Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Kegelisahan Mantan Demonstran

Teater Koma mementaskan Demonstran, lakon lanjutan dari trilogi Opera Kecoa, yang naskahnya ditulis 25 tahun lalu.

10 Maret 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Berkemeja putih, bercelana hitam, dan memakai suspender krem, Topan sibuk melayani pertanyaan para wartawan yang merubungnya. Saat wartawan menanyakan kenapa dia tak mau lagi turun ke jalan, Topan (dimainkan Budi Ros) sigap menjawab, "Ini bukan masanya lagi."

Topan, demonstran yang menggulingkan penguasa sekitar dua dekade lalu, memilih berhenti turun ke jalan. Bujukan tiga kawan seperjuangannya-Niken Wiluta, dan Jiran-agar dia mau kembali berunjuk rasa tak mempan. "Aku tak sudi dijadikan berhala!" ujarnya.

Begitulah adegan awal pentas lakon Demonstran yang digelar Teater Koma. Pertunjukan yang merupakan produksi ke-132 teater pimpinan Nano Riantiarno itu digelar di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, sepanjang 1-15 Maret ini.

Nano mementaskan lakon dari naskah yang ditulisnya 25 tahun lalu. Hanya, waktu itu naskah lanjutan dari trilogi Opera Kecoa ini belum sempat diselesaikan. Menurut Nano, untuk saat itu-era Orde Baru-naskah tersebut sangat tajam dan mungkin dilarang dipentaskan. Isinya memang ingin mengkritik rezim Soeharto. "Kurang lima halaman saja, malah keburu reformasi. Jadi cerita juga berubah. Mau diapakan tokoh Topan ini," katanya.

Nano lalu merangkai cerita dalam naskah setebal 65 halaman dan diselesaikan tahun lalu. Dia sedikit mengutak-atik dari naskah sebelumnya. Nano berfokus pada karakter tokoh Topan. Dia agaknya terusik oleh peta politik menjelang pemilihan umum ini. Ia ingin menyindir mantan aktivis reformasi yang terlena oleh berbagai tawaran. Nano memunculkan Topan sebagai demonstran yang kemudian menjadi pengusaha sukses dan dekat dengan Pejabat T (Emmanuel Handoyo), jenderal kaya yang gila hormat. Sang jenderal mendirikan partai dan berniat menjadi presiden.

Sesungguhnya hubungan antara aktivis dan jenderal ini menarik untuk dibongkar. Tapi, selama 180 menit, kita tak diberi adegan-adegan yang tajam membedah hal itu. Kita tahu, dari berita-berita, banyak aktivis yang tadinya anti kemudian tergiur kekuasaan. Dari menjadi komisaris sampai menjadi pengurus partai. Bahkan mereka menerima dana dari pihak yang pernah menculik teman-teman mereka atau pernah menangkap diri mereka sendiri. Skenario tak mengarah ke sana. Skenario juga tak ingin memblejeti bagaimana, misalnya, bekas aktivis terlibat dalam skandal uang yang ada di tubuh partai.

Nano hanya menampilkan Topan sebagai tumbal. Topan digambarkan mulai risi karena sang jenderal ingin membuat patung dirinya sebagai ikon antirezim. Topan tahu itu hanya taktik jenderal tersebut agar ia terlihat bersimpati kepada demokrasi. Ia juga jengah karena Bunga (Cornelia Agatha), sang istri, memiliki hubungan dekat dengan jenderal itu. Permainan Budi Ros dan Cornelia Agatha di sini saat bertengkar mempertanyakan soal kesetiaan cukup memikat.

Sesungguhnya ciri khas Nano menampilkan adegan-adegan dengan kor yang apik muncul di pentas ini. Saat menampilkan gerakan demo para buruh dan orang miskin, ia menyelipkan adegan-adegan waria bengal yang mengingatkan pada karyanya yang fenomenal, Opera Julini. Yang juga amat menarik, Nano menampilkan ondel-ondel dengan ukuran tinggi-mungkin lebih dari lima meter. Mulut ondel-ondel ini saat kor bergerak-gerak.

Andai, misalnya, Nano membuat sebuah patung besar mengenai Topan, yang menjadi fokus dari dramaturgi pertunjukan, tentu suasana pentas Teater Koma kali ini akan berbeda. Bisa dibayangkan patung raksasa itu menjadi titik perdebatan, ditarik sana-sini, akan dirobohkan, dijaga ketat, dan sebagainya. Tapi itu tak terjadi. "Patung dan Julini-julini ini memang muncul belakangan di naskah, untuk masuk ke bagian patung Topan," ujar Nano.

Walhasil, ketika Topan dibunuh dan sebuah peti mati kaca dengan mayatnya yang terbujur kaku disajikan sebagai klimaks adegan, hal itu berlangsung datar-datar saja. Kita seolah-olah menyaksikan kisah-kisah yang sudah kita ketahui sebelumnya. Bukan sebuah satire keras yang menelanjangi skandal mantan para demonstran hari-hari ini.

Dian Yuliastuti, SJS

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus