Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Nusron Wahid Ingin Berantas Petugas ATR/BPN yang Terlibat Konflik Agraria, KPA: Jangan Hanya Gertak

KPA menyebut keterlibatan pejabat dalam konflik agraria sudah jadi rahasia umum.

15 November 2024 | 14.21 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Warga Dago Elos saat aksi unjuk rasa di depan Kejaksaan Tinggi Jawa Barat di Bandung, 15 Juli 2024. Warga mendesak kejaksaan menetapkan status P21 dan melimpahkan berkas Muller bersaudara dan mafia tanah ke pengadilan terkait konflik agraria antara warga Dago Elos melawan Muller bersaudara. Polisi telah menetapkan status tersangka pada Muller bersaudara. TEMPO/Prima Mulia

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) meminta pemerintah lebih serius memberantas mafia tanah dan konflik agraria di Indonesia. Sekretaris Jenderal KPA, Dewi Kartika, berharap rencana pengentasan mafia tanah dan penuntasan konflik agraria yang disampaikan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Nusron Wahid, bukan sekadar pernyataan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

“Tidak sebatas lip service dan gertak sambal," katanya dalam keterangan tertulis, Jumat, 15 November 2024.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Menurut Dewi, butuh langkah konkret agar pemerintahan Presiden Prabowo Subianto tidak mengulangi kegagalan rezim sebelumnya. Pemerintah dianggap sudah memiliki banyak data, baik yang digalang secara resmi maupun yang diusulkan oleh masyarakat. “Menteri ATR/BPN seharusnya sudah sampai kepada aksi nyata di lapangan, bukan lagi sekedar pemetaan dan identifikasi, apalagi hanya melempar rencana,” kata dia.

Dia menilai pernyataan Nusron soal keterlibatan petugas internal ATR/BPN dalam 60 persen sengketa dan konflik pertanahan bukan informasi baru. Sepanjang pemerintahan Presiden Joko Widodo (2015-2023), KPA mencatat adanya 2.939 letusan konflik agraria dengan total luasan lahan mencapai 6,3 juta hektare.

Seluruh kasus itu berdampak terhadap 1,7 juta rumah tangga petani. Konflik tersebut melibatkan korporasi-korporasi besar swasta dan negara dari sektor perkebunan, kehutanan, tambang dan lain-lain.

Akar utama penyebab konflik agraria tersebut, kata Dewi, adalah penerbitan sepihak Hak Guna Usaha (HGU), Hak Guna Bangunan (HGU) dan konsesi-konsesi korporasi di atas pemukiman dan lahan pertanian masyarakat. "Proses penerbitan konsesi yang tidak transparan dan tidak partisipatif ini menjadi pemicu lahirnya konflik agraria antara masyarakat dengan pihak perusahaan yang mengklaim sebagai pemilik HGU dan HGB," ucapnya.

Dewi menduga proses ini melibatkan orang-orang internal di kementerian dan lembaga, khususnya ATR/BPN memang memiliki wewenang atas HGU dan HGB. Pada era pemerintahan Jokowi, penanganan hukum konflik lahan hanya menyasar individu tertentu, sedangkan aktor yang punya pengaruh besar tetap dibiarkan meski menimbulkan masalah secara struktural.

"Sehingga pencapaian pengentasan mafia tanah tidak berkorelasi dengan penyelesaian konflik agraria," tutur dia.

Sejak 2016, KPA telah mengusulkan lokasi prioritas reforma agraria (LPRA) seluas 1,6 juta hektare yang tersebar di 851 lokasi. Hingga akhir rezim Jokowi, hanya 21 lokasi yang berhasil diselesaikan, itu pun lokasi yang sudah berstatus clean and clear, artinya tidak lagi mengalami konflik agraria.

 

M. Faiz Zaki

M. Faiz Zaki

Menjadi wartawan di Tempo sejak 2022. Lulus dari Program Studi Antropologi Universitas Airlangga Surabaya. Biasa meliput isu hukum dan kriminal.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus