Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Owa-owa yang tersisa di tanah jawa

Seekor owa-owa ditangkap di lereng gunung slamet, jawa tengah. owa-owa sudah sangat langka, hanya tersisa di hutan lindung gunung gede-pangrango, jawa barat. owa-owa yang tertangkap akan dipulangkan.

15 Desember 1990 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MUNGKIN hari itu memang hari nahas buat mereka. Biasanya melancong ke hutan pinus dan meninggalkan tempat tinggal mereka di lereng timur Gunung Slamet, Kabupaten Banjarnegara~ Jawa Tengah, aman-aman saja. Namun, hari itu, rupanya sepak terjang sekawanan owa-owa Jawa tersebut di perhatikan oleh sekumpulan penduduk yang mendiami pinggiran hutan pinus milik Perhutani Jawa Tengah itu. Lantas, terjadilah penyerbuan itu. Seekor di antara owa-owa Jawa (Hylobatides moloch) itu tertangkap. Untung, kasus penangkapan satwa ini cepat didengar oleh Tarsilan, Kepala Kantor Konservasi Sumber Daya Alam (KSDA) Banjarnegara. Owa-owa remaja itu kemudian diamankannya. "Dia masuk binatang langka yang harus dilindungi," ujar Tarsilan. Maka, sejak tiga pekan lalu, owa-owa itu mendekam dalam sebuah kerangkeng bambu 2 X 2,5 m. Dan bagi drh. Linus Simanjuntak, Kepala Kebun Binatang Ragunan Jakarta, penemuan owa-owa Jawa ini merupakan hal yang patut disyukuri. Sebab, tadinya, primat khas Pulau Jawa itu dianggap telah punah dari hutan-hutan Ja-Teng dan Ja-Tim. Selama ini, kata Linus, Hylobatides moloch hanya tersisa di hutan lindung Gunung Gede-Pangrango dan hutan-hutan di kawasan Sukabumi, Jawa Barat. Maka "Sungguh mengejutkan, kalau mereka ternyata masih bisa bertahan di kawasan Gunung Slamet," ia menambahkan. Owa-owa termasuk dalam famili Hybo~tideae. Bila ditinjau dari segi kemiripannya den~gan anatomi manusia, kelompok owa-owa menempati urutan kedua, setelah kelompok orangutan (mawas) yang asli dari Kalimantan, gorila dan simpanse - keduanya hanya ada di Afrika. Owa-owa, seperti halnya mawas, gorila, ata~u simpanse, tak memiliki ekor. Hutan-hutan diketahui Indonesia menyimpan lima dari tujuh spesie~s owa-owa yang ada di Indonesia. Empat di antaranya ada di Sumatera dan Kalimantan, dan satu di Jawa. Perbedaan mereka terutama pada warna bulunya. Hanya saja, tubuh owa-owa Nia~s lebih kerdil dibandingkan dengan yang lain. Owa-owa Jawa, seperti yang ditangkap di lereng Gunung Slamet itu, punya bulu tebal dan panjang, berwarna abu-abu keperakan di ba~gian kepala, pun~ggun~g, tan~gan, dan kaki. Tapi, di sekitar muka dan perut, warna bulu agak keputihan. Mata bulat besar dan moncongnya hitam legam. Pada usia dewasa, setelah 6-7 tahun, tinggi badan owa-owa mencapai 90 cm dengan berat badan sekitar 15 kg. Di kalangan primat hutan, owa-owa dikenal sebagai raja akrobat. Mereka sangat lincah, bahkan mampu bersalto sambil menangkap serangga yang sedang terbang. Lantas, satu tangan yang lain cepat menangkap ranting di dekatnya, agar tubuhnya tak terbanting di tanah. Mereka juga sanggup meniti ranting kecil dengan kedua kakinya -- hal yang tak mungkin dilakukan oleh primat hutan lainnya. Kekaguman atas kelincahan owa-owa ini pernah ditulis oleh seorang ahli biologi Inggris, William Charles Martin, yang pernah berekspedisi di hutan-hutan Indonesia, lebih dari 150 tahun lalu. "Hampir mustahil untuk melukiskan dengan kata, betapa lincah dan anggunnya gerakan owa-owa. Dia seperti hanya cukup menyentuh dahan untuk melakukan lompatan berikutnya," begitu laporannya. Namun, primat hutan itu kini sudah sangat langka, terlebih owa-owa Jawa. "Karena desakan paling hebat atas habitatnya terjadi di Pulau Jawa," kata Linus Simanjuntak. Di lain pihak, owa-owa bukan temasuk hewan yang mudah berbiak. Karena sepanjang hidupnya yang sekitar 15 tahun, betina owa-owa hanya 3-4 kali melahirkan, dan hanya satu bayi pada setiap kelahiran itu. Menyadari kelangkaannya, owa-owa muda (tingginya 60 cm) ya~ng ditangkap di lereng Gunung Slamet itu akan dikembalikan ke "kampung" asalnya, sebuah hutan lindung seluas 3.000 ha, yang berketinggian 600-1.000 m dari permukaan laut. Di hutan primer itu, konon, ada sekitar 20 ekor owa-owa lainnya. Namun, agaknya, ada keraguan untuk melepasnya begitu saja. "Dia masih terlalu muda. Kami khawatir dia tak mampu bertahan di hutan," ujar Ir. Jicky Soeprajitno, Asisten Perhutani wilayah Banjarnegara, yang kini merawat owa-owa itu di rumahnya. Memang, dalam soal makanan, di hutan lindung itu tersedia aneka buah-buahan dan daun-daunan yang menjadi santapan satwa itu. Namun, konon, ada pula musuhnya di situ: macan tutul. Di hutan lindung itu terdapat pula kucing hutan, lutung, babi hutan, kijang, dan monyet.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus