Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Klaim Bermasalah Restorasi Gambut

Pemerintah mengklaim keberhasilan restorasi gambut yang dimulai sewindu lalu. Pengecekan lapangan menemukan banyak masalah.

1 Agustus 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

LAPORAN terbaru Pantau Gambut yang dipublikasikan pada Rabu, 31 Juli 2024, menjawab tantangan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya. Pada Selasa pekan lalu, ketika meluncurkan laporan State of Indonesia's Forests (Soifo) 2024 di markas Badan Pangan Dunia (FAO), Roma, Italia, Menteri Siti mengungkapkan bahwa Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan akan terus mengembangkan kapasitas sistem pemantauan restorasi gambut.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dia juga kembali mendorong negara-negara dengan hutan tropis agar memiliki inventarisasi lahan nasional dan sistem pemantauan berdasarkan interpretasi citra satelit dan pemeriksaan lapangan sebagai pembuktian. "Sangat penting bagi kita untuk memanfaatkan data pemantauan sumber daya hutan di tingkat nasional dan global guna memperkuat pengelolaan hutan berkelanjutan dan praktik mitigasi iklim," kata Siti ketika berpidato dalam acara Pekan Hutan Dunia ke-9 itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tantangan Menteri Siti itu dijawab kontan oleh Pantau Gambut—organisasi non-pemerintah bidang lingkungan hidup yang berfokus pada pelindungan ekosistem gambut. Pantau Gambut bersama kelompok masyarakat sipil di tujuh provinsi mengecek ulang pelaksanaan program restorasi dan pelindungan gambut yang dicanangkan pemerintah sewindu lalu.

Berdasarkan pengecekan lapangan sejak Desember 2023 hingga Maret 2024 tersebut, Pantau Gambut menemukan banyak persoalan pada klaim-klaim keberhasilan program restorasi gambut yang selama ini digaungkan pemerintah. Meski mengakui pemerintah dan korporasi pemegang konsesi telah mengupayakan restorasi di area kebakaran hutan dan lahan pada 2015, kajian itu menunjukkan bahwa banyak infrastruktur pelindungan gambut dan pencegahan kebakaran tidak sesuai dengan standar.

"Kami menemukan berbagai kontradiksi antara sampel dari lapangan dengan dokumen Soifo 2024 yang baru saja diluncurkan oleh KLHK," kata Iola Abas, Koordinator Nasional Pantau Gambut, Rabu, 31 Juli 2024.

Presiden Joko Widodo (kiri) didampingi Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya berjalan di sela-sela menghadiri KTT Perubahan Iklim PBB (COP26) di Glasgow, Skotlandia, Inggris,1 November 2021. ANTARA/Biro Pers Media Kepresidenan/Laily Rachev

Klaim-klaim Keberhasilan Pemerintah

Pemerintah memulai program restorasi gambut pada 2016 seiring pembentukan Badan Restorasi Gambut (BRG)--yang belakangan berubah menjadi Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM). Program ini dilatarbelakangi kebakaran hebat secara berturut-turut dua tahun sebelumnya. 

Merujuk data Sipongi, sistem pemantauan kebakaran hutan dan lahan (karhutla) yang dikembangkan KLHK, luas areal terbakar pada 2014 mencapai 1,77 juta hektare. Karhutla kembali meluas pada 2015, hingga mencapai 2,61 juta hektare. Sepertiga di antara areal terbakar itu merupakan lahan gambut. 

Soifo 2024, laporan dua tahunan tentang kondisi kehutanan di Indonesia yang dipublikasikan KLHK pertama kali enam tahun lalu, merangkum sejumlah pencapaian restorasi gambut. Laporan itu mencatat, hingga 2023, restorasi telah dilakukan terhadap lahan gambut seluas total 3,93 juta hektare yang selama ini berada di areal konsesi 332 perusahaan kehutanan dan perkebunan sawit.

Restorasi gambut di dalam konsesi perusahaan tersebut meliputi kegiatan pembasahan kembali (rewetting) pembangunan 30.404 unit sekat kanal, 10.838 unit perangkat pemantauan tinggi muka air tanah (TMAT), dan 956 unit stasiun pemantau hujan. Selain itu, pemerintah juga mencatat upaya pemulihan vegetasi (revegetation) pada lahan gambut seluas total 222 ribu hektare, di antaranya rehabilitasi pada vegetasi bekas kebakaran seluas 37 ribu hektare. 

Sementara itu, masih merujuk pada Soifo 2024, pemerintah mengklaim restorasi pada lahan gambut non-konsesi telah menjangkau areal kesatuan hidrologis gambut (KHG) seluas 1,7 juta hektare. Restorasi yang diampu oleh BRGM tersebut dilakukan di tujuh provinsi prioritas, yakni Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, dan Papua. 

Seperti halnya pemulihan lahan gambut di dalam konsesi, restorasi gambut non-konsesi diklaim juga telah membangun 14.087 unit sumur bor, 8.078 unit sekat kanal, dan 168 unit pemantau TMAT. Ada pula kegiatan rehabilitasi vegetasi di areal bekas karhutla seluas 2.122 hektare serta revitalisasi kondisi ekonomi-sosial terhadap 1.413 komunitas masyarakat di sekitar gambut. KLHK mencatat, hingga 2023, program restorasi ini telah melahirkan 791 Desa Mandiri Peduli Gambut. 

Satu unit ekskavator beroperasi menyiapkan lahan perkebunan pada area gambut lindung di konsesi sawit, Provinsi Sumatera Selatan, yang menjadi salah satu sampel pengecekan lapangan Pantau Gambut, 2024. Foto: Pantau Gambut

Temuan Lapangan Menyanggah Klaim Keberhasilan

Pemerintah memang berkepentingan atas lahan gambut. Saat ini, lahan gambut tropis di Indonesia merupakan yang terluas di dunia, yakni mencapai 24,67 juta hektare. Areal yang mencakup 865 kesatuan hidrologis gambut tersebut diperkirakan menyimpan karbon sebesar 46 giga ton, atau sekitar 8-14 persen dari total karbon di lahan gambut dunia. Pendek kata, upaya perlindungan termasuk melalui restorasi gambut semakin mendesak lantaran pemerintah juga telah berkomitmen kepada masyarakat internasional untuk ikut dalam mitigasi krisis iklim

"Pemerintah memiliki komitmen tinggi terhadap perlindungan dan pengelolaan ekosistem lahan gambut, termasuk menerbitkan peraturan, kebijakan, dan petunjuk teknis untuk pelaksanaan operasional," demikian tertulis dalam Soifo 2024. "Restorasi lahan gambut sangat penting untuk mendukung target pengurangan emisi dari sektor kehutanan dan pemanfaatan lahan lainnya (FOLU) pada 2030."

Namun persoalannya, berbagai pencapaian restorasi lahan gambut tersebut dinilai sebatas laporan di atas kertas. "Klaim-klaim keberhasilan hanya dilihat dari angka pelaksanaan proyek," kata Manajer Advokasi dan Kampanye Pantau Gambut, Wahyu Perdana, di kantornya, Rabu, 31 Juli 2024. 

Kemarin, Pantau Gambut mempublikasikan laporan bertajuk "Gelisah di Lahan Basah: Korporasi, Pemerintah, dan Semua Komitmen Kosong Restorasi Gambutnya". Laporan ini berisi hasil pengecekan lapangan yang dilakukan Pantau Gambut bersama tujuh organisasi masyarakat sipil di Aceh, Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, dan Papua Barat. Pengecekan lapangan dilakukan pada 240 titik sampel lahan gambut di dalam konsesi perusahaan dan 289 titik sampel gambut non-konsesi. Seluruhnya merupakan lahan gambut yang pernah terbakar dan/atau kehilangan tutupan pohon.

Hasilnya, dari 240 titik sampel lahan gambut di dalam konsesi perusahaan, hanya 1 persen yang masih atau kembali menjadi hutan. Sisanya, tutupan lahan gambut bekas kebakaran itu beralih menjadi belukar dan tanaman monokultur. Proporsi tanaman monokultur bahkan lebih tinggi pada titip sampel lahan gambut dengan fungsi lindung. Mayoritas berupa sawit dan akasia. 

Kondisi ini dianggap melenceng dari sejumlah regulasi. Peraturan Menteri LHK Nomor P.16 Tahun 2017 tentang Pedoman Teknis Pemulihan Fungsi Ekosistem Gambut, misalnya, telah menegaskan bahwa areal gambut lindung dan budidaya yang pernah terbakar dan kehilangan tutupan perlu dilakukan penanaman kembali (revegetasi) dengan jenis tanaman asli dan/atau ramah gambut. Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2014 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut juga membatasi pemanfaatan ekosistem gambut lindung hanya pada kegiatan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, dan/atau jasa lingkungan. 

Konversi lahan gambut juga ditemukan massif pada 289 titik sampel areal non-konsesi yang pernah terbakar atau kehilangan tutupan hutan. Lebih separuhnya, atau 54 persen areal pemantauan, telah berubah menjadi perkebunan sawit dan akasia. "Padahal pemulihan lahan gambut non-konsesi ini seharusnya menjadi tanggung jawab pemerintah," kata Almi Ramadhi, peneliti Pantau Gambut yang memimpin riset ini.

Dugaan bahwa kebakaran lahan gambut terdahulu sebagai kesengajaan demi menyiapkan lahan tanaman monokultur menguat seiring ditemukannya kanal-kanal pada lokasi sampel. Kanal-kanal yang ditengarai bertujuan untuk mengeringkan lahan gambut itu tersebar di 155 titik sampel gambut non-konsesi. Hampir separuh dari 240 titik sampel gambut di dalam konsesi juga telah digaruk untuk pembangunan kanal. 

Celakanya, mayoritas sekat kanal yang dibangun sebagai bagian program restorasi gambut ditemukan rusak. Akibatnya, pengecekan lapangan Pantau Gambut juga menemukan sampel lahan gambut dengan TMAT lebih dari batas ideal 40 sentimeter. Ketinggian air pada kanal yang jauh di bawah permukaan tanah tersebut mengindikasikan lahan gambut mengering parah. 

"Temuan lapangan ini menunjukkan restorasi yang diklaim berhasil oleh pemerintah justru gagal memulihkan kondisi hidrologis ekosistem yang sebelumnya rusak akibat karhutla," kata Almi. "Lahan gambut yang kering itu tinggal menunggu waktu untuk terbakar kembali."

Pembukaan kanal di area fungsi lindung gambut KHG Sungai Durian–Sungai Kualan, Provinsi Kalimantan Barat, yang diduga dilakukan oleh perusahaan pemegang konsesi hutan tanaman industri, 2024. Foto: Pantau Gambut

Komitmen Ditengarai Sebatas Pencitraan

Wahyu berharap pemerintah serius menjalankan azas tanggung jawab negara dalam upaya perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, seperti yang diatur dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009. Termasuk dalam tanggung jawab negara yang dimaksud, kata dia, adalah menindak tegas korporasi yang terindikasi melanggar peraturan. "Jika tidak, maka klaim-klaim keberhasilan restorasi gambut pemerintah terbukti hanya menjadi alat pencitraan pemerintah di mata dunia," ujarnya. "Sedangkan dampak kegagalan restorasi di lapangan justru ditanggung masyarakat."  

Tempo berupaya meminta penjelasan Direktur Jenderal Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan KLHK, Sigit Reliantoro. Namun ia tak merespons atas upaya konfirmasi yang dikirim melalui ponselnya.

Sebelumnya, Sigit menjelaskan bahwa pemerintah justru telah berhasil memulihkan gambut yang telah terdegradasi. “Nyatanya, dalam kurun waktu 10 tahun, keberhasilan pemulihan ekosistem gambut, terutama secara hidrologis, mencapai 5,5 juta hektare,” kata Sigit pada 19 Juni 2024.

Kala itu, Sigit juga menyebutkan bahwa karhutla cenderung mereda dalam satu dekade belakangan. Hal ini, menurut dia, karena pemerintah telah memprioritaskan strategi pencegahan sekaligus pemulihan ekosistem gambut yang rusak. Pemerintah juga telah melakukan tindakan hukum terhadap pelaku pembakaran hutan.

Adapun Kepala BRGM, Hartono Prawiraatmadja, belum bersedia menanggapi temuan Pantau Gambut dengan alasan belum membaca laporannya secara lengkap. Dia hanya memastikan bahwa BRGM bersama KLHK terus berupaya memulihkan lahan gambut yang terdegradasi di tujuh provinsi. Salah satu upaya terbaru adalah membangun sekat kanal baru yang berada di sejumlah kabupaten di Provinsi Riau. “Kelompok masyarakat yang dilibatkan 20 unit dari Kabupaten Bengkalis, Meranti, dan Siak,” kata Hartono pada Selasa, 30 Juli 2024.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Irsyan Hasyim dan Agoeng Wijaya berkontribusi dalam penulisan laporan ini

Avit Hidayat

Avit Hidayat

Alumnus Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas PGRI Ronggolawe, Tuban, Jawa Timur. Bergabung dengan Tempo sejak 2015 dan sehari-hari bekerja di Desk Nasional Koran Tempo. Ia banyak terlibat dalam penelitian dan peliputan yang berkaitan dengan ekonomi-politik di bidang sumber daya alam serta isu-isu kemanusiaan.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus