SETELAH berjuang selama 34 tahun melawan penyakit talasemia - saat-saat terakhir tanpa obat dan tanpa transfusi darah - Mira (bukan nama sebenarnya) akhirnya menyerah. Ia meninggal pada usia itu - umur yang termasuk cukup panjang bagi penderita penyakit darah talasemia tanpa sempat menyelesaikan kuliahnya di Jurusan Biologi, IKIP Jakarta. Pengetahuannya di bidang biologi itulah yang membuat Mira kemudian enggan menjalani transfusi darah untuk mengatasi penyakitnya. Ia tak mau tergantung. Sebab, transfusi untuk penderita penyakit darah seperti Mira harus berlangsung sepanjang hidup. Pada talasemia, kerusakan terjadi pada butir-butir darah merah yang bertugas membawa oksigen ke seluruh tubuh. Dalam jangka waktu tiga bulan butir-butir darah merah itu hancur sama sekali - dan tak akan berfungsi. Untuk itu diperlukan transfusi darah baru. Menghindari transfusi darah, Mira mencoba obat-obatan tradisional. Bila keletihan menyerang tubuhnya akibat darah tak berfungsi normal, Mira mencoba melahap daun jawer kotok dan beberapa jenis daun lain yang dipercaya bisa menambah darah. Toh, ia tak bisa bertahan. Lebih-lebih sejak pertunangannya putus akibat calon suaminya tak bisa menerima penyakitnya. Talasemia memang penyakit keturunan. Dan pada Mira, itu menjadi bencana: rencana perkawinannya yang gagal menyebabkan pertahanan tubuhnya jebol karena kemauan hidupnya kemudian susut. Ibu Mira, Ny. Hamid (bukan nama sebenarnya), yang mengisahkan cerita sedih itu Sabtu dua pekan lalu, muncul di Aula Fakultas Kedokteran Gigi UI pada sebuah acara yang diselenggarakan Perhimpunan Orangtua Penderita Talasemia. Ny. Hamid kebetulan salah seorang aktivisnya. Pada acara itu, sejumlah orangtua penderita talasemia, di antaranya sudah kehilangan anak mereka, beramai-ramai menyumbangkan darah. Agaknya. mereka tak mau menyusahkan orang lain, dan berusaha mensuplai darah mereka sendiri untuk anak-anak yang menderita talasemia. Saling tolong itu tak terbatas pada menyumbangkan darah, tapi juga pembiayaan pengobatan yang tiap orang bisa mencapai Rp 10 juta per tahun. Bagi keluarga tak mampu, ini tentu beban berat. Perhimpunan ini juga mencoba mengurangi jumlah penderita talasemia - antara lain dengan pencegahan kehamilan. Karena itu, pada perhimpunan ini bergabung pula para dokter ahli di bidang talasemia, di antaranya Prof. Dr. Iskandar Wahidayat, yang meraih gelar doktornya pada 1979 dengan mengajukan masalah penyakit darah ini. Ny. Hamid datang tentu bukan untuk Mira. Juga bukan untuk adik Mira yang kini 24 tahun dan menderita talasemia pula - sang adik ini mengikuti jejak kakaknya, tak mau terikat transfusi. Namun, Ny. Hamid tahu betul bencana yang akan terjadi pada anaknya ini. Dari sembilan anaknya, tujuh meninggal karena talasemia. Mira berhasil bertahan sampai 34 tahun, dan adiknya masih bertahan sampai umur 24 ini, tapi yang lain direnggut penyakit darah itu satu per satu pada umur di bawah 10 tahun. Dari dua anaknya yang tersisa, seorang bebas dari talasemia. Ia kini sudah menikah dan mempunyai dua anak yang dinyatakan bebas pula dari talasemia. "Cucu-cucu saya itu sehat-sehat," ujar Ny. Hamid dengan sedikit kilatan cerah di matanya. "Itu hiburan yang sangat besar bagi keluarga kami." Talasemia memang tak menurun secara otomatis. Awalnya, perkawinan laki dan perempuan pembawa talasemia - yang disebut talasemia minor. Pada perhitungan teoretis, 25% anak mereka akan sehat, 50% akan menderita talasemia minor, dan 25% akan menderita talasemia berat - yang disebut talasemia mayor. Pada penderita berat inilah transfusi darah harus terus-menerus dilakukan, dan umumnya mereka cuma bertahan sampai usia delapan tahun. Namun, perhitungan teoretis ini sudah tentu tak bisa jadi pegangan untuk ikhtiar memiliki anak pada pasangan penderita talasemia minor. Bisa saja, 25% anak dengan talasemia mayor lahir duluan, atau sebaliknya. Sebuah keluarga yang mengidap penyakit darah ini akhirnya memang tak mudah merencanakan kelahiran anak yang sehat. Setiap kelahiran selalu dengan tanda tanya besar. Itulah kepahitan yang harus dihadapi keluarga Wuryanto, seorang kapten polisi yang bekerja di Mabak Polri. Empat putri keluarga itu menderita talasemia. Sejak si bungsu lahir empat tahun lalu, dan ternyata masih juga mengidap penyakit itu, pasangan Wuryanto tak lagi menawar kenyataan. Mereka tak berani merencanakan kelahiran selanjutnya. "Ah . . . saya sudah nggak tahu lagi," jawab Ny. Wuryanto ketika ditanya bagaimana perasaannya. Namun, ia tak putus asa dan lepas tangan menghadapi beban yang sulit dibayangkan itu. Hingga kini, ia masih dengan tetap membawa anak-anaknya ke RSCM, Jakarta, enam bulan sekali untuk transfusi darah. Selain beban perasaan, beban berat bagi keluarga ini adalah biaya pengobatan. Teoretis, mereka harus menyisihkan dana sekitar 40 juta setahun - bagaimana mungkin. Resty, anak mereka yang kedua, misalnya, sudah harus menjalani transfusi darah sejak usia tiga bulan - sedangkan yang lain rata-rata mulai pada usia tiga tahun. Tapi hingga kini usaha pengobatan tak pernah terhenti. Ny. Wuryanto mengaku mendapat bantuan dari mana-mana. Di antaranya juga dari RSCM. Di Bagian Anak rumah sakit ini, selain bantuan pengobatan, tenaga para dokter praktis diberikan secara cuma-cuma. Dr. Iskandar Wahadiyat bahkan menyumbangkan gajinya untuk penderita talasemia yang tak mampu. "Ayahnya anak-anak juga dapat bantuan dari rekan-rekannya, melalui komandan, sekitar seratus dua ratus ribu sebulan," ujar Ny. Wuryanto. Yang memberatkan biaya antara lain dampak samping transfusi darah, yaitu bertumpuknya zat besi dalam darah - yang pada waktunya bisa berakibat fatal. Untuk mengatasi itu, penderita talasemia harus mendapat obat desferal, yang mengikat zat besi (Fe) dan membuangnya melalui air seni. Kesulitan belum berakhir: desferal tak boleh diberikan sekaligus, melainkan sedikit demi sedikit dengan pompa khusus. (TEMPO, 20 Oktober 1984). Untuk setiap anak Ny. Wuryanto, ratarata diperlukan 500 mg desferal per enam minggu - harganya Rp 12.500. "Untung, pompanya dipinjami RSCM. Jadi, biaya yang keluar tidak terlalu membesar," tutur Nyonya itu. Memang, Bagian Anak RSCM memiliki tiga pompa desferal yang digunakan sejumlah besar anak penderita talasemia. Dua di antaranya sumbangan perusahaan obat Ciba. Tapi jumlah yang tiga itu jauh dari memadai. Karena itu, sumbangan lebih banyak, yang pernah dijanjikan Ciba, masih ditunggu. Idealnya, setiap anak penderita talasemia memiliki sebuah pompa pribadi. Keluarga Arifin, misalnya, beruntung bisa membeli sendiri sebuah pompa - yang berharga sekitar Rp 350.000 - untuk kedua anaknya yang menderita talasemia, Evita dan Rifi. Pompa itu digunakan bergantian. Kini kulit Evita dan Rifi sudah menghitam karena seringnya mendapat transfusi darah. "Itu tumpukan zat besi," ujar Ny. Arifin. Sehari-hari, Bagian Anak RSCM yang menangani khusus penderita talasemia sudah seperti ruang keluarga. Para dokter dan perawat sudah saling kenal secara akrab dengan keluarga dan anak-anak mereka yang menderita talasemia. Sehingga kesedihan hampir tersembunyi di tengah kesibukan pasien-pasien yang sedang berobat. Yang tampak adalah suatu proses yang kelihatannya berjalan secara reguler. Misalnya, ketika Ny. Isah menggendong anaknya, Marpuah, untuk mendapat transfusi darah. Terdengar jeritan Marpuah ketika jarum transfusi disodokkan ke vena bayi tiga bulan itu. Kemudian ia diam mengisap tetek maknya ketika transfusi berlangsung. Marpuah adalah putri bungsu dari tiga anak Ny. Isah, istri seorang kenek truk. Ketiganya menderita talasemia, dan yang sulung meninggal belum lama ini. Ada lagi Andhras, bocah berusia enam tahun murid TK Cendrawasih, Cipulir, Jakarta. Anak yang tampak periang itu menunggu giliran mendapat transfusi. Andhras termasuk sangat sering ke RSCM. Selain transfusi, ia membutuhkan enam botol desferal (3.000 mg) per minggu. Anak itu tampaknya sudah mengerti betul perihal penyakitnya. Ny. Setijanto, ibunya - istri seorang pegawai Deplu - mengisahkan, bila rasa lemas menyerang Andhras, anak itu sendiri meminta pada ibunya untuk mendapat transfusi. "Umurnya digariskan mungkin hanya sampai delapan tahun," ujar Ny. Setijanto dengan tatapan mata yang kosong. Jim Supangkat Laporan Indrayati (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini