PENCINTA musik klasik sedang memasuki masa lengang. Masih diperlukan waktu berbulan-bulan untuk bisa menikmati pergelaran musik klasik secara sempurna di Jakarta ini - setelah Studio V RRI, satu-satunya gedung yang mempunyai akustik memadai untuk pergelaran musik jenis itu, hangus terbakar dua pekan lalu. "Saya merasa trenyuh dengan hancurnya Studio V," kata Praharyawan Prabowo, salah seorang dirigen Orkes Simfoni Jakarta (OSJ), grup yang secara teratur bermain di sana. Prabowo, yang bekerja di Siaran l uar Negeri RRI Seksi Bahasa Jepang, bahkan menganggap Studio V sebuah "tempat keramat". Perasaan itu muncul karena "akustik gedung ini bukan saja terbaik di Indonesia, tapi juga di Asia Tenggara". Ia punya pengalaman bermain musik di Singapura, Malaysia, dan Muangthai. Bukan cuma Prabowo. Dirigen OSJ yang lebih senior, F.X. Sutopo, juga menilai akustik Studio V perfek sekali. "Sekarang tak ada lagi gedung sebagus itu akustiknya di Jakarta," katanya. Januari tahun lalu Albert K. Webster mengadakan riset di Jakarta untuk mencari gedung yang cocok buat penampilan The New York Philharmonic Orchestra. Orang Amerika ini memperhatikan dengan saksama tiga gedung: Studio V, Teater Utama Taman Ismail Marzuki, dan Balai Sidang Senayan. Dari segi akustik, Studio V yang diminatinya. Tetapi karena orkes besar itu membutuhkan banyak penonton, Balai Sidang Senayan yang dipakai Zubin Mehta dan anak buahnya. "Kekurangan Studio V hanya kapasitas tempat duduknya," kata Sutopo. Studio ini terletak di lantai dasar gedung RRI yang bertingkat delapan di Jalan Merdeka Barat. "Sistem akustiknya memenuhi syarat untuk orkes dan musik klasik," kata Ir. Sukarno, kepala Bagian Pembinaan Teknik RRI Jakarta, yang memimpin pembuatan studio itu di tahun 1972. "Penonton sedikit atau penuh tidak mempengaruhi pantulan suara," kata Sukarno. Juga, bagaimanapun berisiknya suasana di luar studio, tidak akan ada suara-suara lain, kecuali yang keluar dari alat-alat. Dengan luas 752,5 m2, ruangan ini memuat kursi penonton sejumlah 800 buah, 200 buah di antaranya berada di balkon berukuran 21,5 mx 8 m. Bagian kiri kanannya dilengkapinya ruang rias, gudang, ruang pemain, ditambah berbagai Jenis lampu yang menghabiskan 300.000 watt. Studio ini akhirnya "dikomersialkan" sejak 1977. "Fungsinya sebagai hanya gedung konser sudah hilang," kata Prabowo. Entah karena kegiatan OSJ, yang secara resmi bermarkas di sini, mulai Jarang, ruangan khas ini disewakan untuk acara lustrum beberapa perguruan tinggi, pertemuan karyawan, penataran, dan pementasan musik yang tak begitu memerlukan akustik prima. Pada kebakaran dua pekan lalu, yang apinya bermula di studio ini, sedang berlatih grup band yang akan mengisi acara Panggung Gembira - acara bulanan yang disiarkan RRI dan TVRI. Mala petaka itu bukan saja memusnahkan sebuah gedung musik bagus. Tetapi juga melumpuhkan OSJ. Sejumlah instrumen orkes ini dilalap jago merah: biola, flute, cello, bass, timpani - yang disimpan di gudang. Juga piano, yang belum dipindahkan dari panggung, tinggal berupa arang. Masih untung, menurut Prabowo, beberapa alat lain dibawa putang ke rumah oleh para pemusik OSJ - yang kebanyakan pegawai negeri itu. Yang menjadi persoalan sekarang, di mana OSJ akan manggung- "Semangat bermusik masih ada, dan alat-alat masih bisa pinjam sana-sini," kata Prabowo. Orkes yang dibentuk tahun 1961 ini sedang mempersiapkan pergelaran besar untuk memperingati Hari Pahlawan dan mengenang korban G-30-S/PKI, yang direncanakan sekitar Oktober mendatang. "Saya sudah mengadakan pendekatan dengan pihak MAWI, barangkali bisa mengadakan konser di salah satu gereja, mungkin Gereja Katedral," kata Prabowo. Pikiran untuk memakai aula gereja timbul karena biasanya gereja punya akustik yang lumayan, kata Prabowo lagi. Tetapi menurut FX Sutopo, pilihan satu-satunya di Jakarta adalah Teater Utama (Graha Bhakti Budaya) TIM. "Ini pilihan terpaksa ya, karena tak ada lagi gedung," kata Sutopo. Gedung Kesenian Pasar Baru, warisan zaman Belanda yang akustiknya dikenal sempurna - meski dirancang khusus untuk opera - sudah lama menjadi bioskop. Sutopo pernah berurusan dengan gedung TIM itu tahun lalu. Dan punya pengalaman: untuk mendapatkan suara yang memadai, la masih harus mengadakan penambahan di sekitar panggung. Misalnya menggantungkan hard board di langit-langit dan di belakang pentas, sehingga suara bisa dipantulkan ke depan. "Tidak banyak menolong. Suara biola menjadi kering suara peralatan musik yang kecil jadi hilang," katanya. "Mau apa lagi ?" Mungkin kita masih harus bersabar menunggu sampai dibenahinya gedung RRI yang terbakar itu - termasuk dikembalikannya Studio V seperti sebelumnya. Rencana itu sudah pasti, seperti yang dikatakan Menteri PU Ir. Sujono Sosrodarsono selesai melaporkan musibah RRI kepada Presiden, Sabtu pekan lalu. Putu Setia Laporan Yulia S. Madjid & Gatot Triyanto (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini