Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Letusan gunung berapi bisa menurunkan atau menaikkan suhu secara global. Menurut peneliti dan ahli gunung api atau volkanolog dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Mirzam Abdurrachman, setidaknya ada tiga faktor dari erupsi yang terkait gas khusus hingga dapat mempengaruhi temperatur bumi dalam kurun waktu tertentu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mirzam mengatakan letusan gunung api mengeluarkan material abu vulkanis dari erupsi eksplosif, ada lava dari letusan efusif, dan material yang bercampur air bisa menjadi lahar. Selain itu keluar juga gas atau aerosol.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Erupsi gunung api yang banyak memuntahkan gas SO2 (sulfida atau sulfur dioksida) bisa menurunkan suhu dunia atau global cooling. “Kalau yang dikeluarkan gas CO2 (karbondioksida) maka yang terjadi dampaknya adalah global warming,” katanya kepada Tempo, Selasa 26 November 2024.
Dia mencontohkan letusan Gunung Pinatubo di Filipina pada 1991 yang menurunkan suhu global kurang dari 0,5 derajat Celcius selama kurun waktu setahun lebih. Sementara letusan dahsyat Gunung Tambora di Nusa Tenggara Barat pada 1815 sanggup mengurangi suhu di bumi hingga hampir 2 derajat Celcius hingga beberapa tahun.
Menurutnya, ada tiga faktor letusan gunung api bisa menurunkan suhu bumi. “Tonase gas SO2 besar, sumber gasnya ada di bawah gunung, dan kolom letusannya tinggi,” ujarnya. Mirzam mencontohkan letusan Gunung Tambora yang menyemburkan gas SO2 sebanyak 60-80 megaton atau juta ton dengan ketinggian kolom erupsi hingga 40-an kilometer.
Sementara letusan belakangan ini dari Gunung Lewotobi Laki-laki di Flores, Nusa Tenggara Timur, berdasarkan data yang diperolehnya masih sangat jauh dari erupsi Gunung Tambora untuk menurunkan suhu dunia. Gunung Lewotobi, menurut Mirzam, intensitas letusannya belakangan ini mereda.
Erupsi Gunung Lewotobi tercatat secara resmi sejak 1861, kemudian 1865, 1868, 1907, dan 1914. Setelah istirahat panjang, gunung itu kembali aktif pada 1932, 1939, dan 1940, 2002, dan 2024. Menurutnya di laman ITB, interval yang lebih panjang di antara letusan menandakan akumulasi energi yang lebih besar dalam gunung.
Secara geologis, Gunung Lewotobi yang terletak di atas kerak samudera biasanya menghasilkan letusan efusif dengan lava mengalir tenang. Namun, kata Mirzam, letusan kali ini mengejutkan para ahli dengan karakter eksplosif yang memunculkan abu vulkanis secara menerus. Penyebabnya karena perubahan komposisi magma, dari basaltik yang cair menjadi andesitik yang kental dengan kandungan silika (SiO2) tinggi.