
Fatalnya lagi, semua bentuk pembatasan dan pengekangan itu dibalut argumentasi memukau: demi melindungi martabat dan kehormatan perempuan. Tak mengherankan jika sebagian umat Islam teperdaya dan mendukung ide pengembalian perempuan ke ranah domestik, seperti terjadi dalam masyarakat Taliban dan Saudi.
Lewat studi perbandingan di lima negara itu, Friend menyuguhkan realitas tentang keberagaman model dan gaya busana perempuan muslim. Bahkan keberagaman tak hanya terjadi antarnegara, tapi juga antarsuku dan antarprovinsi.
Friend mengambil contoh Indonesia. Dengan suhu 26-35 derajat Celsius, Indonesia berbeda jauh dengan Arab Saudi, yang jauh lebih panas pada siang dan lebih dingin waktu malam. Kelembapan di Indonesia—80-95 persen—membuat pakaian yang nyaman adalah yang memungkinkan penguapan maksimal. Al-Quran, ÂFriend melanjutkan, tak menyinggung hal itu. Malaikat Jibril menurunkan wahyu Tuhan kepada Nabi Muhammad di daerah kering, tempat jubah panjang dan penutup wajah dibutuhkan untuk melindungi kulit dari pasir dan angin panas.
Ihwal isu gender, Friend meyakinkan kita bahwa masyarakat Islam mengalami dinamika yang luar biasa, terbentang antara pemahaman yang modern dan terbuka, sampai pemahaman yang sangat sempit, tertutup, penuh mitos, dan tak rasional. Tak mengherankan, masih banyak muslim yang memandang perempuan sebagai makhluk kelas dua.
Sebaliknya, kelompok muslim lain meyakini perempuan sepenuhnya setara dengan saudara laki-laki mereka. Tujuan penciptaan kaum Hawa adalah menjadi khalifah fil ardh dengan misi mengelola kehidupan di bumi. Melalui ajaran tauhid, sejumlah feminis Islam di berbagai belahan dunia meneriakkan prinsip keadilan dan kesetaraan bagi perempuan. Mereka memperjuangkan penghapusan diskriminasi, eksploitasi, dan kekerasan terhadap perempuan. Mereka pun melakukan reinterpretasi terhadap teks suci, melakukan ijtihad demi mempromosikan ajaran agama yang ramah terhadap perempuan.
Lalu di mana posisi Indonesia? Banyak yang mengatakan senyum telah menghilang dari wajah Islam di Indonesia. Namun, jika dibandingkan dengan berubahnya Islam di Turki, terlalu ketatnya Islam di Arab Saudi dan Iran, serta gelombang kemarahan di Pakistan, Islam di Indonesia tetap sejuk.
Lewat buku 464 halaman ini, Friend mengajak kita membuka pola pikir untuk menghargai keberagaman. Perbedaan bukanlah suatu kesalahan, apalagi kejahatan.
Musdah Mulia, guru besar Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo