Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Para pengamat ekonomi dan energi menilai komitmen pendanaan iklim dari Conference of the Parties 29 (COP29) dapat dimanfaatkan oleh negara berkembang untuk mengembangkan berbagai program. Nilai pembiayaan yang disepakati di Baku, Azerbaijan, tersebut mencapai US$ 300 miliar per tahun, naik tiga kali lipat dibanding hasil COP15 pada 2009.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Direktur Eksekutif Center for Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira Adhinegara, mengatakan pembiayaan iklim sebaiknya digunakan Indonesia untuk membuka ruang pendanaan transisi energi yang lebih progresif. Langkah ini dianggap lebih konkret daripada skema kesepakatan dalam Kemitraan Transisi Energi Berkeadilan alias Just Energy Transition Partnership (JETP).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pembiayaan melalui JETP, kata Bhima, cenderung berupa utang yang justru dikhawatirkan menjadi beban fiskal bagi Indonesia. “Pemanfaatan dana publik dari negara maju berbentuk hibah yang lebih besar, dan opsi penghapusan utang, penting untuk memberikan ruang fiskal bagi percepatan transisi energi,” katanya dalam keterangan tertulis, Senin, 25 November 2024.
Pendanaan iklim bisa dimanfaatkan untuk program pensiun dini pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) yang terhambat oleh anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN). Dana itu juga bisa untuk memenuhi kebutuhan keuangan PT PLN (Persero) melalui mekanisme debt swap atau debt cancellation.
Pendanaan yang berbentuk hibah juga bisa dimanfaatkan untuk mengembangkan proyek-proyek pembangkit listrik berbasis surya, mikro hidro, angin, transmisi, serta baterai penyimpanan. Langkah ini bakal selaras dengan kesepakatan COP29 yang ditujukan untuk mengurangi konsumsi bahan bakar fosil.
Bhima meminta pemerintah menjamin bahwa pendanaan yang disepakati dalam COP29 bukan sekedar program lama yang diklaim sebagai program baru. Setiap pendanaan diharapkan tetap transparan, terutama dalam proses realisasinya. “Bukan sekadar komitmen semata,” ucap Bhima.
Managing Director Energy Shift Institute (ESI), Christina Ng, mengatakan negara-negara berkembang sangat membutuhkan dukungan finansial, termasuk dari New Collective Quantified Goal (NCQG). Namun, dana itu harus disertai dengan reformasi sistem, rencana ekonomi hijau yang konkrit, serta iklim investasi yang lebih baik.
“Negara maju juga harus bertanggung jawab atas peran mereka dalam krisis iklim, dengan memberikan lebih banyak pinjaman lunak,” tutur Christina.
Direktur Eksekutif CERAH, Agung Budiono, mengatakan masyarakat harus memantau porsi hibah dan utang yang ada di dalam NCQG. Distribusi pembiayaan iklim itu menjadi celah masuknya utang. “Jika lebih banyak berbentuk utang, malah akan mempersulit negara-negara berkembang,” ucap Agung.