Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Lingkungan

Psikolog dan Kementerian Bicara Fenomena Stres Berujung Bunuh Diri di Kalangan Mahasiswa

Psikolog Klinis Dewasa, Wiwit Puspitasari Dewi mengatakan stres adalah situasi yang wajar dialami oleh semua orang, termasuk mahasiswa.

14 Oktober 2023 | 22.06 WIB

Ilustrasi. TEMPO/Zulkarnain
Perbesar
Ilustrasi. TEMPO/Zulkarnain

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

TEMPO.CO, Jakarta - Psikolog Klinis Dewasa, Wiwit Puspitasari Dewi mengatakan stres adalah situasi yang wajar dialami oleh semua orang, termasuk mahasiswa. Beberapa penyebabnya seperti tekanan akademik, tekanan dalam relasi dengan teman atau orang terdekat, atau orang tua.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

Selain itu, faktor isu-isu kesehatan mental yang banyak terjadi di usia mahasiswa. Bisa pula stres melihat situasi yang dialami orang-orang terkasihnya. "Sehingga, stres atau tekanan itu rentan dialami oleh mahasiswa," kata Wiwit pada Sabtu, 14 Oktober 2023. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Secara umum, tambah Wiwit, seseorang yang mengalami stres biasanya akan berusaha melakukan berbagai cara untuk mengatasi atau mengelolanya. Namun, ada kalanya di mana stres atau tekanan yang dirasakan sangat berat. Akibatnya, dia mungkin tidak punya sumber daya yang cukup untuk menghadapi tekanan itu.

Misalnya, seorang mahasiswa yang mengalami stres berkepanjangan. Akan tetapi, dia tidak bisa menghadapinya dengan baik, misalnya karena ada isu kesehatan mental tertentu. Bisa juga karena minimnya dukungan atau merasa terus-terusan menjadi beban, sehingga tidak bisa cerita ke orang lain. Pada akhirnya, merasa tidak punya harapan untuk menyelesaikan masalahnya karena tidak tahu lagi dengan cara apa. 

"Gabungan hal-hal itu bisa memungkinkan seseorang berpikir untuk mengakhiri hidup, sebagai salah satu solusi untuk menyelesaikannya. Walaupun memang mungkin gak semua orang langsung mengambil keputusan itu, tapi mungkin ide-ide itu bisa saja muncul ," ujar Wiwit.

Dalam kesempatan terpisah, Plt Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Nizam menekankan pentingnya membangun kampus yang sehat, aman, dan nyaman atau disingkat SAN bagi semua warganya. "Suasana kampus harusnya penuh kekeluargaan, saling asah, asih dan asuh. Penuh dengan diskursus intelektual dan pengembangan diri yang sehat dan saling menghormati," tuturnya pada Jumat, 13 Oktober 2023.

Mitigasi bunuh diri yang dapat dilakukan di kampus

Wiwit menambahkan, mitigasi bunuh diri pada mahasiswa juga dapat dilakukan di kampus. Upaya paling umum menurutnya adalah menyediakan layanan konseling bagi sivitas akademika. Sebab, tidak semua kampus punya layanan konseling. "Sebenarnya tidak hanya layanan konseling, tapi juga orang-orang di dalamnya. Harapannya adalah orang-orang yang tidak banyak punya judgement untuk isu-isu atau kasus-kasus mengakhiri hidup," kata psikolog yang juga praktik di Cornerstone Psychological Center Fakultas Psikologi Universitas Pelita Harapan itu. 

Menghakimi yang dimaksud Wiwit adalah cara menilai kecenderungan atau pikiran seseorang untuk bunuh diri. Misalnya, menilai bahwa apa yang mereka pikirkan untuk mengakhiri hidup adalah sesuatu yang sangat salah."Mulailah dengan cara mendengarkan dulu apa yang menjadi isu mereka. Kita perlu belajar untuk tidak mudah menghakimi para mahasiswa," ujarnya.

Selain itu, Wiwit juga menekankan untuk memahami perbedaan generasi dulu dengan saat ini. Ringkasnya, apa yang mahasiswa anggap berat, bisa saja generasi lain tidak melihatnya sebagai sesuatu yang berat. "Itu kadang-kadang bukan karena mereka yang benar-benar lemah, tapi bisa saja mereka yang terbentuk dengan cara seperti itu. Juga, tantangan yang mereka hadapi itu sudah jauh berbeda dibandingkan dengan tantangan kita.

Hal lain yang juga dapat diupayakan kampus adalah mentoring dan peer counselor. Opsi ini memungkinkan agar mahasiswa semakin nyaman untuk menceritakan masalah mereka. Sebab, yang berperan sebagai peer counselor di kampus atau mentoring adalah teman-teman yang seusia. Hal ini mungkin akan membuat mahasiswa bisa lebih nyaman untuk menceritakan masalah mereka. 

"Selain itu, mungkin para staf, dosen atau sivitas akademika lain juga perlu diberikan edukasi mengenai isu kesehatan mental atau mungkin indikasi bunuh diri atau indikasi kesehatan mental yang lain," kata Wiwit.

Menurut Wiwit, saat ini mahasiswa sudah lebih melek teknologi. Artinya, potensi untuk paham dan sadar tentang isu kesehatan mental lebih besar. Namun, perlu adanya edukasi karena mungkin sivitas akademika belum teredukasi dengan baik. Sehingga, jika bertemu dengan mahasiswa yang menunjukkan gejala atau masalah kesehatan mental, orang-orang di sekitarnya bisa cepat menyadari. Kemudian, bisa jadi teman diskusi atau bisa merujuk mereka ke layanan konseling di kampus. 

"Layanan konseling bagi sivitas akademika masih penting hingga saat ini, apalagi mungkin belum semua kampus punya. Biasanya, mungkin layanan konseling ini ada di kampus yang punya fakultas psikologi atau fakultas kedokteran yang ada psikiaternya," ujar Wiwit.  

Namun, salah satu kendala dalam menyediakan layanan konseling di seluruh kampus, menurut Nizam adalah keterbatasan sumber daya. Ia juga membenarkan bahwa belum banyak kampus yang menyediakan layanan konseling dan bantuan psikologis bagi sivitasnya. 

"Sehingga, menjadi tugas kita bersama, terutama warga kampus untuk membangun kampus yang SAN tadi. Dengan begitu, setidaknya akan mengurangi peluang stres dan depresi warganya. Mencegah selalu lebih baik dari mengobati," kata Nizam.

Selalu update info terkini. Simak breaking news dan berita pilihan dari Tempo.co di kanal Telegram “Tempo.co Update”. Klik https://t.me/tempodotcoupdate untuk bergabung. Anda perlu meng-install aplikasi Telegram terlebih dahulu.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus