Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
OMBAK setinggi enam-tujuh meter itu menghantam Pelabuhan Ratu di Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Ribuan meter kubik air laut tergelontor 30 menit setelah gempa berkekuatan 9 skala Richter mengguncang dasar Samudra Hindia di sisi barat Pulau Jawa. Akibatnya sangat mengerikan. Kawasan wisata di selatan Jawa Barat ini tersapu bersih dan terendam air laut hingga sejauh 1 kilometer dari bibir pantai.
Gelombang besar yang disebut tsunami ini juga memorak-porandakan Bengkulu, Belimbing, Anyer, Ujung Kulon, dan Carita. Tingginya 11 meter. Jakarta termasuk yang terkena terjangan gelombang raksasa itu, meski berjarak ratusan kilometer dari pusat gempa. "Kita harus lari ke bukit kalau mau selamat," kata pakar tsunami dari Institut Teknologi Bandung, Hamzah Latief, Rabu pekan lalu.
Beruntung peristiwa yang dapat melenyapkan ratusan ribu jiwa manusia itu hanyalah simulasi tsunami yang dilakukan dosen oseanografi pantai di ITB tersebut. Hasil pemodelan menunjukkan tsunami merambati Selat Sunda, masuk ke Laut Jawa, kemudian membanjiri kawasan Ancol, Tanjung Priok, dan Muara Angke. "Ketinggiannya rata-rata kurang dari satu meter," kata Hamzah.
Tsunami itu dipicu oleh retakan kerak bumi di barat daya Selat Sunda yang mendadak terbangun dari tidur panjang. Aktifnya patahan tektonik itu tidak hanya menggetarkan dasar laut, tapi juga mampu membangkitkan kolom air di atasnya sehingga memicu gelombang pasang raksasa. Limpasan air laut itu menerjang pesisir selatan Lampung dan Jawa Barat, ujung barat Pulau Jawa, sampai ke Jakarta.
Tsunami ini diyakini akibat gempa megathrust di dekat Selat Sunda. Gempa pada area tumbukan dua lempeng atau zona subduksi ini bisa menghasilkan getaran berkekuatan di atas 8 skala Richter. Lewat pemodelan komputer, Hamzah bersama dua rekannya, Surya Pagi Asa dan Aditya Rojali, mengolah tiga model dan enam skenario hipotetis untuk mengetahui ketinggian tsunami di beberapa lokasi.
Simulasi ini bertolak dari hasil penelitian Danny Hilman Natawidjaja. Pakar gempa dan ilmu kebumian dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia ini pernah memprediksi potensi gempa besar di patahan Selat Sunda. "Sumber gempa di Selat Sunda sampai sekarang belum terdefinisikan dengan baik dan akurat," ujar Danny. Meski begitu, ia memperkirakan gempanya sebesar 8,5-9,5 skala Richter.
Patahan Selat Sunda merupakan segmen penunjaman lempeng Indo-Australia ke lempeng Sunda. Ia membentang dari Pulau Enggano hingga selatan Pulau Jawa di dekat Pangandaran. Panjangnya tak kurang dari 450 kilometer dengan lebar 150 kilometer. Dengan laju penunjaman 6 sentimeter per tahun, batas pertemuan lempeng ini merupakan wilayah paling berpotensi menghasilkan gempa besar.
Patahan Selat Sunda juga termasuk kategori seismic gap karena absennya gempa besar selama berabad-abad. Kesenjangan aktivitas gempa besar di daerah ini bisa memicu terkumpulnya energi. Kondisi inilah yang membuat para ilmuwan khawatir. Sebab, akumulasi energi selama ratusan tahun bisa terlepas setiap saat berupa lindu dahsyat yang menimbulkan tsunami.
"Sekarang sedang mengumpulkan energi. Tapi kita tidak tahu sampai kapan akan terlepas atau siklusnya di tahap mana," kata Danny ihwal hasil analisis segmentasi patahan Selat Sunda. Karakteristik seismic gap ini, menurut Hamzah, juga menjadi salah satu ciri dari gempa besar Aceh-Andaman pada 2004 serta Nias-Simeulue setahun kemudian.
Tak terbayangkan apa jadinya jika segmen patahan seluas itu mendadak bergeser dari posisinya. Dasar laut sepanjang Pulau Enggano sampai Pangandaran sekonyong-konyong terangkat hingga puluhan meter. Seketika itu air laut teraduk dan terdorong ke permukaan menjelma menjadi gelombang raksasa. "Pusat tsunami bukan hanya di satu titik, melainkan sepanjang segmen patahan," ujar Danny.
Lantas kapan tsunami itu datang? Patahan lempeng di Selat Sunda kini bagaikan bom yang tak diketahui kapan bakal meledak. Menurut pakar tsunami Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, Widjo Kongko, sejarah gempa di kawasan itu sulit diraba. Ia, mengutip data Badan Survei Geologi Amerika Serikat, menyebutkan belum ada gempa berkekuatan di atas 8 skala Richter di patahan Selat Sunda selama 500-600 tahun terakhir.
"Kalau gempanya di atas 7,5 skala Richter dan dangkal, saya pastikan terjadi tsunami di daerah itu," kata Widjo. Ia mencontohkan tsunami Pangandaran pada 2006 dan Mentawai pada 2010. Keduanya dipicu oleh guncangan gempa dari zona subduksi yang masih satu alur dengan patahan Selat Sunda.
Pemodelan milik Hamzah seakan-akan mengisi kekosongan informasi tentang prediksi tsunami di Selat Sunda. Berangkat dari skenario gempa berkekuatan 8,5 dan 9 skala Richter, doktor lulusan Tohoku University, Jepang, ini memetakan ketinggian tsunami dan rendaman air di sejumlah lokasi yang terimbas, dari perairan selatan Sumatera hingga selatan Jawa Barat, saat kondisi ketinggian air laut rata-rata dan tertinggi.
Skenario terburuk itu muncul dari sumber gempa di segmen bidang retakan kulit bumi sepanjang 300 kilometer dengan lebar 80 kilometer. Dislokasi atau pergerakan lempengnya berkisar 10-12 meter untuk lindu berkekuatan 8,5 skala Richter dan 20 meter sehingga menghasilkan gempa 9 skala Richter.
Dalam simulasinya, Hamzah membagi patahan Selat Sunda menjadi tiga bidang seismic gap. Bidang terdekat dengan Selat Sunda, misalnya, ditandainya di peta berupa persegi panjang berwarna biru. Lokasinya di dekat Ujung Kulon dan berjarak sekitar 300 kilometer dari Jakarta. Skenario ini menghasilkan distribusi tinggi gelombang maksimum yang dominan di pantai selatan Jawa Barat, Banten, dan Lampung.
Ancaman tsunami dari Selat Sunda ini terbilang berbahaya karena mengarah ke daerah permukiman dan industri padat penduduk, terutama di kawasan Banten. Itu sebabnya Hamzah menyarankan pemerintah segera menyiapkan sistem peringatan dini dengan memasang alarm atau radar tsunami di Selat Sunda. "Saya tidak tahu apakah buoy-buoy itu ada dan berfungsi baik," katanya.
Beruntung bagi Jakarta dan daerah lain di sebelah timur Selat Sunda. Sebab, laut yang menyempit di mulut selat menyebabkan energi gelombang tsunami yang berhasil masuk ke Laut Jawa relatif kecil. Perubahan ekstrem kedalaman laut atau batimetri dari 5.000 meter di zona subduksi ke 150 meter di mulut selat membuat distribusi arus di sekitarnya berkurang drastis.
"Arus air laut menjadi 10-15 meter per detik," ujar Hamzah. Arus makin melambat akibat efek pendangkalan di Teluk Jakarta sehingga kecepatannya tinggal 1-1,5 meter per detik. Butuh lebih dari tiga jam bagi tsunami untuk mencapai Ibu Kota. Meski relatif kecil, arus tsunami tetap berbahaya bagi warga Jakarta karena bisa menyeret perahu berbagai ukuran ke darat dan memicu sungai-sungai meluap.
Danny Hilman memilih skenario terburuk untuk upaya mitigasi bencana. Lewat pemodelan yang dia bikin sendiri, Danny mengambil gempa berkekuatan 9,4 skala Richter sebagai pemicu tsunami di Selat Sunda. Hasilnya, empasan gelombang laut raksasa setinggi 10 meter menyapu Anyer dan sekitarnya. Ibu Kota juga tersapu tsunami setinggi 4-5 meter. "Kami memakai skenario paling ekstrem," katanya.
Mahardika Satria Hadi, Anwar Siswadi (Bandung)
Simulasi tsunami dari patahan selat sunda
A. Potensi gempa megathrust di patahan Selat Sunda:
- Sumber: segmen bidang retakan kulit bumi sepanjang 300 kilometer dengan lebar 80 kilometer (persegi panjang warna biru dalam gambar).
- Lokasi: barat daya Selat Sunda, sekitar 300 kilometer dari Jakarta.
- Kekuatan: 8,5-9,5 Skala Richter.
B. Daerah-daerah terkena hempasan tsunami:
- Bengkulu: 2-3 meter
- Belimbing: 9-11 meter
- Agung: 9-11 meter
- Bandar Lampung: 4 meter
- Tangerang: 2 meter
- Serang: 2 meter
- Merak: 5 meter
- Cilegon: 4 meter
- Anyer: 3 meter
- Carita: 6-7 meter
- Pulau Peucang: 10 meter
- Ujung Genteng: 11 meter
- Pelabuhan Ratu: 6-7 meter
- Ancol: 1 meter
- Tanjung Priok: 1 meter
- Muara Angke: 1 meter
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo