Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Orang Rawang: Yang Terjepit Konsesi dan Kawasan Konservasi

Orang Rawang yang menghuni lahan gambut di Sumatera Selatan, sudah lama terancam. Terjepit konsesi HPH dan kawasan konservasi.

2 November 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

EKOSISTEM gambut di Indonesia telah menjadi rumah bagi berbagai masyarakat adat selama berabad-abad, termasuk kelompok yang dikenal sebagai “Orang Rawang” (rawang berarti rawa) di Sumatera Selatan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Terminologi Orang Rawang dapat dibaca sebagai satu kategori dalam sebuah stratifikasi sosial yang ada di lanskap gambut. Menurut ulasan jurnalis dan pegiat kebudayaan, Taufik Wijaya, Orang Rawang adalah kaum yang terbentuk oleh orang-orang terusir dari desa karena melanggar aturan “basuh dusun”, seperti larangan berbuat asusila, yang ada sejak masa Kesultanan Palembang hingga era kolonial.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Para pelanggar ini kesulitan berpindah ke desa lain karena akan ditolak. Walhasil, mereka tidak punya pilihan selain lari ke ujung-ujung sungai yang bentang alamnya berupa rawa.

Selain sebagai tempat tinggal “orang buangan”, rawa menjadi tempat bagi orang berpenyakit mental dan fisik yang dianggap aib bagi keluarganya.

Berdasarkan penelitian saya pada 2019 di Desa Perigi dan Desa Riding, Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan, Orang Rawang sangat bergantung pada ekosistem gambut untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Bahkan sekitar 70 persen penduduk desa tersebut memiliki ketergantungan tinggi terhadap lahan basah gambut.

Riset saya yang dipublikasikan dalam jurnal IOP Conference Series: Earth and Environmental Science edisi 8 September 2021 menunjukkan sebanyak 30-35 persen penduduk dua desa ini merupakan Orang Rawang. Sedangkan selebihnya adalah Orang Risan (sungai kecil) dan Orang Sungai.

Untuk mencari nafkah, Orang Rawang terbiasa menangkap ikan, seperti gabus, toman, dan betok, di habitat gambut. Mereka juga mengumpulkan hasil hutan kayu serta nonkayu, termasuk buah-buahan, aren, madu hutan, purun (sejenis rumput untuk anyaman), dan tanaman obat. Saat terjadi kemarau panjang, mereka berladang padi dengan sistem sonor (pertanian tadah hujan).

Kehidupan Orang Rawang diatur adat istiadat yang telah berlaku secara turun-temurun. Mereka memandang lahan gambut sebagai bagian dari lautan yang dapat diakses dan dimanfaatkan bersama.

Sistem pengelolaan sumber daya alam ini mencerminkan hubungan erat Orang Rawang dengan lingkungannya, serta menjamin keberlanjutan ekosistem rawa gambut.

Puluhan Tahun Terjepit

Kehidupan Orang Rawang telah lama terancam. Mereka terus mengalami gempuran seiring dengan masuknya berbagai program pembangunan dan konsesi sejak era awal pemberian konsesi hak pengusahaan hutan (HPH) di sebelah utara permukiman pada 1980-an.

HPH mengubah lanskap ekologi dan sosial di kawasan gambut, khususnya di Sumatera Selatan. Rawa-rawa mengering akibat pembuatan kanal. Sumber-sumber kehidupan, seperti pohon buah, sarang madu, dan ikan, menjadi hilang.

Awalnya, keberadaan pemegang konsesi HPH seakan-akan menjanjikan perbaikan perekonomian warga. Nyatanya, konsesi justru menurunkan hasil tangkapan ikan akibat habitatnya terganggu.

Masuknya perkebunan kelapa sawit pada 2004-2005 yang hadir setelah hutan terbabat makin mempersempit ruang gerak Orang Rawang. Perkebunan sawit menduduki sekitar 1.100 hektare kawasan komunal warga yang telah dikelola secara turun-temurun. Menurut masyarakat, konsesi sawit tidak hanya mengurangi area pencarian ikan, tapi juga menyebabkan pencemaran air akibat penggunaan pupuk kimia.

Sekitar sepuluh tahun berselang, korporasi sawit meninggalkan kawasan Orang Rawang. Sebagai gantinya, pemerintah menerapkan program cetak sawah sebagai upaya pemulihan perekonomian kawasan eks perkebunan sawit. Namun upaya ini tidak memberikan manfaat signifikan bagi Orang Rawang.

Selain konsesi lahan, penetapan kawasan konservasi Cagar Alam Sebokor di sebelah utara Desa Perigi membatasi akses Orang Rawang terhadap sumber daya hutan yang selama ini menjadi tumpuan hidup mereka. Mereka akan dihukum jika kedapatan masuk dan mengambil hasil hutan di kawasan tersebut.

Pada 2016, pemerintah berupaya memulihkan kawasan gambut yang rusak. Sayangnya, berdasarkan observasi saya, program restorasi gambut kebanyakan dikuasai oleh Orang Risan dan Orang Sungai yang merupakan kelompok mayoritas serta dominan di sekitar dua desa.

Dampak Pendudukan

Penelitian saya di dua desa tersebut memperlihatkan berbagai pendudukan sangat terasa dampaknya bagi Orang Rawang. Pendapatan mereka, misalnya, menurun drastis—dari sekitar Rp 700 ribu per hari dari menangkap ikan sebanyak 50 kilogram (jika hasil tangkapan mereka diuangkan dengan nilai saat ini), kini hanya tersisa beberapa orang yang masih rutin menangkap ikan dengan hasil maksimal 3-4 kilogram per hari (Rp 75-100 ribu).

Selain mengalami penurunan pendapatan, akses masyarakat terhadap sumber daya makin terbatas. Pasalnya, kawasan gambut yang merupakan wilayah komunal mereka berubah menjadi kawasan konservasi dan konsesi. Ini juga termasuk kerugian lingkungan masyarakat akibat deforestasi, degradasi habitat ikan, dan pencemaran air.

Orang Rawang juga mengalami perubahan sistem kemasyarakatan dari paguyuban menjadi transaksional. Masyarakat yang dulu hidup dalam bingkai berkelanjutan dan mencari nafkah secara subsisten (untuk kebutuhan sehari-hari) saat ini lebih responsif terhadap pasar. Mereka juga harus menghadapi sengketa soal klaim lahan dengan perusahaan pengelola hutan tanaman industri dan perkebunan sawit.

Badan Restorasi Gambut sebenarnya berusaha mengenalkan mata pencaharian di dua desa, seperti sistem perikanan keramba dan pengembangan kerajinan purun. Sayangnya, program tersebut belum mampu mengkompensasi hilangnya sumber penghidupan tradisional Orang Rawang dan rasa bangga meneruskan tradisi nenek moyang mereka.

Program-program ini cenderung menguntungkan Orang Risan dan Orang Sungai yang memiliki keterampilan, akses modal, dan pasar yang lebih baik. Orang Rawang di dua desa tersebut tidak memiliki aset seperti lahan mineral. Model produksi mereka juga masih di tahap "memungut" ikan, madu, dan sebagainya.

Melibatkan Orang Rawang

Indonesia perlu memperhatikan kelangsungan kehidupan Orang Rawang sekaligus kelestarian ekosistem gambut, dengan pendekatan pembangunan yang lebih inklusif dan memperhatikan kearifan lokal.

Dengan pendekatan yang tepat, Orang Rawang dapat mempertahankan identitas budaya mereka sekaligus meningkatkan kesejahteraan tanpa mengorbankan kelestarian ekosistem gambut.

Caranya, pemerintah dapat mengakui hak-hak adat Orang Rawang atas wilayah kelola mereka di ekosistem gambut, juga melibatkan mereka secara aktif dalam perencanaan dan implementasi program pembangunan di wilayah mereka.

Langkah selanjutnya adalah dokumentasi dan penyelarasan pengetahuan lokal dalam kebijakan pengelolaan lahan gambut nasional ataupun daerah. 

Berbagai program pemberdayaan ekonomi yang sesuai dengan karakteristik dan kebutuhan Orang Rawang, seperti ekowisata berbasis masyarakat atau produk hasil hutan nonkayu, juga perlu digalakkan pemerintah.

Dengan begitu, upaya pemerintah memulihkan lahan gambut yang rusak akan tetap melibatkan kearifan lokal dan partisipasi aktif Orang Rawang sebagai subyek utamanya.

Masuk untuk melanjutkan baca artikel iniBaca artikel ini secara gratis dengan masuk ke akun Tempo ID Anda.
  • Akses gratis ke artikel Freemium
  • Fitur dengarkan audio artikel
  • Fitur simpan artikel
  • Nawala harian Tempo

Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation Indonesia.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus