KINI apotek juga masuk desa. Gagasan yang dicoba lewat KUD ini, dan dipraktekkan di Kecamatan Panggang, Kabupaten Gunung Kidul, Yogya, ternyata menunjukkan tanda-tanda keberhasilan. Buktinya: kredit yang semula direncanakan akan diberikan selama dua tahun, ternyata dalam tempo delapan bulan, sejak Maret lalu, KUD ini telah mampu membeli obat dengan kekuatan keuangan sendiri. Lebih dari itu, penduduk pun bersemangat menyambutnya. "Kami tak perlu lagi jauh-jauh ke kota untuk membeli obat," kata Nyonya Sudarmiyati, ibu dua anak. Meski jarak Yogya-Kecamatan Panggang hanya 30 km, desa ini tergolong terisolir. Ia jarang dilewati kendaraan umum. Dan jarak yang tak panjang itu haruslah ditempuh tiga jam untuk sampai ke Yogya. Akibatnya, bila kebetulan persediaan obat di puskesmas habis, "Keluarga yang sakit terpaksa menanti berjam-jam," kata Nyonya Wiarmaya. Kecuali itu, membeli obat di apotek kota harganya menjadi jauh lebih mahal bagi penduduk kawasan miskin ini. Antara lain, karena alasan-alasan itulah, pihak KUD Handayani lantas merintis kerja sama dengan puskesmas setempat dan RS Bethesda, Yogya. RS ini memang giat melaksanakan program: Mengembangkan kesehatan masyarakat dengan titik tolak kemampuan masyarakat itu sendiri. Telah 50 desa yang digarap RS Bethesda, dan kini giliran Kecamatan Panggang. Dengan penduduk hampir 9 ribu kepala keluarga, di kawasan pegunungan kapur yang tandus gersang itu, kata dr. Sumartono, dokter puskesmas Panggang, penyakit yang paling banyak diidap para penduduk adalah "pusing-pusing, pilek, batuk, dan juga gatal-gatal." Sehingga tidak mengherankan jika obat-obatan semacam itulah yang tersedia di kios KUD Handayani . Memang adalah kebutuhan masyarakat di daerah terpencil itu sendiri untuk mendapat pelayanan kesehatan yang cepat lagi murah. Seperti kata F.X. Sugito, manajer KUD Handayani, "Kami melihat di toko-toko banyak dijual obat-obatan yang tidak pakai resep dokter." Oleh Community Development/Usaha Peningkatan Kesehatan Masyarakat (CD/UPKM) RS Bethesda, Yogyakarta, keinginan tadi diwujudkan dengan pemberian kredit obat beserta peralatannya, yang kesemuanya bernilai Rp 150.000. Menurut Sugito, kredit tanpa bunga itu sendiri baru akan diangsur mulai Agustus tahun depan. Selain menyediakan bantuan modal, bekerja sama dengan puskesmas Panggang, CD/UPKM menatar para petugas KUD yang nantinya akan melayani para penderita. Penataran seminggu itu, antara lain, meliputi pengelolaan obat, pembuatan puyer, dan pencatatan pengeluaran obat-obatan tersebut. Karena itu, KUD Handayani berani menjanjikan ladenan memuaskan kepada konsumennya. "Tengah malam sekalipun kami bersedia melayani," kata Sugito. Kepada setiap pembeli obat, kata Nyonya Nyoman Wiarmaya, 22, penduduk Desa Giriharjo, "petugas KUD selalu memberi pengarahan tata cara pemakaian obat, dan mengingatkannya, kalau dalam jangka tiga hari penyakitnya tidak sembuh, agar segera membawa ke puskesmas." Yang pasti, Sugito sendiri menjamin bahwa harga jual obat di kiosnya jauh lebih murah ketimbang di mana pun. Jika sebutir tablet di pasaran berharga Rp 25, maka kios KUD Handayani berani memasang tarif Rp. 5 lebih rendah. Menurut catatan, setiap minggu sedikitnya lima orang datang ke kios itu untuk membeli obat. Dari penjualan obat-obatan tersebut, KUD Handayani mengantungi Rp. 3.000 per minggu - penghasilan yang besar untuk daerah yang penduduknya miskin dan berpendidikan rendah itu. Dengan penghasilan itu, Sugito optimistis bahwa angsuran kredit obat bisa dilunasi lebih cepat dari waktunya. Buat RS Bethesda, satu-satunya RS kini yang mempunyai fasilitas bank, upaya memberikan pendidikan kesehatan kepada masyarakat desa tidak cuma berhenti di situ. Menurut Drg. Paulus Hidayat Santosa, Direktur CD/UPKM, sejak 1974, mereka sudah memberikan penyuluhan kesehatan kepada 50 desa. Selain itu, lembaga tersebut mencoba cara lain, yakni dengan membentuk kader kesehatan di setiap desa. Di Kecamatan Panggang ini, misalnya, mereka telah berhasil mendidik satu kader kesehatan di tujuh desa. Fungsi mereka, seperti kata M. Manggo dari CD/UPKM RS Bethesda, adalah melayani kesehatan masyarakat, dan menyediakan obat-obatan tertentu. Bentuk lain dalam peningkatan pelayanan kesehatan masyarakat adalah seperti yang diakukan di Pedukuhan Ngepoh, Kecamatan Tepus, Gunung Kidul. Hanya dengan modal iuran Rp 25 per bulan, mereka membangun sebuah Pos Kesehatan Desa (PKD), dan memberikan pelayanan kesehatan di desa itu secara cuma-cuma. James R Lapian Laporan Yuyuk Sugarman & Aries Margono (Yogyakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini