Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
”Sentuhkan kakimu seolah tanpa sengaja.”
Dimulailah persiapan magang itu. Sang geisha senior bernama Mameha (Michelle Yeoh) memberikan serangkaian trik kepada Nitta Sayuri (Ziyi Zhang), muridnya, yang akan digosoknya menjadi bintang segala geisha. Ini trik untuk menaklukkan laki-laki. Di tempat minum, tatkala para lelaki terhormat berkumpul, seorang geisha harus menguasai jurus-jurus elegan menuangkan sake atau teh. Ada cara memegang poci sedemikian rupa sehingga kimono tersibak memperlihatkan lengan sebelah dalam yang mulus. Ada teknik menyenggolkan kaki sehingga tamu merasakan sedikit getar kehalusannya.
Telah lama Hollywood terpikat oleh erotisisme dari Timur. Geisha memberi daya fantasi sensualitas seperti harem. Mengetahui berbagai rahasia di balik sosok berkimono itu adalah sebuah obsesi, sama seperti obsesi mengetahui sensasi seks apa saja di kawasan terlarang tempat tinggal para perempuan sultan yang dijaga para budak kasim itu. Sementara samurai—dunia Jepang yang jantan—telah dieksplorasi habis-habisan oleh Hollywood, dunia kelembutan geisha masih tersembunyi.
Terbitnya novel Arthur Golden, Memoirs of a Geisha (1997), yang menguak kehidupan geisha secara detail, agaknya memberi kesempatan untuk itu. Dreamwork Pictures, yang dipimpin oleh Steven Spielberg, bergandengan tangan dengan sutradara film Chicago, Rob Marshall. Marshall mengaku sebagai penggemar film klasik yang ”mampu membawa saya ke dunia misteri” seperti karya-karya David Lean. Karena itu, ketika ia ditawar produser untuk menangani film ini, Marshall tidak berpikir panjang lagi menyetujuinya dan langsung mengumpulkan timnya yang dulu mendukungnya dalam film Chicago. Sinematografer Dion Bebe, koreografer Denise Faye, dan beberapa tambahan seperti ahli geisha Liza Dalby dan penulis skenario andal Robin Swicord dan Doug Wright. Mimpi Marshall untuk bisa menyutradarai pemain internasional Gong Li, Ziyi Zhang, dan Michelle Yeoh serta Ken Watanabe juga terwujud.
Hal yang paling utama adalah: bagaimana menafsirkan buku yang sudah dua tahun menjadi buku terlaris di AS itu sebagai film yang menarik dan magnetik? Marshall tak ingin menghilangkan tema utama buku Golden yang menggairahkan perhatian pembaca, yakni kisah tentang tradisi mizuage, sebuah cerita dari Jepang era lampau tentang bagaimana keperawanan seorang yang magang geisha dijual kepada penawar tertinggi.
Film Memoirs of a Geisha bercerita tentang Nitta Sayuri, seorang geisha di Gion, Kyoto, yang pada usianya ke-15 di tahun 1935 melepas keperawanannya seharga 11.500 yen, jumlah tertinggi yang pernah dibayarkan untuk mizuage. Unsur inilah rupanya yang tak pelak membuat novel Arthur Golden sukses besar. Sebetulnya, sebelumnya telah ada novel seputar geisha seperti roman indah Yasunari Kawabata berjudul Yukini (diterjemahkan oleh Ajip Rosidi: Daerah Salju). Novel Kawabata ini bercerita tentang seorang lelaki dari Tokyo yang berkunjung ke daerah bagian utara Pulau Honshu, yang pada musim dingin selalu tertutup salju. Angin dingin senantiasa menerjang daerah itu. Dan dalam kebekuan, ia bertemu dengan seorang geisha lokal. Gerak-geriknya yang lembut dan sopan tapi menggetarkan hati memikat laki-laki itu.
Setting cerita Arthur Golden adalah daerah Gion, Kyoto, lantaran tempat ini syahdan terkenal sebagai kawasan penghasil geisha terkemuka di Jepang. Tempat-tempat minum eksklusif di Gion menjadi daerah tujuan para lelaki untuk berpesta. Arthur Golden membangun kisahnya bertolak dari informasi mantan seorang geisha paling top di Gion bernama Mineko Iwasaki. Umur lima tahun, Iwasaki telah dididik di okiya—rumah geisha—dan magang geisha pada umur 15 tahun. Ia mengundurkan diri dari geisha di puncak kariernya pada usia 29 tahun.
Tak lama setelah muncul novel Memoirs of a Geisha, Iwasaki menggugat Golden. Sayuri, tokoh utama novel (dimainkan oleh Ziyi Zhang), jelas mengambil kisah suka-duka hidupnya. Yang paling kontroversial, Iwasaki mengatakan banyak hal kurang akurat di novel Golden, termasuk persoalan mizuage. Menurut Iwasaki, dirinya tak pernah melakukan mizuage. Bahkan tradisi mizuage dinyatakan Iwasaki tidak ada di Gion. Geisha di Kyoto menurut dia lain dengan di Tokyo. Tahun 2003 Iwasaki menulis otobiografi, Geisha of Gion, untuk melawan novel Golden. Buku ini berisi kegiatannya selama menjadi geisha.
Spielberg agaknya tak menggunakan bahan protes Iwasaki ini. Dalam film ini persoalan mizuage tetap menjadi inti cerita. Film mengisahkan perjalanan Sayuri dari kecil, yang dididik untuk kelak disiapkan untuk ”dipetik”.
”Kamu bukan pelacur, tapi seniman,” kata Mameha, sang mentor. Suku kata gei dalam geisha berarti seni. Selama bertahun-tahun seorang calon geisha digembleng untuk memiliki keterampilan tinggi dalam menari, memainkan tsutsumi—gendang kecil—memetik shamisen, memiliki keahlian kaligrafi, dan mengetahui seluk-beluk upacara minum teh. Masa-masa pendidikan itu ibarat kepompong yang menyiapkan ulat menjadi kupu-kupu. Mereka yang tak berbakat akan terpental.
Geisha juga adalah wakil terdepan dari dunia cita rasa. Pada saat di Jepang kimono menjadi satu-satunya gaun perempuan, gaya berpakaian geisha adalah pelopor tren. Pada geisha terletak seluruh keanggunan, keeleganan. Meskipun film ini tak bisa serinci penggambaran Golden dalam menampilkan bagaimana cara berbusana para geisha, akan dapat disaksikan bagaimana dari konde sampai kimono geisha berbeda dengan perempuan biasa. Motifnya, warna-warnanya lebih cerah. Obi—ikat pinggang kimono yang agak tebal—milik para geisha magang, misalnya, mempunyai ujung menggantung nyaris menyentuh lantai.
Gabungan cita rasa dan keahlian seni ini yang membedakan mana geisha top dan murahan. Semakin tinggi kemampuannya, semakin sang geisha menjaga image dirinya dan mereka tak mudah dibeli begitu saja. Geisha senior akan membimbing sang geisha magang agar ia selalu menjaga dunia penampilannya. Bagai seorang kakak, ia membawa sang yunior keliling berbagai perjamuan, pesta, menonton drama kabuki, tamasya, agar wajahnya dapat dikenal oleh para pelanggan kaya. Di situlah ia belajar saling berkompetisi dengan geisha lain. Sebuah kehidupan keras tempat sesama geisha bisa saling menjatuhkan.
”Geisha sejati tidak akan pernah mengotori reputasinya dengan membuat dirinya bisa disewa laki-laki dengan tarif per malam,” kata Sayuri dalam novel. ”Geisha kelas bawah bisa saja bersedia melayani tawaran semacam ini. Perempuan seperti ini bisa saja menyebut dirinya geisha, tetapi kurasa kau harus melihat bagaimana dia menari, seberapa baik dia bisa memetik shamisen, sebelum kau memutuskan apakah dia geisha sebenarnya.”
Erotisisme memang tak terelakkan menjadi bagian yang melekat pada dunia geisha. Pada zaman Edo atau zaman Tokugawa (1600-1868), saat Jepang tertutup dari dunia luar, dunia kesenian tumbuh berkembang. Gulat dan geisha sering menjadi obyek gambar Ukiyo-e—kerajinan cetak saring atau cukil kayu—yang sangat populer. Imajinasi erotik—dunia hasrat yang paling liar dari geisha— sering diungkap dalam seni kerajinan massal.
Seorang geisha tak pernah menikah. Dalam hidupnya, seorang geisha akan mencari seorang danna, laki-laki yang nanti akan membiayai hidup dan kemewahannya. Para geisha terpandang memiliki danna dari kalangan pengusaha berpengaruh sampai jenderal-jenderal. Saat peralihan politik dari zaman Tokugawa ke Meiji, banyak geisha dekat dengan para tokoh. Saat itu berbagai rencana revolusi atau kerusuhan selalu disusun di tea house. Geisha dihargai karena dianggap bisa menyimpan rahasia pembicaraan-pembicaraan penting itu. Geisha, karena itu, bisa banyak memiliki kedekatan dengan para tokoh.
”Aku tak akan berpura-pura seorang geisha tak pernah menyerah sukarela kepada laki-laki yang dianggapnya menarik. Geisha juga punya kerinduan seperti halnya manusia biasa. Geisha yang mengambil risiko semacam itu hanya bisa berharap dia tidak akan ketahuan,” tutur Sayuri.
Dalam Memoirs of a Geisha, diceritakan Sayuri jatuh cinta pada Iwamura Ken, pendiri Iwamura Electric, yang membelikannya es krim di tepi Sungai Shirakawa saat ia kecil. Sayuri dipersiapkan menjadi danna Nobbu Toshikazu, Presiden Direktur Iwamura Electric, sahabat akrab Iwamura, tapi hati kecilnya memberontak. Setting novel adalah tahun 1930-1945 saat Jepang dilanda malaise.
Saat itu terjadi perubahan besar. Citra geisha lambat-laun mengalami degradasi. Setelah perang, banyak geisha kehilangan patron, terusir dari rumah-rumah mewah. Pelacur atau hostes di bar menyamar sebagai geisha. Para tentara GI Amerika yang menduduki di Jepang sedikit-banyak memberi andil pada perubahan cara pandang ini, karena mereka semata-mata menempatkan geisha sebagai obyek seksual. Mereka membayangkan geisha sebagai semacam harem.
Dalam film dikisahkan, selama masa perang Sayuri sempat diungsikan di pedesaan. Ia menjadi perempuan petani biasa. Tangannya yang lentik berubah kasar. Namun, ketika perang selesai, ia balik sebagai geisha. Di tengah kondisi yang berbeda, ia tetap menampilkan citranya sebagai geisha yang elegan. Sayuri ingin ditampilkan oleh Arthur Golden sebagai sosok geisha sejati. Sebagai last geisha, seorang geisha yang bertahan dalam perubahan.
Itu akan berbeda sekali, misalnya, kalau kita menonton panorama geisha dalam film kontroversial sutradara Jepang, Nagisa Oshima, In the Realm of Senses, produksi tahun 1976. Film ini awalnya dicekal, dilarang beredar di Jepang sendiri. Film ini bertolak dari sebuah kisah nyata pada tahun 1930-an. Bertempat di sebuah kawasan distrik militer di Tokyo, tempat para mantan geisha menggelandang di jalanan. Film berkisah tentang hubungan antara seorang laki-laki bernama Kichi dan pelacur bernama Sada.
Sehari-hari mereka melakukan seks tiada henti. Film memperlihatkan keintiman itu secara eksplisit, inci demi inci. Keduanya tak dapat menyetop kegiatan itu. Mereka lalu jam demi jam melakukan eksperimen genital yang sangat vulgar. Pernah sekali waktu mereka bersanggama diiringi permainan shamisen yang dimainkan seorang geisha tua dan gemuk. Atas permintaan Sada, Kichi kemudian juga ”menimpa” geisha itu. Eksperimen tubuh ini makin lama makin menjadi eksperimen yang sakit. Sampai akhirnya eksperimen berujung pada destruksi. Karena begitu posesif dan takut Kichi bakal dimiliki wanita lain, akhirnya, setelah sebuah sanggama, Sada memotong penis Kichi. Kichi mati. Sada kemudian berkeliling ke seluruh Tokyo sambil membawa potongan penis itu sebelum akhirnya ditangkap.
Kita juga bisa membandingkan film Hareem karya Ferzan Ozpetek (2003), yang pernah menjadi nomine dalam Festival Film Cannes. Film ini mengambil setting masa-masa menjelang dan sesudah runtuhnya Kesultanan Ottoman, Turki. Isi Hareem diperlihatkan penuh dengan ratusan perempuan cantik dan selir sultan yang sebagian adalah keturunan Eropa. Pekerjaan sehari-hari mereka adalah merawat tubuh, mandi, berendam berjam-jam dengan dibantu beberapa pelayan, telanjang bulat dipijit, dibelai dengan minyak wangi oleh para budak kasim yang berotot. Mereka memanjakan tubuh dengan segala kemewahan. Mereka berusaha terus mempercantik, menghaluskan, bersaing satu sama lain untuk memperebutkan kesempatan agar mereka bisa dipilih sultan untuk menghasilkan anak.
Bila kita misalnya sekarang ke Istana Topkapi, Istambul—bekas istana dinasti Ottoman yang berhektare-hektare itu—kompleks harem masih terjaga dengan rapi, meski tak lagi berfungsi. Kita bisa melihat kamar dan ruang-ruang luks bekas selir itu, mulai kamar mandi, kamar tidur, sampai kolam-kolam berendam. Bila memasuki bekas kawasan lain istana, misalnya tempat pribadi sultan menyimpan barang-barang yang dipercaya milik Nabi Muhammad, seperti pedang atau helai rambut nabi, pengunjung boleh membawa guide dari luar. Tapi, untuk memasuki ruangan bekas harem ini—seperti yang pernah dilakukan Tempo dalam sebuah perjalanan—pengunjung harus membayar guide khusus dari istana. Tampaknya, itu untuk menghindari timbulnya informasi-informasi berbau erotis.
Film karya Ferzan membuka mata kita bahwa perempuan-perempuan harem, yang pada zaman Otoman menjadi bagian istimewa kerajaan, pada era Turki mengalami perubahan sosial akibat perubahan kerajaan yang menjadi republik. Mereka tercerai-berai. Ketika istana diserbu, mereka lalu telantar. Kemudian banyak yang hidup susah. Terbiasa sehari-hari hidup dalam kenikmatan cita rasa, mereka kemudian menjadi bukan siapa-siapa. Tak ada yang ingat lagi siapa mereka. Hal yang getir seperti ini tak dapat dibidik oleh Memoirs of a Geisha.
Di akhir cerita, dalam novel (meski tak ada di film), hidup Sayuri berakhir di New York. Ia dibawa oleh sang danna, Iwamura, ke New York. Mulanya ia menyangka tak bakal betah, kesepian, dan asing. Tapi, dalam waktu singkat, New York dirasakannya sebagai kota menggairahkan. Sayuri kemudian merasakan New York seperti rumahnya sendiri.
Di dalam novel dan film, kisah Sayuri adalah kisah Cinderella.
Seno Joko Suyono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo