MANA yang lebih penting, burung walet atau manusia? Pertanyaan pelik ini tengah dicari jawabnya di Kebumen, Jawa Tengah. Di daerah berbukit kapur itu kini sedang disiapkan pembangunan industri semen. Pihak investor, PT Semen Gombong, menyediakan dana Rp 400 miliar untuk memproduksi semen 1,5 juta ton per tahun. Inilah proyek harapan Pemerintah Daerah Jawa Tengah, yang diperkirakan bisa menjadi terobosan bagi kerawanan ekonomi daerah itu. Sebaliknya, Departemen Pariwisata, Pos dan Telekomunikasi serta Departemen Lingkungan Hidup sangat tidak menyetujui rencana tersebut. Keberatan itu tercermin antara lain dalam surat Menteri KLH dan Parpostel yang dilayangkan Maret lalu. Surat itu pada intinya mempermasalahkan pembangunan pabrik semen yang mengancam kelestarian kawasan Karangbolong. Seperti diketahui, kawasan ini dilindungi Undang-Undang tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Kalau nanti di sana berdiri pabrik semen, objek wisata berupa gua-gua dengan stalaktit dan stalakmitnya yang berusia jutaan tahun dikhawatirkan bisa terancam. Begitu pula habitat burung walet dan sumber air bersih. Tapi Gubernur Jawa Tengah H.M. Ismail keberatan jika proyek yang telah mulai disurvei sejak 1990 itu dihentikan. ''Lebih penting mana antara kelestarian alam dan kesejahteraan masyarakat? Yang tahu kondisi daerah di Jawa Tengah kan saya,'' kata Ismail seperti dikutip harian Republika. Namun surat dari dua menteri tak urung merepotkan aparat daerah. Gubernur Ismail, yang masa jabatannya berakhir Agustus nanti, Rabu pekan lalu mengumpulkan para bupati yang wilayahnya akan kebagian pabrik semen. Hasil pertemuan itu belum jelas, namun Gubernur tampaknya keberatan jika proyek itu dibatalkan. ''Kami tetap memberi peluang kepada para investor untuk melanjutkan rencananya. Sebagai administratur tunggal, kami kurang yakin jika pabrik semen tersebut akan merusak lingkungan dan objek wisata,'' tandas Ismail kepada Bandelan Amarudin dari TEMPO. Saat ini pabrik yang paling maju tahap pembangunannya adalah PT Semen Gombong. Studi kelayakannya sudah rampung, dan kini telah mulai mengeksplorasi. ''Pemda sangat antusias karena proyek ini diharapkan bisa memacu pertumbuhan daerah Kebumen, yang dinilai paling stagnant di Jawa Tengah. Tenaga kerja yang akan terserap 300 sampai 400 orang, '' kata Hitler Singawinata, Presiden Direktur PT Semen Gombong. Gombong Selatan memang merupakan kawasan yang kaya akan bahan baku pembuat semen. Kawasan ini juga memiliki gua-gua tempat terdapat sumber air. Menurut penelitian PPLH (Pusat Studi Lingkungan Hidup) UGM pada 1986, gua ini menjadi sumber air satu-satunya bagi kawasan Gombong Selatan. ''Kalau daerah ini dieksploitasi untuk bahan baku industri semen, maka akan merusak gua-gua yang ada dan akhirnya mengancam sumber air,'' kata Djalal Tanjung, peneliti senior di PPLH-UGM. Namun, menurut penelitian pihak pabrik semen yang setiap tahun butuh 1,6 juta ton batu gamping eksploitasi ini tak akan membahayakan sumber air bersih. ''Dengan tracer test, kami bisa tahu sumber-sumber air itu berhubungan ke mana saja,'' dalih Hitler. Lewat tes itu diketahui bahwa Kecamatan Buayan lokasi yang diambil Semen Gombong tidak mempunyai hubungan hidrolik dengan Kecamatan Ayah daerah yang selama ini dijadikan objek wisata. Menurut Hitler, penelitian PPLH memperlihatkan bahwa hanya Kecamatan Ayah saja yang merupakan daerah konservasi dan pariwisata. Ini berarti wilayah lain di luar itu layak dieksploitasi. Fungsi gua sebagai alat keseimbangan geologi tempat berjuta kelelawar dan walet tinggal juga tak akan diusik. ''Habitat walet itu ada di pantai Karangbolong, belasan kilometer dari lokasi pabrik semen, '' lanjut Hitler. Lagi pula burung pemakan hama ini radius jelajahnya hanya empat kilometer. Sehingga, menurut perhitungannya, debu yang beterbangan dari tambang dan pabrik tak akan melewati habitat walet. Masih ada alasan lain. Pabrik semen itu terletak 50 meter di atas permukaan laut. Antara pabrik dan habitat walet ada perbukitan yang titik tertingginya mencapai 350 meter. ''Debu kami tak akan mengganggu walet-walet itu,'' Hitler meyakinkan. Berbagai hasil penelitian ini telah diajukan dalam sebuah seminar yang diadakan tahun lalu. Ternyata hasil penelitian tak bisa diterima oleh Bambang Prabowo, Deputi II Bapedal (Badan Pengendalian Dampak Lingkungan). Alasan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, misalnya. ''Kami, sebagai orang yang tahu mengenai proyek, meragukan proyek itu akan langsung menyentuh daerah. Berapa banyak tenaga kerja yang siap pakai? Petani-petani itu belum tentu siap pakai,'' ujarnya. Yang jelas, penduduk malah harus siap-siap untuk digusur. Menurut Umaryono, Kepala Desa Banyumudal, pabrik semen Gombong akan mengambil wilayah di lima desa. Dari desanya saja akan dipindahkan 49 kepala keluarga. Pada areal itu akan ditambang bahan baku semen yang terdiri dari batu kapur, pasir kwarsa, pasir besi, dan tanah liat. Untuk tahap pertama lokasi penggalian adalah daerah Sikayu, yang konon bisa mencukupi kebutuhan pabrik selama 100 tahun. Bambang Prabowo mengkhawatirkan dampak pabrik itu terhadap gua- gua, yang kontribusinya tidak kecil terhadap kas daerah. Gua- gua, yang merupakan objek wisata di Karangbolong, mampu menyumbang sektor pariwisata sebesar Rp 350 juta per tahun. Sebagai wilayah yang dikonservasi, kawasan ini juga amat berguna bagi pendidikan dan penelitian. ''Sampai saat ini dukungan Amdal (Analisa Dampak Lingkungan) belum muncul juga, '' ujar Bambang, menyuarakan sikap Bapedal. Anehnya, tanpa Amdal, perusahaan itu telah mengantongi SIPD (Surat Izin Penambangan Daerah), yang dikeluarkan Departemen Pertambangan dan Energi Jawa Tengah. ''Ini salah. Mestinya SIPD baru muncul setelah Amdal-nya disetujui. Jadi, eksplorasi itu tidak boleh dilakukan tanpa dokumen Amdal,'' tandas Bambang. Kesimpangsiuran semacam itulah yang membuat Emil Salim menulis surat, beberapa minggu sebelum ia meninggalkan posnya sebagai Menteri KLH. ''Mestinya surat seperti itu dijadikan peringatan agar para investor tak perlu buang-buang ongkos lebih besar untuk meneruskan usahanya,'' kata Bambang. Pihak Semen Gombong ternyata tak menghiraukan lampu kuning yang dinyalakan Emil. ''Program akan kami jalankan seperti biasa, '' kata Hitler. Pengusaha yang didukung oleh Pemerintah Daerah ini cenderung tidak menggubris imbauan Emil. Apakah menteri yang baru akan terus menyorotkan lampu kuning ke arah Hitler? ''Saya belum dilapori soal ini,'' cetus Menteri Negara KLH Sarwono Kusumaatmaja. ''Beri saya kesempatan untuk memeriksa dokumennya,'' ia menambahkan seraya bergegas pergi. G.Sugrahetty Dyan K, R. Fadjri, dan Faried Cahyono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini