Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ruangan teater itu berubah menjadi kabin pesawat luar angkasa. Latar panggung dihiasi gambar benda-benda angkasa. Suara mesin jet yang terpendam mendengung tanpa henti. Sesekali suara dering dan denting menyela. Sisanya adalah keheningan di bawah sinar lampu yang redup di langit-langit yang ditutupi hamparan paranet, jaring yang biasa digunakan untuk melindungi tanaman dari panas matahari.
Tapi beberapa lampu neon ultraviolet tersusun di lantai dengan nyala yang mencolok. Sinarnya dipantulkan oleh sobekan-sobekan kecil kertas di sekitar panggung, yang mengesankan sinar bintang yang bertaburan.
Lalu muncul enam orang yang berdandan mirip makhluk luar angkasa di film fiksi sains: berpakaian hitam tipis, dengan perias mata berwarna hijau yang membuatnya seakan berkacamata, bulu mata palsu panjang putih, dan bibir hijau. Orang-orang itu lalu bergerak mengelilingi sebuah lembaran pelat di tengah panggung, seperti benda-benda angkasa yang berputar mengelilingi orbitnya.
Mereka menari dalam gerakan-gerakan yang sangat sederhana. Sesekali tangan mereka bergerak sedikit ke depan atau belakang. Kadang mereka hanya menggerakkan pergelangan tangan dan kaki. Sekali tempo mereka hanya berdiri diam sembari mengerjapkan matanya. Dengan bulu mata panjang putih, gerakan tersebut menggambarkan kerlip bintang di malam hari.
Inilah Bintang Hening, karya terbaru Fitri Setyaningsih, koreografer lulusan Sekolah Tinggi Seni Indonesia Solo, yang dipentaskan dua pekan lalu di Teater Arena, Taman Budaya Jawa Tengah, Surakarta. Koreografer koleganya, Eko Supriyanto, menilai Fitri telah melakukan penghancuran pada estetika tari. Selanjutnya, karya tersebut menjadi sebuah gaya yang baru. "Sangat terlihat Fitri berhasil memberikan sebuah sidik jari dalam setiap karyanya," kata Eko.
Eko juga menilai karya itu telah melepaskan beban rezim eksplorasi tubuh, yang biasa terjadi dalam dunia tari. Unsur panggung, tata cahaya, dan musik, menurut dia, sama-sama eksis dengan gerak yang dibawakan para penari.
Fitri memang sedang mengembalikan estetika tari kepada dasarnya, kepada gerak-gerak yang sederhana, atau malah tanpa gerak. Dia mengajak para penarinya, yang semuanya penari profesional dari Institut Seni Indonesia Surakarta, melucuti tarian. "Mereka dinolkan melalui gerakan-gerakan sederhana," kata Fitri.
Yang terjadi justru mengejutkan. Para penari itu sebenarnya terbiasa mengeksplorasi tubuh dengan gerakan-gerakan yang sulit. Tapi, ketika harus melakukan gerakan sederhana, mereka malah menghadapi kesulitan. "Siapa sangka gerak sederhana mengedipkan mata bisa membuat perut mual saat latihan," ujar Fitri, yang belum lama ini terlibat dalam beberapa pementasan besar, seperti Opera Tan Malaka karya Goenawan Mohamad.
Bintang Hening juga menyuguhkan kejutan dalam penataan musik. Biasanya musik sekadar jadi pengiring pertunjukan tari. Kali ini musik diberi ruang sendiri. Di tengah pertunjukan, misalnya, tiba-tiba Sigit Pratama, musikus pertunjukan ini, maju ke tengah panggung sembari membawa gitar.
Lalu, jreng…, dia pun memainkan lagu Bintang Hening, yang syairnya ditulis penyair Afrizal Malna. Lagu dengan musik pop itu nada-nadanya mirip lagu-lagu karya Melly Goeslaw, yang mengingatkan penonton pada lagu tema film atau sinetron.
"Ini benar-benar hal yang baru dalam karya koreografi tari," kata Joko S. Gombloh, pemusik Sono Seni Ensemble, yang mendampingi proses produksi karya Fitri ini. Sebagai pemusik, Joko melihat tata musik yang digunakan Fitri dalam pentasnya ini benar-benar menunjukkan eksistensinya, tidak sekadar menjadi pelengkap sebuah pertunjukan.
Mengapa bintang? Mengapa nol? Gagasan untuk membuat karya ini berangkat dari dua hal: cerita pendek Bintang Hening (A Tranquil Star) karya Primo Levi dan konsep astronomi suku Mandar. Levi adalah pengarang dan ahli kimia Italia yang sempat jadi tahanan di kamp Auschwitz pada masa Nazi. Cerpennya itu mengisahkan sejarah bintang hening, bintang kecil yang seakan-akan terabaikan tapi sempat disaksikan beberapa astronom.
Melalui program residensi Yayasan Kelola, Fitri mendapat kesempatan magang pada suku Mandar di Sulawesi Barat, yang letaknya di titik nol derajat di garis khatulistiwa. Orang Mandar memiliki konsep astronomi lokal berdasarkan kehidupan mereka sebagai nelayan dan pelaut. Di sini Fitri menemukan beberapa orang yang tepat untuk risetnya, seperti Kaemudin, pembaca bintang dan musim serta perajin tali kapal. Dia juga bertemu dengan Ka’da Tira, pemusik alat tiup yang memiliki konsep ruang organik dengan tubuh.
"Suku Mandar juga banyak mengajarkan keterkaitan antara ruang dan tubuh," kata Fitri. Dalam membuat rumah, misalnya, masyarakat Mandar mengatur agar ukuran pintu dan jendelanya sesuai dengan ukuran tubuh mereka. Demikian juga saat mereka membuat perahu. Padahal harmoni antara ruang dan tubuh itu juga banyak digunakan dalam seni tari. Itulah yang diolah Fitri menjadi koreografi tari terbarunya kali ini.
Ahmad Rafiq (Solo), Kurniawan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo