Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bisnis

Kini: Ada Pak Tino

Acara pelajaran menggambar di TVRI yang pernah diasuh alm. pak Ooq, muncul kembali, pengasuhnya pak Tino Sidin, pengarang buku "menggambar itu mudah". Pelajaran bersifat merangsang minat anak. (md)

10 Juni 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEORANG tua dengan baret hitam di kepala dan senyum lebar di mulut muncul di layar TVRI Studio Jakarta. Dan dengan itu, dua kali seminggu, suatu acara yang sudah lebih 5 tahun menghilang sudah 2 x ini kembali lagi. Yaitu: pelajaran menggambar untuk anak-anak, yang dulu diasuh oleh almarhum Pak Ooq. Pengganti Pak Ooq adalah Pak Tino. Lengkapnya: Tino Sidin. Bagi anak-anak penonton TVRI Yogya, Pak Tino bukan wajah baru. Pengarang buku Menggambar Itu Mudah setebal 5 jilid yang diterbitkan oleh Kanisius (Yogya) ini adalah pengisi acara yang sama untuk kota itu -- dengan baret hitamnya, senyumnya dan lagu pengiring Cicak-Cicak Di Dinding. Bila ia nampak di jalanan kota Yogya di atas sepeda motor, anak-anak akan segera meneriakinya gembira -- meskipun mereka tak termasuk dalam sekolah gambar yang diasuhnya di luar TV. Menteri P & K Tino memang rupanya lebih guru ketimbang pelukis. Polos dan sederhana dalam berfikir, dengan hati yang nampak gampang memberi, laki-laki berusia 53 tahun ini percaya betul bahwa menggambar bukanlah suatu pekerjaan yang merepotkan. Dengan alat yang bersahaja, tiap anak dapat saja melakukannya. Bakat tidak penting. Yang penting adalah kebebasan. "Berilah anak-anak kebebasan supaya bakat mereka lebih berkembang," kata Tino. Tino sendiri semasa kecil mengalami bagaimana ketidak-bebasan nyaris menutup kemungkinannya. Ia lahir di Tebing Tinggi, Sumatera Timur, keturunan Jawa yang sudah lama di daerah Deli. Kakeknya, sais kereta lembu, pernah memarahinya waktu ia melihat si cucu mencoret-coret kertas. "Kalau kamu main kertas-kertasan itu, nanti bagaimana cari makan," kata si kakek. Untung Tino bisa terus dapat makan dan juga dapat mengembangkan kemampuannya menggambar, dengan bantuan seorang gurunya. Dengan kemampuan menggambar, Tino -- yang bersama Daoed Joesoef (kini Menteri P & K) dan Nasyah Djamin (pelukis dan novelis) -- datang ke Jawa dalam masa revolusi. Di Yogya, para pelukis, antara lain tergabung dalam Persagi yang dipimpin Soedjojono, ikut aktif dalam perang kemerdekaan, baik sebagai pembuat poster atau sebaai pembuat peta. Dalam hal Tino, kecakapan melukis itu bisa juga menolongnya dari musuh. Suatu hari dalam perjalanan pasukan Siliwangi kembali ke Jawa Barat, ia terpisah dari induk rombongan, setelah kena gempur Belanda. Tino tertangkap. Tapi perlakuan kasar yang diterimanya kemudian berhenti, setelah komandan pasukan Belanda tahu bahwa ia seorang pelukis, bukan "ekstrimis". Tino bahkan bebas karena lukisannya. Buat anak-anak kini kecakapan menggambar bisa membebaskan mereka dalam hal lain: untuk percaya pada diri sendiri dan mengembangkan imajinasi. Sebagaimana ditunjukkan Tino dalam bukunya maupun di layar TV, dari garis atau titik yang bagaimana pun oleh anak dapat dikembangkan gambar apa saja yang dikehendaki fantasi. "Berilah anak-anak kebebasan dalam memilih obyek lukisan," katanya. Dan dengan cara menggambar yang tidak dikesankan sebagai sulit, setiap anak bisa merasa dirinya berharga dalam berpartisipasi. "Sadar Teknik" Jelas, bahwa dari metode itu yang diarah bukanlah lahirnya seorang seniman, melainkan sesuatu yang justru lebih menarik: kegembiraan dalam ikut serta berkesenian. Mungkin itulah sebabnya acara pelajaran menggambar Tino Sidin di Yogya menarik banyak peminat kecil dan dengan dua kali muncul di TVRI Jakarta saja ia sudah banyak menerima surat. Apakah hal yang serupa terjadi juga pada acara Bina Vokalia, pelajaran vokal yang diasuh penyanyi Pranadjaja? Pranadjaja nampaknya sangat menekankan kesempurnaan teknis, lebih dari sekedar partisipasi. Tapi ia sendiri berpendapat: "Tujuan kami yang terutama ialah mendidik anak-anak agar nantinya menjadi anggota masyarakat yang cinta musik." Ia tak bermaksud mendorong anak didiknya jadi pemusik. Ia seakan-akan hanya melakukan investasi bagi apresiasi musik di masyarakat di masa depan. Tentu saja masih harus dilihat, sampai sejauh mana kelak metode Pranadjaja --yang "sadar teknik" itu -- kena untuk merangsang meluasnya pencinta musik di masyarakat. Tapi setidaknya, Bina Vokalia lebih gampang menyebar dibanding dengan Bina Musika, acara yang memperlihatkan latihan ketrampilan anak-anak bermain instrumen. Bina Vokalia, nampaknya memberi kemungkinan bagi apa yang disebut Pranadjaja sebagai "alat musik yang komplit," yaitu mulut. Bina Musika yang diasuh Agus Rusli tak menghendaki modal yang murah itu, tapi keintiman dengan peralatan musik yang tak jarang mahal dan memerlukan latihan khusus. Namun baik pelajaran menggambar oleh Tino, oleh Pranadjaja atau pun oleh Agus Rusli betapapun lebih bersifat "merangsang minat" daripada mengajar seperti di dalam kelas -- sebagaimana yang dikatakan oleh seorang pejabat tinggi TVRI Jakarta. Masalah metode dengan demikian mungkin kurang penting untuk dipersoalkan. Yang penting di layar itu ada anak-anak menggambar atau menyanyi atau main musik. Siapa tahu anak-anak yang menonton jadi berminat untuk mencari jalan sendiri.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus