Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Perlawanan Perempuan Pejuang Lingkungan

Peneliti Pusat Riset Gender Universitas Indonesia membongkar narasi perempuan sebagai korban terberat perubahan iklim.

14 Juni 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Sejumlah aktivis perempuan saat Kampanye Selamatkan Pohon di New Delhi, 2018. Reuters/Adnan Abidi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Perempuan dinarasikan sebagai korban perubahan iklim dengan dampak terberat.

  • Di negara-negara Selatan, perempuan berjuang melawan kerusakan lingkungan.

  • Perlu pengakuan bersama terhadap aktivisme perempuan di bidang lingkungan.

Perubahan iklim membawa dampak berbeda bagi laki-laki dan perempuan, terutama di negara-negara belahan bumi Selatan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Perbedaan dampak ini salah satunya dipengaruhi oleh budaya patriarki. Perempuan dalam isu lingkungan kerap terpinggirkan dari kepemilikan dan pengelolaan sumber daya. Perempuan tidak dilibatkan dalam diskusi tentang pengetahuan lokal. Budaya patriarki juga membuat relasi gender yang timpang: perempuan hanya dianggap cakap mengurus rumah tangga.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Akibatnya, ketika perubahan iklim terjadi: cuaca ekstrem, kebakaran hutan, ataupun banjir, perempuan menanggung beban dan dampak lebih berat. Selain mengalami dampak langsung, perempuan rentan menghadapi kekerasan berbasis gender yang lebih intens.

Meski demikian, narasi bahwa perempuan hanyalah “korban” kerusakan lingkungan perlu kita bedah lagi. Di negara-negara Selatan, perempuan juga berdaya dan memiliki kekuatan untuk melestarikan lingkungan.

Keberdayaan atau agensi perempuan dalam mempertahankan lingkungan terwujud dalam berbagai bentuk aksi politik, baik formal maupun informal, individu maupun kolektif.

Baca: Kisah Anak Peduli Lingkungan

Gerakan Perempuan di Negara-negara Selatan

Sejarah mencatat kontribusi dan peran perempuan dalam advokasi konservasi serta perjuangan melindungi lingkungan dari kerusakan. Salah satu contohnya adalah gerakan Chipko di India.

Gerakan ini berawal pada 1974. Masyarakat dan perempuan adat di Desa Reni, India, berjuang melindungi hutan dari penebangan yang mengancam kelangsungan hidup. Para perempuan setempat pun melakukan aksi kolektif menjaga dan memeluk pohon untuk menarik mundur kontraktor serta mencegah penebangan.

Upaya mempertahankan lingkungan tersebut berlanjut di level global. Dalam Konferensi Nairobi tentang keberadaan perempuan negara-negara dunia ketiga pada 1985, para perempuan menyuarakan pentingnya pelestarian lingkungan dan aksi politik perempuan. Dalam konferensi ini, testimoni dari gerakan Chipko dan gerakan perempuan serupa di negara-negara lain terus berdengung.

Virginia Garcia, 45, adalah salah satu dari sedikit perempuan yang terus memancing bersama suaminya di laguna Chacahua. earthisland.org

Selain gerakan Chipko, gerakan perempuan di Zapotalito—desa di pesisir Pantai Pasifik Oaxaca, sebelah selatan Meksiko, turut mengusung aksi politik sejak 2016. Desa ini berada di dalam kawasan taman nasional laguna Chacahua-Pastoría yang rusak: ikan-ikan mati, bau amonia menyengat, air tergenang, dan kualitas udara buruk.

Para perempuan beraksi dengan bertahan tinggal di desa dan melakukan kegiatan sehari-hari di tengah kerusakan laguna Chacahua-Pastoría. Mereka memasak makanan, membuat tortila, membersihkan rumah, merawat anak-anak, merawat hewan peliharaan dan tanaman, serta menangkap ikan untuk konsumsi keluarga. Sayangnya, upaya perempuan mempertahankan ruang hidup dengan kegiatan sehari-hari ini kerap tidak dianggap sebagai tindakan politik.

Selain bertahan, perempuan Zapotalito bersama-sama membersihkan kanal-kanal alami di kawasan bakau Coaxaca. Pembersihan dilakukan secara berkala menggunakan sekop dan cangkul.

Sementara itu, gerakan perempuan di Chiquiacá, Bolivia, melawan perusakan kawasan konservasi Tariquía Flora and Fauna National Reserve sejak 2017. Para perempuan ini memimpin unjuk rasa untuk menentang masuknya perusahaan minyak dan gas bumi di kawasan tersebut. Pada 2019, para perempuan memblokade jalan masuk wilayah konservasi selama lima bulan untuk mencegah masuknya alat pengeboran.

Para perempuan Chiquiacá juga berdemonstrasi di jalanan, menghalangi pembangunan masuk wilayah mereka. Gerakan ini menjadi aksi kolektif yang lebih luas hingga saat ini dan telah mendapat dukungan dari ribuan warga Bolivia.

Di Indonesia, para perempuan nelayan di Jawa Tengah berjuang untuk menjamin keberlanjutan komunitas dan ruang hidup mereka di tengah krisis iklim sejak 2020. Ketidakpastian gelombang laut, banjir pasang yang semakin tinggi, dan kenaikan permukaan air laut membuat beberapa rumah nelayan tenggelam.

Gerakan perempuan nelayan, yakni Puspita Bahari dan Persatuan Perempuan Nelayan Indonesia (PPNI) di Kabupaten Demak, Jawa Tengah, terus menyuarakan masalah ini. Mereka berbicara mengenai lingkungan dan hak atas ruang hidup kepada para pengambil kebijakan, melakukan peningkatan kesadaran masyarakat, menggalang dana untuk membangun jembatan, dan melakukan pemberdayaan ekonomi berkelanjutan.

Mereka juga secara aktif mengungkapkan masalah ini di berbagai forum dan media untuk memastikan agar masalah yang dihadapi nelayan perempuan didengar serta mendapat perhatian lebih luas.

Selain di Demak, ada gerakan perempuan lain, seperti Mpu Uteun yang menjaga hutan Aceh sejak 2015, Kartini Kendeng di Jawa Tengah yang melakukan aksi menyemen kaki dan membangun tenda perlawanan untuk menolak pembangunan pabrik semen sejak 2014, dan aksi Mama Aleta Baun di Nusa Tenggara Timur yang melawan pertambangan dengan menenun kain sejak 1999.

Petani perempuan Pegunungan Kendeng melakukan unjuk rasa dengan kaki disemen sebagai bentuk perlawanan di depan Istana Merdeka, Jakarta, 2016. TEMPO/Imam Sukamto

Tidak jarang dalam setiap aktivisme yang dilakukan, perempuan mengalami ancaman, intimidasi, dan kekerasan dari berbagai pihak. Misalnya, kekerasan verbal: “perempuan seharusnya duduk diam di rumah dan mengurus dapur” yang dialami gerakan perempuan di Chiquiacá, Bolivia. Ada juga ancaman pembunuhan yang diterima Aleta Baun di NTT.

Walau begitu, mereka pantang mundur. Para perempuan itu maju terus untuk memperjuangkan kelestarian ruang hidup mereka.

Berbagai Dukungan di Tingkat Global

Gerakan di atas membuktikan bahwa perempuan berdaya melakukan aktivisme lingkungan dari tingkat rumah tangga, komunitas, hingga negara.

Dunia internasional pun mengamini perjuangan tersebut. Kebijakan dan dokumen internasional saat ini telah memasukkan dimensi gender sebagai elemen penting dan spesifik dalam isu lingkungan serta pembangunan.

Dokumen terbaru, misalnya, diterbitkan oleh Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Kerangka Kerja Perubahan Iklim (UNFCCC) pada 2023. Laporan mereka mengangkat topik gerakan perempuan lokal dan perempuan adat sebagai solusi kebijakan serta aksi iklim. Laporan ini mengakui bahwa perempuan dari komunitas lokal dan perempuan adat memimpin dalam pengembangan serta implementasi kebijakan iklim di tingkat lokal, nasional, dan internasional.

Sejumlah kebijakan juga mendorong keterlibatan perempuan dalam agenda pembangunan berkelanjutan. Contohnya, Deklarasi Rio de Janeiro 1992 tentang Lingkungan dan Pembangunan menyepakati peran penting perempuan dalam pengelolaan dan pembangunan lingkungan. Ada juga Konvensi PBB Tahun 2004 untuk Melawan Kekeringan dan Degradasi Lahan (UNCCD). Konvensi ini menekankan peran penting perempuan di wilayah yang terkena dampak kekeringan, terutama di daerah perdesaan negara-negara berkembang.

Selain itu, Laporan Pertemuan Antar-Pemerintah Tingkat Tinggi terkait dengan Platform Beijing di Asia dan Pasifik turut menyoroti hubungan krusial perubahan lingkungan dengan peran perempuan sebagai pengelola dan penyedia sumber daya alam. Platform Beijing, yang disepakati pada 1995, adalah resolusi yang mendukung kesetaraan dan pemberdayaan perempuan di seluruh dunia.

Langkah ke Depan

Meskipun merasakan dampak berlapis akibat perubahan iklim, perempuan terus menunjukkan ketangguhan dan pengetahuan mereka untuk menemukan solusi terhadap krisis iklim.

Karena itulah, pengakuan terhadap aktivisme perempuan sangat penting untuk menghubungkan aktivisme di tingkat akar rumput dengan politik global. Pengakuan ini juga akan menunjukkan banyaknya perbedaan, kesamaan, dan keterhubungan antara satu tempat dan tempat lainnya, antara satu negara dan negara lainnya, sehingga bisa menjadi salah satu cara untuk menghadirkan solidaritas.

Kita dapat memulai upaya mendokumentasikan aktivisme lokal. Pencatatan ini berfungsi sebagai upaya mengintegrasikan pengetahuan dan pengalaman perempuan ke dalam agenda pembangunan lingkungan.

Kedua langkah tersebut penting dilakukan untuk menghindari generalisasi berlebihan terhadap situasi perempuan di berbagai negara sekaligus melampaui narasi bahwa “perempuan secara inheren adalah korban”.

---

Artikel ini ditulis oleh Andi Misbahul Pratiwi, peneliti dari Pusat Riset Gender Universitas Indonesia dan mahasiswa doktoral Leeds University. Terbit pertama kali di The Conversation.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus