DI Kandang Badak, tempat perkenlahan menuju puncak Gunung Gedeh
(2500 M) dan Pangrango (3019 M), Jawa Barat, tahun 1963 dulu,
pernah berdiri sebuah rumah berdinding dan berlantai kayu. Namun
bungalow yang tadinya disediakan untuk para peneliti cagar alam
Cibodas itu (5 km dari Cimacan, Bogor), awal 1970 sudah penuh
dengan coretan-coretan tangan iseng. Bahkan mula-mula sepotong
lantai papannya hilang. Kemudian jendela kaca dan daun pintunya
copot. Akhirnya kini tinggal cerobong asap dan tempat pembakaran
kayu yang terbuat dari batu-bata serta fondasi tembok saja yang
tersisa.
"Itu ulah anak-anak muda yang cobacoba naik gunung." kata
seorang anggota Mahasiswa Pencinta Alam (Mapala) UI kepada
TEMPO. Perbuatan itu katanya lagi, contoh kecil vandalisme
anak-anak muda yang kepengin mendaki gunung dan menjelajah hutan
hanya untuk melampiaskan nafsu petualangannya saja. Padahal
sebagai pencinta alam mematahkan dahan pohon pun tanpa maksud
yang jelas merupakan larangan.
"Semua organisasi pencinta alam memang harus punya peraturan
untuk menjaga kelestarian alam," kata Eky Setiawan, pengurus
grup pendaki gunung dan penjelajah rimba Wanadri dari Bandung.
Wanadri sendiri ketika lahir pada tahun 1964, mulanya didirikan
oleh beberapa orang mahasiswa yang memiliki hobi hidup di alam
bebas. Berkumpul setiap minggu di Jaya Giri, sebuah bukit di
lereng gunung Tangkubanperahu, para anak muda itu kadang-kadang
tanpa tenda sering bermalam. Di tempat batas antara hutan
lindung dan ladang petani itu, menurut Eky Setiawan, bertemulah
tokoh khayalan semacam Winnetou, Old Shatterhand, Davy Crocket,
dan Tom Sawyer pada pribadi anak-anak muda tahun enampuluhan
itu. Setelah Wanadri hampir berbarengan dan berturut-turut
lahirlah grup-grup sejenis. Sampai saat ini diperkirakan ada 300
grup pencinta alam yang tersebar misalnya di Jakarta, Semarang,
Yogyakarta, Malang, Surabaya, dan Ujungpandang. Bahkan sudah
empat kali diadakan Gladian grup-grup tersebut pada tingkat
nasional. Pertama di Citatah, Bandung dan yang terakhir di
Ujungpandang.
Wanadri dalam perkembangannya bahkan berhasil mendirikan Sekolah
Pendaki Gunung yang bukan saja mengajarkan ketrampilan mendaki
tapi juga menyiapkan siswanya sebagai peneliti, SAR, dan memupuk
kesadaran terhadap kelestarian alam. "Di dalam kurikulum sekolah
itu ditekankan benar masalah pendidikan lingkungan," kata Eky
yang juga Pemimpin Umum majalah pencinta alam Jaya Giri.
Sebagaimana Wanadri, Mapala UI juga berdiri pada tahun yang
sama. Kesenangannya terhadap alam membuat sementara mahasiswa
FSUI waktu itu, misalnya sastrawan (dan kini sarjana linguistik)
Ayat Rohaedi dan Soe Hok Gie (alm), sering berkumpul di bukit
kapur Ciampea, Bogor. Ketika pada mulanya masih bernama grup
Mahasiswa Pencinta Alam Pradnya Paramita, perkumpulan yang
anggotanya baru terbatas mahasiswa-mahasiswa sastra UI itu boleh
dibilang merupakan pelarian dari suasana politik yang waktu itu
didominir organisasi mahasiswa GMNI dan CGMI. Baru pada tahun
1971, grup-grup pencinta alam yang tersebar di berbagai fakultas
itu bergabung ke dalam Mapala-UI.
Tapi gerakan mencintai alam sebenarnya sudah dirintis di kampus
sendiri. Atas inisiatif almarhum Soe Hok Gie, kampus Rawamangun
yang tadinya gersang ditanami pohon-pohonan. Mapala sendiri kini
punya rencana mengadakan kampanye lingkungan hidup itu ke
SMA-SMA di Jakarta. Sementara Wanadri akan mengkampanyekan etik
mendaki gunung dan etik menjaga kelestarian alam. Eky Setiawan
misalnya tak membenarkan hobi memelihara satwa lindungan.
"Petugas PPA harus tegas. Sebab orang kaya tak akan membeli
hewan itu, kalau tak ada yang menjual," katanya. Karena itu
tentang kampanye pola hidup sederhana Arianto merasa pesimis.
"Selama sikap hidup para pejabat tak berubah, percuma deh
kampanye itu," katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini