Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Pakar: Kasus Gigitan Ular Per Tahun Lebih Banyak dari Antibisa

Perbandingan antara kebutuhan anticenom dan kasus gigitan ular berbisa cukup jauh.

25 Desember 2019 | 00.05 WIB

Penggemar ular dari komunitas DPO mencoba menghindari gigitan seekor ular berbisa di Cibeunying Park, Bandung, Jawa Barat, 16 November 2014. Atraksi ini menjadi hiburan sekaligus edukasi tentang penanganan terhadap ular berbisa. TEMPO/Prima Mulia
Perbesar
Penggemar ular dari komunitas DPO mencoba menghindari gigitan seekor ular berbisa di Cibeunying Park, Bandung, Jawa Barat, 16 November 2014. Atraksi ini menjadi hiburan sekaligus edukasi tentang penanganan terhadap ular berbisa. TEMPO/Prima Mulia

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

TEMPO.CO, Jakarta - Pakar gigitan ular berbisa Tri Maharani menjelaskan bahwa tahun ini terjadi 135 ribu kasus gigitan ular berbisa. Namun produksi antibisa atau anticenom di Indonesia hanya 40 ribu per tahun.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

“Anticenom ada 40 ribu per tahun, kalau inciden atau kasus 135 ribu per tahun. Sedangkan ular berbisa ada 77 jenis, kalau jumlah ular kobra tentu saja banyak sekali,” ujar Tri kepada Tempo melalui WhatsApp, Selasa, 24 Desember 2019.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

Baru-baru ini masyarakat dikejutkan dengan munculnya puluhan anak ular kobra di pemukiman warga di beberapa lokasi seperti Depok, Bogor, Bekasi dan Jakarta. Temuan itu membuat masyarakat di wilayah tersebut resah.

Perbandingan antara kebutuhan anticenom dan kasus gigitan ular berbisa cukup jauh. Artinya, kata Tri, yang merupakan satu-satunya dokter Indonesia yang mendalami ilmu tentang snakebite (gigitan ular) dan toksikologi, bisa menjadi tolak ukur keseriusan pemerintah dalam menangani kasus gigitan ular. Ditambah lagi, antivenom juga tidak tersedia di semua rumah sakit di Indonesia.

“Ya memang tidak semua rumah sakit ada, tapi menurut saya yang penting adalah first aid yang benar dan tindakan darurat yang benar, ABC baru. Kalau sistemik dengan pemeriksaan fisik tanda gejala dan laboratorium yang sistemik baru dapat antivenom,” kata Tri.

Antivenom dibutuhkan bagi korban gigitan ular yang sudah mengalami abnormalitas, hematitoxin, neurotixin, cardiotoxin, dan sebagainya. “Misalnya trombositopeni sampai 3.000 hb bisa sangat rendah atau bradikardi dan juga respiratory failure, sampai terjadi rabdomiloisis atau hematuria,” tutur Tri.

Sementara dari segi ciri-ciri fisik, korban gigitan ular yang sudah mengalami abnormalitas memiliki ciri-ciri fisik seperti mimisan, kencing darah, muntah darah, air mata darah, ptosis atau turunnya kelopak mata bagian atas sehingga tidak dapat membuka mata sepenuhnya dan juga sesak napas. “Antivenom biosave menurut Biofarma harganya sekarang Rp 770 ribu pervial dan inisial dose-nya 2 vial,” ujar Tri.

Erwin Prima

Erwin Prima

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus