Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ketika malam turun, bau amis ikan bercampur asin laut itu bersatu dengan angin yang menderu. Langkah kaki lelaki tua itu kemudian terdengar seperti sebuah entakan di telinga si kecil Chiyo (Suzuka Ohgo) dan kakaknya. Malam yang hitam itu kemudian mengubah seluruh hidupnya. Kedua gadis kecil itu dijual dan dikirim ke sebuah okiya, sebuah perumahan geisha nun di kota kecil yang memiliki sebuah hanamachi—kawasan geisha—yang jelita. Di bawah naungan dua perempuan keji yang menyebut dirinya sebagai ”ibu” (Kaori Momoi) dan ”bibik” (Tsai Chin) yang hanya memilih Chiyo untuk menjadi calon geisha di masa depan, sementara kakaknya dikirim ke rumah pelacuran.
Syahdan, ”sekolah” untuk menjadi geisha—yang artinya hampir seumur kehidupan remaja—adalah sebuah pengabdian sepenuh jiwa dan raga. Sebagai seorang maiko atau seorang ”pembantu” geisha senior, Chiyo memenuhi kebutuhan berpakaian, minum, makan, dipayungi, hingga mengelap sandal sang geisha cantik Hatsumono (Gong Li dalam penampilan menawan). Namun, hanya satu kali pandangan yang menyapu seluruh badan si kecil Chiyo, Hatsumono sudah tahu, Chiyo akan tumbuh menjadi rivalnya. Meski kehadirannya masih bercampur bau anyir dari pantai, matanya yang biru itu tampak sejuk dan memancing lelaki untuk berenang di dalamnya. Dan yang selanjutnya, kita kemudian melihat sebuah kisah ”Cinderella” Jepang di mana sang ”kakak tiri” keji memperbudak sang maiko Chiyo yang polos dan cantik itu justru agar dia tak memiliki kesempatan untuk menyainginya. Di antara kisah kekejaman dan kelicikan Hatsumono yang sudah lebih mirip keji ala opera sabun itu, kita kemudian melihat sebuah adegan yang menyentuh: si kecil Chiyo bertemu dengan sang Chairman, seorang lelaki ganteng (diperankan dengan simpatik oleh Ken Watanabe) yang tubuhnya digelantungi beberapa geisha. Sang Chairman mengenali mata Chiyo yang penuh duka. Dan dia kemudian membelikan es krim untuk Chiyo. Es krim dan perhatian itu kemudian membuat Chiyo menentukan cita-cita: dia ingin menjadi geisha agar bisa berdekatan sang Chairman.
Film yang diangkat dari novel karya Arthur Golden ini adalah sebuah tulisan seorang Barat tentang sebuah tradisi yang dimulai di Jepang pada awal tahun 1700-an. Setting novel ini adalah tahun 1920-an hingga 1940-an, sebelum dan saat Perang Dunia II pecah. Golden menulis dengan semangat orang Barat yang memimpikan eksotisme dan—tentu saja—dengan riset pustaka untuk membuat novelnya ”sah”. Mungkin justru dengan pendekatan orientalis itu—Timur sebagaimana yang ingin dilihat orang Barat—maka pandangan, pendekatan, penggarapan, penyutradaraan, hingga casting pun tak bisa lagi kita harapkan sebagai sesuatu yang ”orisinal”. Bukan hanya casting trio Chinese idols Ziyi Zhang, Gong Li, dan Michele Yeoh itu yang membuat film ini terasa sebagai citra rasa Hollywood, tetapi juga isi skenario lengkap dengan dialog (by the way, para tokohnya semua menggunakan bahasa Inggris, lho!) hingga visual itu sudah jelas jauh dari gaya sineas Jepang yang Anda kenal, seperti Ozu atau Kurosawa.
Pendeknya, ini sebuah produk mega-Hollywood dengan pemain Asia dan cerita Asia yang ditulis oleh novelis Barat. Celakanya, kita sudah telanjur merasa dijanjikan oleh judul film ini. Kita sudah yakin film ini adalah sebuah paspor yang mampu membawa ke sebuah dunia misteri.
Namun, ketika kita mendengar seluruh dialog yang berlangsung dalam bahasa Inggris oleh Chiyo dewasa (Ziyi Zhang) dan Gong Li dengan aksen Cina—orang Jepang yang berbahasa Inggris lazimnya memiliki aksen khas yang sulit membedakan huruf ”r” dan ”l”—ini bukan hanya mengganggu tuntutan penonton, tetapi semakin menyadarkan bahwa segala sesuatu dalam film ini, meski sineas dan penata artistik bekerja sekeras mungkin untuk mendekati ”keaslian” kultur geisha, tetap saja terasa Hollywood. Los Angeles, California.
Saat Chiyo kecil diam-diam mengutik-utik barang-barang Hatsumono, kita kemudian melihat Gong Li di belakangnya yang jengkel dan mengeluarkan kalimat yang jauh lebih terdengar seperti kalimat cewek Amerika: ”Well, well, well..., what do we have here….”
Saat Chiyo menanjak remaja dan menjelma menjadi si jelita Chiyo, dia kemudian ”diangkat” oleh ”ibu” Mameha (Michelle Yeoh yang elegan), pimpinan rumah geisha lain yang yakin Chiyo akan menjadi bintang baru yang menerangi distrik mereka. Maka, layar pun penuh dengan visualisasi warna. Mameha kemudian memperkenalkan kepada Chiyo (dan penonton) tentang arti geisha. Seorang artis. Bukan pelacur. Mereka harus mampu bermain berbagai alat musik hamisen, drum, menjahit, memperdalam seni minum teh, dan menari.
”Seorang geisha sejati mampu membuat seorang lelaki terpana hanya dengan satu kerlingannya,” demikian Mameha mendidik Chiyo. Ketika Chiyo mampu membuat seorang lelaki terjungkal di tengah pasar hanya karena satu kerlingannya, pada saat itu pula Chiyo dianggap lulus. Dia ”dinobatkan” menjadi Nitta Sayuri. Dan langkah berikutnya adalah ”perang harga” untuk meraih mizuage alias keperawanan Sayuri. Sang ”ibu” biasanya melakukan trik-trik tertentu agar harga dari setiap lelaki menjadi semakin tinggi, dan dengan harapan nantinya suatu hari lelaki tersebut akan menjadi ”danna” alias lelaki yang menanggung segala kehidupan sang geisha.
Perang harga itu kemudian diselingi dengan tarian akbar di musim semi yang disajikan solo oleh Sayuri. Sinematografer Dion Bebe dan penata kostum Colleen Atwood menyajikan sebuah permainan visual bak sekumpulan pelukis yang menggunakan kanvasnya tanpa menyisakan ruang. Penuh warna dan cemerlang.
Tata artistik dan sinematografi memang menjadi kekuatan utama film ini. Kekuatan kedua, dengan segala catatan soal penggunaan dialog bahasa Inggris (yang memang bukan menjadi keputusan para pemain), trio Chinese idols itu memang menampilkan kekuatan masing-masing. Ziyi Zhang yang murni dan jernih sesuai dengan karakter Sayuri, Michelle Yeoh yang elegan, dan akhirnya Gong Li yang harus diakui menjadi ”scene stealer” alias pemain yang menyita perhatian seluruh penonton. Gong Li memang bintang, dan Ziyi Zhang masih harus melalui beberapa kepak jam terbang.
Akhir cerita semakin terasa kental oleh citra rasa Hollywood, bukan karena tentara Amerika yang masuk dan merangsek ke dunia geisha yang seketika menjadi dunia pelacuran biasa. Tetapi pada akhirnya Rob Marshall harus menyerah pada sebuah cita-cita. Menyerah pada mimpi si kecil yang ingin berdampingan dengan lelaki yang dicintainya. Meski itu artinya, seperti kata Sayuri, menjadi ”istri di malam hari belaka”. Kebahagiaan Sayuri ternyata lebih karena dia tetap bisa berdekatan dengan lelaki yang dicintainya, bukan karena dia bisa memilih.
Leila S. Chudori
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo