SEORANG tua dengan baret hitam di kepala dan senyum lebar di
mulut muncul di layar TVRI Studio Jakarta. Dan dengan itu, dua
kali seminggu, suatu acara yang sudah lebih 5 tahun menghilang
sudah 2 x ini kembali lagi. Yaitu: pelajaran menggambar untuk
anak-anak, yang dulu diasuh oleh almarhum Pak Ooq.
Pengganti Pak Ooq adalah Pak Tino. Lengkapnya: Tino Sidin. Bagi
anak-anak penonton TVRI Yogya, Pak Tino bukan wajah baru.
Pengarang buku Menggambar Itu Mudah setebal 5 jilid yang
diterbitkan oleh Kanisius (Yogya) ini adalah pengisi acara yang
sama untuk kota itu -- dengan baret hitamnya, senyumnya dan lagu
pengiring Cicak-Cicak Di Dinding. Bila ia nampak di jalanan kota
Yogya di atas sepeda motor, anak-anak akan segera meneriakinya
gembira -- meskipun mereka tak termasuk dalam sekolah gambar
yang diasuhnya di luar TV.
Menteri P & K
Tino memang rupanya lebih guru ketimbang pelukis. Polos dan
sederhana dalam berfikir, dengan hati yang nampak gampang
memberi, laki-laki berusia 53 tahun ini percaya betul bahwa
menggambar bukanlah suatu pekerjaan yang merepotkan. Dengan alat
yang bersahaja, tiap anak dapat saja melakukannya. Bakat tidak
penting. Yang penting adalah kebebasan. "Berilah anak-anak
kebebasan supaya bakat mereka lebih berkembang," kata Tino.
Tino sendiri semasa kecil mengalami bagaimana ketidak-bebasan
nyaris menutup kemungkinannya. Ia lahir di Tebing Tinggi,
Sumatera Timur, keturunan Jawa yang sudah lama di daerah Deli.
Kakeknya, sais kereta lembu, pernah memarahinya waktu ia melihat
si cucu mencoret-coret kertas. "Kalau kamu main kertas-kertasan
itu, nanti bagaimana cari makan," kata si kakek. Untung Tino
bisa terus dapat makan dan juga dapat mengembangkan
kemampuannya menggambar, dengan bantuan seorang gurunya.
Dengan kemampuan menggambar, Tino -- yang bersama Daoed Joesoef
(kini Menteri P & K) dan Nasyah Djamin (pelukis dan novelis) --
datang ke Jawa dalam masa revolusi. Di Yogya, para pelukis,
antara lain tergabung dalam Persagi yang dipimpin Soedjojono,
ikut aktif dalam perang kemerdekaan, baik sebagai pembuat poster
atau sebaai pembuat peta.
Dalam hal Tino, kecakapan melukis itu bisa juga menolongnya dari
musuh. Suatu hari dalam perjalanan pasukan Siliwangi kembali ke
Jawa Barat, ia terpisah dari induk rombongan, setelah kena
gempur Belanda. Tino tertangkap. Tapi perlakuan kasar yang
diterimanya kemudian berhenti, setelah komandan pasukan Belanda
tahu bahwa ia seorang pelukis, bukan "ekstrimis". Tino bahkan
bebas karena lukisannya.
Buat anak-anak kini kecakapan menggambar bisa membebaskan mereka
dalam hal lain: untuk percaya pada diri sendiri dan
mengembangkan imajinasi. Sebagaimana ditunjukkan Tino dalam
bukunya maupun di layar TV, dari garis atau titik yang bagaimana
pun oleh anak dapat dikembangkan gambar apa saja yang
dikehendaki fantasi. "Berilah anak-anak kebebasan dalam memilih
obyek lukisan," katanya. Dan dengan cara menggambar yang tidak
dikesankan sebagai sulit, setiap anak bisa merasa dirinya
berharga dalam berpartisipasi.
"Sadar Teknik"
Jelas, bahwa dari metode itu yang diarah bukanlah lahirnya
seorang seniman, melainkan sesuatu yang justru lebih menarik:
kegembiraan dalam ikut serta berkesenian. Mungkin itulah
sebabnya acara pelajaran menggambar Tino Sidin di Yogya menarik
banyak peminat kecil dan dengan dua kali muncul di TVRI Jakarta
saja ia sudah banyak menerima surat.
Apakah hal yang serupa terjadi juga pada acara Bina Vokalia,
pelajaran vokal yang diasuh penyanyi Pranadjaja? Pranadjaja
nampaknya sangat menekankan kesempurnaan teknis, lebih dari
sekedar partisipasi. Tapi ia sendiri berpendapat: "Tujuan kami
yang terutama ialah mendidik anak-anak agar nantinya menjadi
anggota masyarakat yang cinta musik." Ia tak bermaksud mendorong
anak didiknya jadi pemusik. Ia seakan-akan hanya melakukan
investasi bagi apresiasi musik di masyarakat di masa depan.
Tentu saja masih harus dilihat, sampai sejauh mana kelak metode
Pranadjaja --yang "sadar teknik" itu -- kena untuk merangsang
meluasnya pencinta musik di masyarakat. Tapi setidaknya, Bina
Vokalia lebih gampang menyebar dibanding dengan Bina Musika,
acara yang memperlihatkan latihan ketrampilan anak-anak bermain
instrumen. Bina Vokalia, nampaknya memberi kemungkinan bagi apa
yang disebut Pranadjaja sebagai "alat musik yang komplit," yaitu
mulut. Bina Musika yang diasuh Agus Rusli tak menghendaki modal
yang murah itu, tapi keintiman dengan peralatan musik yang tak
jarang mahal dan memerlukan latihan khusus.
Namun baik pelajaran menggambar oleh Tino, oleh Pranadjaja atau
pun oleh Agus Rusli betapapun lebih bersifat "merangsang minat"
daripada mengajar seperti di dalam kelas -- sebagaimana yang
dikatakan oleh seorang pejabat tinggi TVRI Jakarta. Masalah
metode dengan demikian mungkin kurang penting untuk
dipersoalkan. Yang penting di layar itu ada anak-anak menggambar
atau menyanyi atau main musik. Siapa tahu anak-anak yang
menonton jadi berminat untuk mencari jalan sendiri.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini