Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Mitigasi Banjir Besar, Peneliti BRIN Sarankan Ujicoba Sistem Pemanenan Air Hujan

Peneliti BRIN menyatakan, sistem pemanenan air hujan harus dibangun di pabrik, hotel dan gedung perkantoran untuk atasi banjir.

5 Desember 2024 | 11.42 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Peneliti Ahli Utama Pusat Riset Iklim dan Atmosfer BRIN, Erma Yulihastin saat ditemui seusai acara Media Lounge Discussion perihal cuaca ekstrem, Rabu 31 Januari 2024. TEMPO/Alif Ilham Fajriadi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Peneliti di Pusat Iklim dan Atmosfer Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Erma Yulihastin, mengatakan, banjir besar yang terjadi di Malaysia dan Thailand Selatan baru-baru ini memberikan pelajaran berharga mengenai urgensi mitigasi bencana hidrometeorologi dari hulu ke hilir.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Apalagi, kata Erma, penyebab banjir besar di negara-negara tersebut juga berada di sekitar Indonesia, yaitu berkaitan erat dengan fenomena prakondisi pembentukan pusaran badai di atas lautan yang dinamakan dengan vorteks Borneo.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"Gangguan cuaca skala sinoptik yang terjadi di Laut Tiongkok Selatan ini memang kerap terjadi selama periode bulan November hingga Maret, seiring dengan aktivitas monsun Asia yang identik dengan musim hujan," kata Erma kepada Tempo, Kamis, 5 Desember 2024.

Menurut Erma, banjir besar di Malaysia maupun Thailand dipicu oleh hujan persisten yang terjadi berhari-hari, meskipun secara intensitas tidak tergolong ekstrem. Artinya, daya dukung lingkungan terutama di wilayah sekitar Daerah Aliran Sungai harus diperkuat agar dapat menyerap dan mengalirkan air hujan.

Erma menyebut salah satu konsep yang perlu diuji-coba diterapkan di kota-kota besar Indonesia untuk mencegah banjir, yaitu sistem penangkapan dan pemanenan air hujan atau rain water harvesting system. Sistem ini harus dibangun oleh setiap pabrik, gedung perkantoran, atau hotel, yang membutuhkan kebutuhan air yang besar.

Konsep memanen air hujan skala global ini, kata Erma, pada dasarnya adalah menyediakan tangki atau sumur-sumur artesis bawah tanah yang berguna untuk menampung air hujan. "Jika ini dilakukan pada setiap gedung-gedung besar maka dapat mereduksi signifikan limpasan air hujan," kata dia.

Menurut Erma, air hujan yang ditampung itu juga tak hanya bisa mengurangi limpasan yang langsung menuju saluran drainase tapi juga dapat dimanfaatkan sebagai persediaan air yang bisa dimanfaatkan sebagai air bersih. Salah satu negara yang telah menerapkan konsep memanen air hujan pada skala yang luas adalah Singapura.

Cara ini, kata Erma, sekaligus mengajak masyarakat dalam hal ini pelaku usaha untuk ikut berkontribusi terhadap solusi mengatasi banjir yang dipicu oleh hujan persisten maupun ekstrem. "Terbukti, Singapura yang juga mengalami hujan persisten dampak dari fenomena gangguan cuaca seperti Malaysia memiliki ketangguhan bencana hidrometeorologi sehingga negara tersebut tidak mengalami banjir," ucapnya.

Erma menuturkan, mitigasi banjir dari hulu juga mengisyaratkan urgensi memprediksi dan mendeteksi dini bibit vorteks sejak periode prakondisi. Sebab, kata dia, dalam kajian yang dilakukan oleh tim periset BRIN, prakondisi vorteks Borneo dapat meningkatkan hujan yang meluas di barat Indonesia terutama di wilayah Jawa.

Erma mengatakan, kemampuan Indonesia dalam menguasai teknologi prediksi resolusi sangat tinggi dan menghasilkan data-data dinamika cuaca pada skala menengah (meso) melalui model yang dikembangkan sendiri, mendesak untuk segera direalisasikan. "Ini merupakan tantangan yang tidak mudah karena mendesain konfigurasi model numerik yang paling sesuai untuk wilayah Indonesia masih belum terpecahkan hingga saat ini," kata dia.

Menurut Erma, umumnya model prediksi cuaca dikembangkan oleh model-model global dari luar negeri, yang memiliki konfigurasi cuaca untuk negara lintang menengah dan tinggi, sehingga kurang akurat. "Apalagi Indonesia punya puluhan ribu pulau yang semuanya rentan dengan dampak hujan badai yang membutuhkan model-model prediksi cuaca resolusi super tinggi."

Selain itu, kata Erma, perlu juga kemampuan untuk menghasilkan data-data lokal cuaca dari instrumen yang dikembangkan secara mandiri oleh peneliti dan perekayasa Indonesia seperti alat AWS, radar, bahkan satelit cuaca. Semua ide pengurangan risiko banjir besar ini membutuhkan dukungan kebijakan dan anggaran. 

"Oleh karena itu, pemerintah daerah berkoordinasi dengan badan dan Kementerian teknis terkait harus duduk bersama merumuskan berbagai kebijakan terbaik yang komprehensif untuk memitigasi banjir dari hulu ke hilir dengan BNPB sebagai orkestratornya," kata Erma.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus