INI sebuah cerita tentang penggusuran. Korbannya bukan manusia, tapi rusa. Mereka tak disingkirkan dari hutan yang menjadi habitat mereka, tapi dari sebuah taman penangkaran yang disediakan buat mereka, sebuah tempat yang pembangunannya sebenarnya telah direncanakan dan disiapkan lama, yang akhirnya harus menyerah pada "rencana baru". Alkisah, adalah sebuah taman penangkaran seluas 111 ha di Desa Margakarya, Telukjambe, Karawang, Jawa Barat. Di situ, sejak dua tahun silam, segerombolan rua bisa menikmati suasana merdeka di antara rerumputan, semak belukar, dan pepohonan, jauh dari kejailan tangan manusia. Di situ pula rusa-rusa itu melupakan masa lalunya yang pahit, mendekam dalam ruangan sempit yang bernama kebun binarang. Namun, ketenteraman hidup mereka kini kembali terusik. Mereka akan segera digusur dari habitat hijau di tanah bergelombang itu. Sebagai gantinya, di situ akan "ditangkarkan" sejumlah pabrik, dan dibangun sebuah industrial estate. "Industri akan mendatangkan manfaat langsung yang lebih besar," ujar Menteri Kehutanan Hasjrul Harahap yang "membawahkan" rusa-rusa itu, dalam acara buka bersama dengan pers tiga pekan lalu. Adalah pihak Perhutani Wilayah III Jawa Barat yang mengelola penangkaran rusa Karawang itu. Ketika diresmikan Februari 1988 lalu, di situ dilepas 90 ekor "rusa kota" eks penghuni Kebun Binantang Surabaya, Semarang, Yogyakarta, Bandung, dan Kebun Raya Bogor. Selama dua tahun di Karawang mereka telah beranak pinak menjadi sekitar 150 ekor. Ketika baru datang, rusa-rusa itu memang masih membawa gaya kehidupan kota. "Mereka mau dielus-elus," kata Nandang Suparman, salah satu penjaga taman penangkaran itu. Tapi dua tahun berada di habitat baru, rupanya mereka telah melupakan langgam kota. "Sekarang baru melihat orang saja, mereka kabur," tambahnya. Kebiasaan makan mereka pun berubah. Selama 9 bulan pertama mereka masih minta "subsidi" makanan, yang berupa campuran dedak, potongan ubi, ditambah beberapa garam mineral. "Kini mereka sudah pintar mencari rumput sendiri," kata Nandang. Memang, taman penangkaran di KPH (Kesatuan Pemangkuan Hutan) Purwakarta itu menyediakan cukup rerumputan. Ada tiga jenis rusa yang mangkal di penangkaran Telukjambe itu: rusa Bawean (Cervus axis, Kuhli), rusa Timor (Cervus timorensis), dan rusa totol putih-cokelat (Cervus axis-axis). Tingkat kematian di Telukjambe cukup tinggi. "Selama di sini, 30 ekor mati," ujar Nandang. Kematian itu sendiri bermacam-macam sebabanya. Ada yang karena cacingan, infteksi atau disebabkan luka-luka akibat perkelahian di antara mereka sendiri. "Tapi ada juga yang mati diterkam harimau," tutur Nandang. Soal yang terakhir itu agak sulit dipercaya, lantaran harimau telah lama dianggap musnah dari Karawang. Tapi Nandang ngotot bertahan. "Saya melihat bekas-bekas kakinya," ujarnya. Soal harimau itw, baiklah dilupakan saja. Tapi memang jelas, rusa-rusa itu terancam oleh harimau jenis lain, yang bernama industrial estate. Kehadiran industri itu bukannya nyelonong begitu saja, ada dasar hukumnya. Dan Ketua Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Karawang, Soemjar, menunjuk pada Keppres No. 53/1989 sebagai landasannya. Keppres itu, menurut Soemjar, memberikan kemungkinan bagi swasta untuk membangun kawasan industri di Telukjambe. Keputusan itu, ditinjau dari kaca mata ekonomi, memang masuk akal: Telukjambe dibelah oleh jalan tol Jakarta-Cikampek. Kegiatan industri, menurut Soemjar, memang diperlukan. "Tanpa industri, Karawang akan jauh tertinggal," ujarnya. Ada 7.100 ha lahan, menurut juru bicara Pemda Ja-Bar, J.A. Jussac, yang bisa dikonversikan menjadi daerah industri. Dari jumlah itu pun, menurut Jussac, "hanya" 3.000 ha yang akan diindustrikan. "Sisanya untuk tempat rekreasi, perumahan, hutan lindung, dan sebagainya," ujarnya. Tapi, mengapa harus menabrak taman penangkaran, sedangkan lahan masih berlebih? "Namanya saja swasta, tentu dia memilih lokasi yang paling baik untuk usahanya," kata Menteri Muda Perindustrian Tungky Ariwibowo, pejabat yang menentukan pengembangan kawasan industri di Indonesia, kepada Ardian Taufik Gesuri dari TEMPO. Kendati begitu, menurut Jussac, pemilihan lokasinya tidak sembarangan. Penempatan kawasan industri, "diprioritaskan pada kawasan hutan yang tak produktif, seperti hutan di Telukjambe itu," ujarnya. Dan seorang pejabat Perhutani Ja-Bar pun menimpali, "Rusa dulu atau perut bangsa?" Bagi dia, soal rusa bisa dinomorduakan. "Toh mereka bisa dipindahkan." Pemindahan itulah yang kini akan dilakukan. "Rusa-rusa itu tak bakalan sengsara," ujar Julian Sukrishna, Kepala KPH Purwakarta. Pindah tempat memang soal gampang, tapi bagaimana perencanaannya dulu. "Kami mengikuti saja pola pemerintah yang terang lebih baik, lebih menguntungkan," jawab Julian, enteng. Kapan pemindahan itu dilakukan, memang belum ada kepastian waktu. Namun, penggantinya telah disiapkan: pada lahan seluas 400 ha di Pandeglang, Ja-Bar, milik swasta calon investor industrial estate di Telukjambe itu. "Jadi, dipertukarkan, begitu," ujar juru bicara Departemen Kehutanan Agus Wahyudi. Sayang, belum banyak rumput di sana. "Lahan itu harus dihijaukan dulu," tambah Agus. Pada rencana semula, hutan Telukjambe itu direncanakan menjadi tempat perburuan rusa, sekaligus penangkarannya. Jika populasi rusa di hutan berpagar semak cebreng (Glirisidea) itu telah melampaui daya dukung lingkungannya, barulah perburuan dimulai. Tapi belakangan Telukjambe dianggap tak sesuai, udara di situ dianggap terlalu panas. "Akibatnya, rusa tak bisa cepat berkembang di situ," kata Agus Wahyudi. Putut Tri Husodo dan Ida Farida
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini