Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Menunggu bala bantuan

Kebun binatang Ragunan sulit memperluas wilayah. keuangan Pemda DKI terbatas, sedangkan penduduk jakarta terus mengincar tanah.

15 Agustus 1992 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BEBERAPA papan maklumat terpampang di Kelurahan Jagakarsa, Jakarta Selatan, sebelah selatan Kebun Binatang Ragunan. Maklumat itu berbunyi, "Dilarangmembuat bangunan di atas wilayah penguasaan Kebun Binatang Ragunan, berdasar SK Gubernur DKI tahun 1985". Ternyata, larangan Gubernur tersebut tidak digubris orang. "Ada empat sampai lima rukun tetangga yang berdiam di daerah penguasaan itu," kata Muhayar,seorang pedagang sayur, kepada Allamandawati dari TEMPO. Mereka tersebar dalam wilayah yang cukup rapat. Sebagian memiliki rumah seperti Muhayar -- rumah permanen tapi sederhana -- tapi banyak juga rumah mewah dan bertingkat. Kepungan rumah penduduk itulah masalah yang kini dihadapi Kebun Binatang Ragunan (KBR), satu-satunya kebun binatang yang dikelola dan dimiliki Pemda.KBR merupakan kebun binatang terluas dan terkomplet di Indonesia, yang mulai tak jelas nasibnya. Kesulitan KBR terungkap ketika lembaga ini bersama majalah Asri mengumumkan pemenang Lomba Desain Arsitektur Lansekap Kawasan KBR, Kamis minggu lalu. Sampai sekarang, kebun binatang seluas 135 hektare dengan jumlah binatang 4.400 ekor dari 440 jenis ini (bandingkan dengan Taman Safari yang memiliki 350 ekor binatang dari 40 jenis, di atas tanah 55 ha) masih menunggu mukjizat. Yang pasti, belum ada bala bantuan. Padahal, pilihan tempat di selatan itu sudah tepat. Di sanalah daerah tangkapan air untuk seluruh penduduk Jakarta, dan kebun binatang adalah tempat yang tepat untuk fungsi tersebut. Fungsi itu juga yang seharusnya mengamankan KBR dari serangan rumah penduduk. Memang, tahun 1966 kebun binatang ini pernah tergusur dari Cikini, karena di sana dibangun Taman Ismail Marzuki. Pemda DKI, dalam Rancangan Umum Tata RuangDKI tahun 2005, memproyeksikan KBR akan menempati areal sampai 200 ha. Pembebasan tanahnya akan dilakukan bertahap. Tahun 1985 Gubernur menetapkan perluasan 25 ha. Namun, target itu kini sudah tak mungkin dicapai. Pesatnya pembangunan mendorong penduduk mencari tanah untuk dijadikan permukiman. Kawasan Ragunan tak terkecuali, terutama ketika jalan lingkar selatan selesai dibangun. Harga tanah melambung dan keuangan Pemda tak sanggup mengejarnya. Ternyata, cuma 5 ha dari 25 ha itu yang dapat dibebaskan. Bila ditinjau ke lapangan, terlihat hanya jalan selebar dua meter yang memisahkan kebunbinatang dari rumah-rumah penduduk. Muhayar bukan tidak mengetahui bahwa rumahnya masuk daerah perluasan KBR. Ia merasa heran pada penghuni rumah mewah yang dibangun tahun 1988, tiga tahunsetelah Keputusan Gubernur keluar. Kini, KBR tak hanya dikepung oleh rumah penduduk dari selatan, tapi juga dari barat. Di sana, berdiri perumahan mewah Kaveling Polri. Tembok rumah-rumahyang luasnya di atas 500 meter persegi itu menempel pada dinding kebun binatang. Namun, tak seperti Muhayar dan teman-temannya, mereka adalah penduduk legal karena sudah mendapat izin tinggal sejak zaman Gubernur Ali Sadikin. Mungkin karena status itulah, mereka sesekali protes pada KBR. Mereka terganggu oleh bunyi binatang atau bau dari kompos. KBR sendiri tak bisa berbuat banyak. Kemampuan terbatas, karena tak ada penghasilan yang memadai. Harga karcis yang murah (akhir bulan lalu karcis orang dewasa dinaikkan dari Rp 600 menjadi Rp 1.000) membuatnya menjadi tempat rekreasi masyarakat kecil yang tak mampu pergi ke Taman Safari. Entah karena hanya untuk orang kecil itu, KBR kerap luput dari perhatian. Padahal, aset Pemda yang satu ini terancam karena banyak dilirik orang untuk dikomersialkan. Kalau tak diawasi, bukan tak mungkin KBR akan tergusur dan penduduk Jakarta kehilangan daerah tangkapan air. Mengenai kemungkinan KBR diserahkan pada swasta, Gubernur Wiyogo Atmodarminto mengatakan tidak perlu. Alasannya, agar tarif kebun binatang tetap terjangkau oleh rakyat kecil. Diah Purnomowati dan Linda Djalil

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus