Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Mereka Lumpuh Kena Minamata-Byo

Masazumi harada dari Jepang meneliti teluk Jakarta untuk mengetahui kesamaan penyakit minamata di Jepang & penyakit di teluk Jakarta. Yaitu penyakit yang disebabkan keracunan Air Raksa/kadar merkuri tinggi. (ling)

3 Agustus 1985 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TELUK Jakarta mengundang Jepang. Tsuginori Hamamoto dan isteri, dua penderita Minamata, Sabtu pekan ini datang ke Jakarta, bermaksud melihat Teluk Jakarta dan berbincang-bincang tentang penyakit di sekitar teluk. Mereka, anggota Group for Bridging between Asia and Minamata (organisasi yang didirikan para penderita Minamata dan mereka yang menaruh simpati), tampaknya ingin meyakinkan adakah penyakit di teluk ini mirip yang mereka derita. Penyakit yang melumpuhkan pusat jaringan saraf karena penderita keracunan air raksa. Logam berat itu masuk ke tubuh lewat ikan-ikan yang telah mengandung air raksa karena laut terkena pencemaran - yang mereka makan. Inilah penyakit yang muncul di awal 1950 di Teluk Minamata, Provinsi Kumamoto, Jepang. Di Teluk Jakarta memang ada penyakit yang mengherankan penduduk perkampungan nelayan. Misalnya, Titin Agustina, 12, suatu hari di awal tahun ini mendadak lumpuh, lidahnya kelu. Ia cuma bisa berbaring tanpa daya. Paling tidak, di Kampung Luar Batang, Kelurahan Penjaringan, Jakarta Utara, menurut harian Suara Karya, ada tigaanak lagi yang diserang kelumpuhan. Bahkan seorang dikabarkan sudah meninggal. Gejala itu memang mirip yang terjadi pada penderita Minamata. Dan sebenarnya sudah sejak 1970-an sejumlah pengamat lingkungan hidup mencemaskan pencemaran merkuri (air raksa) di Teluk Jakarta. Sebab, di teluk itulah 17 sungai bermuara. Padahal, sejumlah industri dikawasan DKI Jakarta membuang limbahnya ke sungai-sungai itu. Tapi baru pada 1980 ada perhatian sungguh-sungguh. Pertama dari pihak Lembaga Oseanografi (Lon) LIPI, yang tahun itu meneliti kandungan logam berat di Muara Angke -sebagian dari Teluk Jakarta. Hasilnya, kadar merkuri di teluk itu rata-rata 0,007 ppm. Ini berarti, sebenarnya pencemaran di Teluk Jakarta telah melampaui NAB (nilai ambang batas-batas yang masih aman buat manusia) yang di Indonesia ditentukan 0,005 ppm. Hasil penelitian Lon-LIPI - ditambah dengan data angka kematian bayi dan anak-anak di daerah itu yang lebih tinggi dibandingkan daerah lain -mendorong pihak Departemen Kesehatan melakukan penelitian lebih lanjut. Yaitu meneliti kadar merkuri yang dikandung penduduk di pantai Teluk Jakarta. Dengan sampel 77 orang dari 3.200 penduduk di Teluk Jakarta, terbukti bahwa kandungan merkuri dalam tubuh penduduk Teluk Jakarta belum berbahaya. Hanya seorang sampel yang rambut kepalanya punya kandungan merkuri di atas 50 ppm. Enam orang berkadar 10-29 ppm. Yang lain di bawah 10 ppm. Menurut Masazumi Harada, ahli Minamata dari Universitas Kumamoto, kandungan merkuri baru berbahaya bila mencapai angka 50-125 ppm. Para penderita Minamata yang diteliti Harada, misalnya, punya kandungan merkuri 700-1.000 ppm. Maka, Harada, 50, pada 1983 tertarik ikut meneliti penyakit di Teluk Jakarta. Ia membawa pulang ke Jepang rambut kepala 49 penduduk Teluk Jakarta. Tak sehelai rambut pun menunjukkan gejala berbahaya - hanya satu contoh menunjukkan kandungan air raksa hampir 14 ppm. Yang lain di bawah 3 ppm. "Belum bisa ditentukan ada tidaknya penderita Minamata di Teluk Jakarta," kata Harada. Memang. Sebagaimana dijelaskan A.A. Loeddin, kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Kesehatan, kepada, gejala penderita Minamata sulit dibedakan dengan gejala penyakit lain, penyakit keturunan genetik, atau karena penderita terserang radang otak. Toh, diakui Loeddin, kadar merkuri di Teluk Jakarta memang cenderung naik. Penelitian pihak Lon-LIPI pada 1983 mendukung pernyataan Loeddin. Hasil penelitian terakhir ini menunjukkan, kadar merkuri di Teluk itu rata-rata tertinggi mencapai 0,0270 - hampir empat kali kadar merkuri pada penelitian dua tahun sebelumnya. Tapi mengapa Minamata diributkan benar? Profesor Harada dari Universitas Kumamoto itu berkisah. Praktis, yang terkena Minamata akan cacat seumur hidup bila tidak meninggal. Berkumpulnya merkuri di pusat saraf di otak menyebabkan anggota tubuh tak berfungsi. Juga lidah, mata, dan telinga. Seekor kucing yang terkena penyakit ini akan berjalan jungkir balik, kemudian jadi gila, dan biasanya lantas menceburkan diri ke laut, tutur Harada. Yang belum parah benar memang bisa ditolong. Tapi, sebagaimana Tsuginori yang datang ke Jakarta kini, tetap cacat. Dulu Tsuginori hampir tak bisa berjalan, kedua kakinya membentuk huruf "X" yang parah. Kini, tampaknya dengan latihan keras, jalannya sudah lumayan. "Kalau boleh, saya tak menginginkan apa pun kecuali tubuh saya kembali seperti sedia kala," begitu ia pernah mengeluarkan isi hatinya. Harapan yang pasti sia-sia. Hingga kini penderita Minamata memang bisa diselamatkan dari kematian. Tapi, untuk memulihkan anggota badan yang telanjur mencang-mencong, belum ada terapinya. Hingga April lalu, menurut Badan Lingkungan Jepang, sudah tercatat lebih dari 2.000 orang Jepang terkena Minamata - dihitung sejak awal 1950-an. Padahal, pihak Jepang sudah berusaha mengurangi pencemaran laut oleh merkuri. Toh, perkembangan industri di sana tak bisa sama sekali bersih dari korban-korban pencemaran. Di Provinsi Niigata, bagian utara Tokyo, sejak pertengahan 1960-an muncul pula penderita Minamata. Hingga kini tercatat 690 orang positif terkena Minamata, sedangkan hampir 2.000 yang lain menunggu kepastian apakah mereka terkena penyakit yang melumpuhkan itu atau penyakit lain. Maka, kata Harada, "Sebaiknya, sebelum ada bencana mendadak, Indonesia melakukan riset klinik yang serius terhadap penyakit di Teluk Jakarta. Mungkin juga, penyakit di sana diakibatkan oleh logam berat jenis lain." Artinya, mungkin Minamata tak ada di Teluk Jakarta, tapi penyakit lain yang sama gawatnya justru yang muncul di situ. Di teluk seluas 490 km2 dengan panjang pantai 78 km itu pencemaran memang tak sekaligus terasa gawat. Sebabnya, berbeda dengan Teluk Minamata yang tertutup, Teluk Jakarta terbuka. Hingga air laut di Teluk tak menggenang, tapi bergerak sesuai dengan datang dan perginya ombak. Tapi sampai kapan Teluk Jakarta boleh dianggap aman? Bambang Bujono Laporan Seiichi Okawa (Jepang) & Erlina A. Soekarno (Jakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus