Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Mereka yang cinta alam

Wanadri dan mapala ui yang berdiri pada th 1964 semula didirikan oleh beberapa orang mahasiswa. grup-grup pencinta alam kini menyebar luas. wanadri mendirikan sekolah pendaki gunung. (ling)

10 Juni 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI Kandang Badak, tempat perkenlahan menuju puncak Gunung Gedeh (2500 M) dan Pangrango (3019 M), Jawa Barat, tahun 1963 dulu, pernah berdiri sebuah rumah berdinding dan berlantai kayu. Namun bungalow yang tadinya disediakan untuk para peneliti cagar alam Cibodas itu (5 km dari Cimacan, Bogor), awal 1970 sudah penuh dengan coretan-coretan tangan iseng. Bahkan mula-mula sepotong lantai papannya hilang. Kemudian jendela kaca dan daun pintunya copot. Akhirnya kini tinggal cerobong asap dan tempat pembakaran kayu yang terbuat dari batu-bata serta fondasi tembok saja yang tersisa. "Itu ulah anak-anak muda yang cobacoba naik gunung." kata seorang anggota Mahasiswa Pencinta Alam (Mapala) UI kepada TEMPO. Perbuatan itu katanya lagi, contoh kecil vandalisme anak-anak muda yang kepengin mendaki gunung dan menjelajah hutan hanya untuk melampiaskan nafsu petualangannya saja. Padahal sebagai pencinta alam mematahkan dahan pohon pun tanpa maksud yang jelas merupakan larangan. "Semua organisasi pencinta alam memang harus punya peraturan untuk menjaga kelestarian alam," kata Eky Setiawan, pengurus grup pendaki gunung dan penjelajah rimba Wanadri dari Bandung. Wanadri sendiri ketika lahir pada tahun 1964, mulanya didirikan oleh beberapa orang mahasiswa yang memiliki hobi hidup di alam bebas. Berkumpul setiap minggu di Jaya Giri, sebuah bukit di lereng gunung Tangkubanperahu, para anak muda itu kadang-kadang tanpa tenda sering bermalam. Di tempat batas antara hutan lindung dan ladang petani itu, menurut Eky Setiawan, bertemulah tokoh khayalan semacam Winnetou, Old Shatterhand, Davy Crocket, dan Tom Sawyer pada pribadi anak-anak muda tahun enampuluhan itu. Setelah Wanadri hampir berbarengan dan berturut-turut lahirlah grup-grup sejenis. Sampai saat ini diperkirakan ada 300 grup pencinta alam yang tersebar misalnya di Jakarta, Semarang, Yogyakarta, Malang, Surabaya, dan Ujungpandang. Bahkan sudah empat kali diadakan Gladian grup-grup tersebut pada tingkat nasional. Pertama di Citatah, Bandung dan yang terakhir di Ujungpandang. Wanadri dalam perkembangannya bahkan berhasil mendirikan Sekolah Pendaki Gunung yang bukan saja mengajarkan ketrampilan mendaki tapi juga menyiapkan siswanya sebagai peneliti, SAR, dan memupuk kesadaran terhadap kelestarian alam. "Di dalam kurikulum sekolah itu ditekankan benar masalah pendidikan lingkungan," kata Eky yang juga Pemimpin Umum majalah pencinta alam Jaya Giri. Sebagaimana Wanadri, Mapala UI juga berdiri pada tahun yang sama. Kesenangannya terhadap alam membuat sementara mahasiswa FSUI waktu itu, misalnya sastrawan (dan kini sarjana linguistik) Ayat Rohaedi dan Soe Hok Gie (alm), sering berkumpul di bukit kapur Ciampea, Bogor. Ketika pada mulanya masih bernama grup Mahasiswa Pencinta Alam Pradnya Paramita, perkumpulan yang anggotanya baru terbatas mahasiswa-mahasiswa sastra UI itu boleh dibilang merupakan pelarian dari suasana politik yang waktu itu didominir organisasi mahasiswa GMNI dan CGMI. Baru pada tahun 1971, grup-grup pencinta alam yang tersebar di berbagai fakultas itu bergabung ke dalam Mapala-UI. Tapi gerakan mencintai alam sebenarnya sudah dirintis di kampus sendiri. Atas inisiatif almarhum Soe Hok Gie, kampus Rawamangun yang tadinya gersang ditanami pohon-pohonan. Mapala sendiri kini punya rencana mengadakan kampanye lingkungan hidup itu ke SMA-SMA di Jakarta. Sementara Wanadri akan mengkampanyekan etik mendaki gunung dan etik menjaga kelestarian alam. Eky Setiawan misalnya tak membenarkan hobi memelihara satwa lindungan. "Petugas PPA harus tegas. Sebab orang kaya tak akan membeli hewan itu, kalau tak ada yang menjual," katanya. Karena itu tentang kampanye pola hidup sederhana Arianto merasa pesimis. "Selama sikap hidup para pejabat tak berubah, percuma deh kampanye itu," katanya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus