Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Petaka di Balik Kebun Kopi

Bencana tanah longsor dan air bah di Jawa diperkirakan akan sering terjadi. Pemicunya, luas hutan yang kini menyusut, punggung bukit jadi ladang perkebunan.

9 Januari 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DERU helikopter menyapa pagi di atas Gunung Hyang Argopuro. Dari ketinggian pesawat itu, dua lelaki menyaksikan punggung gunung yang mengelupas dan tertutup sisa lumpur. Bangkai rumah dan puing kayu berserakan sehabis terseret lumpur.

Memang, kiamat kecil baru saja singgah di sana. Air bah menghantam kampung-kampung di Kecamatan Panti, Jember, Jawa Timur, pekan lalu. Pemandangan yang mengiris perasaan dua lelaki itu, yaitu Menteri Kehutanan M.S. Ka’ban dan Menteri Negara Lingkungan Hidup Rachmat Witoelar.

Dua menteri itu kemudian meminta helikopter berputar-putar di langit Argopuro. Mata kedua menteri ini tertuju ke pepohonan hijau di punggung gunung yang selamat dari banjir. Sesekali tangan mereka menunjuk ke arah tanah terjal di daerah sekitar lokasi bencana tanah longsor itu. Ada banyak pohon, tapi umumnya pendek-pendek. Ada hamparan pohon kopi, bahkan juga jagung. ”Itu tak seharusnya tumbuh di kemiringan seperti itu,” kata Rachmat Witoelar bercerita kepada Tempo setelah kunjungan ke Jember.

Punggung bukit dengan tanaman semusim, berakar pendek, dan tak bisa menahan air itulah yang mengganggu pikiran Rachmat dan Ka’ban. Sepanjang perjalanan dari Jakarta ke Surabaya, dari atas pesawat, banyak pemandangan seperti itu. ”Itu mengkhawatirkan,” ujar Ka’ban. Menurut alumni Institut Pertanian Bogor itu, bukit dan gunung seperti itu akan menjadi bom waktu pemicu datangnya longsor dan banjir. Petaka di Jember membuktikan itu.

Semestinya, kata Ka’ban dan Rachmat, di daerah dengan kemiringan tanah lebih dari 40 persen atau di ketinggian 2.000 meter di atas muka laut, ”haram” ditanam pohon pendek atau semusim seperti kopi, jagung, dan kentang. Apalagi bila itu adalah daerah aliran sungai yang mestinya menjadi kawasan lindung.

Tapi itulah yang terjadi di lingkungan pegunungan di Jawa. ”Lihatlah Dieng (Wonosobo, Jawa Tengah) dengan ladang-ladang kentangnya. Lihatlah Puncak (Bogor) dengan sayurannya,” kata Ka’ban. Luas hutan di Jawa terus mengerut beralih rupa menjadi kebun kopi, ladang jagung atau sayuran. Saat ini, menurut Ka’ban, luas hutan tinggal 13 juta hektare. Jumlah itu cuma 12 persen dari total luas Pulau Jawa. Luas itu menyalahi Keputusan Menteri Kehutanan Tahun 1999. Di beleid itu disebutkan luas hutan harus mencapai 30 persen.

Berkurangnya hutan di Jawa itu adalah soal pelik bagi pemerintah. Populasi penduduk meledak dan pemerintah tak berkutik ketika rakyat miskin kemudian merambah hutan. ”Mereka itu butuh makan. Jadi, cenderung menanam pohon yang cepat menghasilkan dan bukan sengon yang butuh waktu lima tahun,” kata Ka’ban. Hutan lindung berganti rupa jadi hutan produksi, dan akhirnya menjadi ladang.

Sedikit mengurutkan persolan, mengubah fungsi hutan lindung menjadi rimba produksi sebenarnya bukan perkara mudah. Menteri Kehutanan tak bisa sembarangan menyetujui surat izin. Tetapi, menurut Menteri Negara Lingkungan Hidup, pada masa lalu Departemen Kehutanan kerap tak hati-hati mengkonversi hutan lindung. Setelah terkonversi menjadi hutan produksi, kayu dalam hutan ditebang dan dijual. Lahan produksi itu kemudian halal ditanami tanpa memperhatikan fungsi penyangga longsor. ”Itu membuat kedodoran,” kata Rachmat.

Data lembaga pemerhati lingkungan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi), hutan yang terkonversi terus meningkat. Tahun 2003 total wilayah hutan lindung di Jawa mencapai 1,9 juta hektare. Dalam waktu dua tahun, luas hutan yang tak boleh diutak-utik itu tinggal sekitar 1 juta hektare hutan saja. Menurut Walhi, itu gara-gara Departemen Kehutanan dan Perhutani yang membiarkan alih fungsi seperti tadi terjadi. Selain itu, Perhutani sering menanam jenis pohon yang bisa cepat dijual. ”Banyak pohon yang ditanam tanpa menghiraukan kondisi tanah dan cuaca kawasan yang tepat,” kata Chalid Muhammad, direktur eksekutif lembaga ini.

Di mata Suswono, Wakil Ketua Komisi DPR Bidang Kehutanan, Perhutani selama ini terkesan semata-mata mencari keuntungan demi kebutuhan mencari prestasi di mata direksi. Apalagi DPR telah mengeluarkan anggaran besar untuk reboisasi setiap tahun. ”Tapi tak ada laporan perkembangannya,” kata Suswono.

Perhutani, yang menjadi penanggung jawab lahan hutan di seluruh Pulau Jawa, pun menyangkal. Direktur Utama Perum Perhutani, Transoto Handadhari, mengatakan penggundulan hutan alih fungsi itu di luar tanggung jawabnya. Penebangan liar yang terjadi bertahun-tahun menjadi penyebab berkurangnya lahan di Jawa.

Lalu apa solusinya? Menteri Kehutanan Ka’ban berjanji akan minta Perhutani menjelaskan duduk persoalan dan menata kembali kebijakannya. Sejumlah anggota DPR juga akan meminta pertanggungjawaban Departemen Kehutanan dan Perhutani dalam sidang minggu-minggu mendatang. Sedangkan Menteri Lingkungan Hidup dan Walhi mengusulkan serentetan jurus: dibuat tata ruang baru dan kawasan lindung dikembalikan keadaannya. Selain itu, Rachmat juga meminta Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) dari Perhutani juga diteliti lagi. Masyarakat di sekitar kawasan lindung pun harus direlokasi. ”Jadi, tak ada lagi lereng terjal yang ditanami kentang seperti di lereng Gunung Dieng, dan mimpi buruk itu tak akan jadi kenyataan,” kata Rachmat Witoelar.

Purwanto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus