Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Membawa Bossa ke Jakarta

Permainan para musikus Brasil menjadi salah satu sesi paling menarik di Java Jazz Festival 2014.

10 Maret 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"…Telecoteco, teco, teco, teco, teco.…"

DIOGO Torrinha, 31 tahun, merangkul istrinya, Laura, dengan hangat. Keduanya tak peduli di sekelilingnya ada ratusan penonton lain yang bisa saja memperhatikan mereka. Pasangan asal Lisabon, Portugal, itu larut dalam buaian bossa nova Paula Morelenbaum yang mengalun di Brazilian Hall, Java Jazz Festival 2014, di arena Jakarta International Expo, Kemayoran.

Laura berputar sambil tetap menggandeng Diogo. Keduanya berhadapan, saling menatap, bergoyang salsa, untuk kemudian kembali berangkulan. Punggung Laura berlabuh di dada Diogo. Di belakang mereka ada pasangan lain, João dari Brasil dan Mariana dari Makau, Cina. Penonton lain jadi tampak tertib sekali jika dibandingkan dengan dua pasangan yang asyik berdansa ini.

João berusaha mengajak hadirin lain ikut bergoyang. Bapak-bapak di sekelilingnya, yang sedang duduk ngampar, ditarik agar berdiri dan ikut berdansa. Namun mereka tampak malu-malu. Jadilah di seantero ruangan konser seluas setengah lapangan sepak bola itu hanya dua pasangan ini yang asyik bergoyang.

"Paula Morelenbaum mengingatkan saya pada rumah. Dia sangat terkenal di sana," kata Diogo. Meski Portugal terpaut ribuan kilometer dari Brasil, mereka berbagi budaya yang sama. Mengutip istilah Diogo, Brasil dan Portugal merupakan kakak-adik. "We are brothers," ujarnya. "Musik dan bahasa kami sama. Musik mereka musik saya juga."

Telecoteco merupakan nama album terbaru Paula Morelenbaum. Nama itu berupaya menirukan bunyi ketukan yang ada dalam musik bossa, yang kemudian dijadikan kata oleh Paula. Tembangnya mengalun lembut dan sejuk-ciri khas musik bossa nova.

Paula satu di antara sederet artis yang tampil di Brazilian Hall, ruang konser khusus yang disediakan panitia Java Jazz untuk musikus asal Brasil. Penampil yang lain adalah João Sabia, J.O.C, Ivan Lins, Tania Maria, Thais Motta & Marvio Cirbelli, Thiagu Gentil e Robertinho Silva, dan Toni Baretto. Panitia Java Jazz sengaja memboyong musikus jazz Brasil tersebut untuk membawa sensasi karnaval pada perayaan satu dasawarsa festival musik itu.

Bossa lahir di Rio de Janeiro, kota di tenggara Brasil yang dikitari pantai dan berhiaskan bukit-bukit kecil yang terjal. Pada 1956, João Gilberto menulis Bim-bom, yang disebut-sebut sebagai lagu bossa pertama. Sepuluh tahun kemudian, Antonio Carlos Jobim menulis A Garota de Ipanema atau The Girl from Ipanema. Tembang ini kemudian menjalar ke berbagai penjuru dunia. Banyak yang bilang bossa adalah musik samba minus bebunyian perkusi yang ramai. Yang diambil dari bossa hanya melodi dan irama.

Brazilian Hall menawarkan banyak musikus Brasil dengan ragam gaya. Paula hanya salah satunya. Dari sana alunan bossa rupanya tak bergantung pada alat musik. Hanya dengan gitar nilon, Toni Baretto membuai dengan hit-hit lawas, seperti Corcovado dan How Insensitive. Dengan banyak alat musik pun, seperti yang ditunjukkan oleh Tania Maria dan Ivan Linz, bossa terdengar tetap melodius.

Pada satu sesi dalam penampilannya, Tania Maria memainkan improvisasi piano yang panjang. Sesekali ia memainkannya sambil bernyanyi. Perkusionis menyambut improvisasinya dengan mengetukkan tamborin Brasil. Ketukan itu seperti pernah terdengar pada lagu Paula. "…Telecoteco, teco, teco, teco, teco.…"

Sekitar enam bulan sebelum perhelatan dibuka, pencetus Java Jazz, Peter F. Gontha, dan Direktur Program Paul Dankmeyer terbang ke Brasil untuk melakukan survei musikus mana saja yang akan diboyong ke Indonesia. Peter menemui Ivan Lins, legenda jazz setempat. Ada banyak nama yang ditawarkan. "Semuanya bagus-bagus," ujar Koordinator Program Java Jazz Eqi Puradiredja.

Namun panitia Java Jazz juga mempertimbangkan faktor popularitas. Panitia khawatir, sesampai musikus Brasil di Jakarta, tak ada yang berminat nonton karena mereka kurang tenar di Tanah Air. "Sebenarnya kami ingin membawa yang muda-muda, tapi takut kurang terkenal di Indonesia," kata Eqi. Ketakutan itu sebetulnya tak perlu. Ketakutan tak populer itulah yang menjadikan Java Jazz kali ini banyak dikritik karena memasukkan penyanyi-penyanyi lokal yang jauh dari jazz, seperti JKT48 dan Agnes Monica. Lihat bagaimana animo penonton bergoyang bossa.

Ananda Badudu

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus