BUNYI petasan tak banyak kedengaran. Suara beduk pun -- yang selalu mengingatkan pada suasana tertentu Lebaran di kampung -- cuma milik mereka yang tinggal di sekitar masjid-masjid yang bercap tradisional. Namun, suasana yang "rada kering" itu tak lalu menjadi kehilangan arti. Bahkan ada yang terasa lebih. Setidaknya di Jakarta, tempat sejumlah khatib mengangkat tema mendasar dan relevan yang hampir seragam: kepekaan sosial. Allahuakbar... walillahilhamd. Di kompleks Gelora Senayan, H. Zainuddin Mz. berdiri di mimbar. Ia berhadapan dengan jamaah yang jumlahnya, menurut banyak orang, belum pernah ada di Indonesia -- ia memang dai yang paling laris dewasa ini. Di Masjid Istiqlal, H. Yunan Helmy Nasution berkhotbah di hadapan Presiden, Wakil Presiden, sejumlah Menteri. Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) K.H. Hasan Basri mengkhatibi jamaah Al-Azhar. Lalu ada Menteri Emil Salim di lapangan Jenderal Urip Sumohardjo, Jakarta Timur penyair Taufiq Ismail di Kompleks IKIP Rawamangun, dan Syu'bah Asa di Villa Pejaten Mas. Suara takbir terus bergema dari pengeras suara. Juga dari gumam mereka yang berada di barisan belakang jamaah salat Id. Mereka memahabesarkan Allah. Lalu para khatib mengingatkan ketidakberdayaan manusia di hadapan-Nya. Kemudian khatib pun menyampaikan uraian manfaat puasa. Juga mengajak umat menuju berbagai hal baik dengan bertitik tolak dari puasa, serta Idulfitri. "Puasa melatih dan menjadikan kita orang jujur," seru Zainuddin, dai yang kini paling populer dan paling laris. "Puasa," kata K.H. Hasan Basri, "membuka kepekaan sosial." Itu bukan kata-kata kosong. Khatib menguraikannya lebih panjang. Misalnya, ini menurut Zainuddin, seorang yang berpuasa berwudu untuk salat Duhur. Seandainya orang itu "korupsi sedikit" meminum air wudu itu, "jangankan laksus dan kamtib, teman sebelah pun tak akan tahu." Tapi, mengapa orang puasa tak melakukan hal itu, tak lain karena ia malu pada Allah. Rasa malu terhadap Allah inilah yang akan mengontrol kehidupan manusia untuk tetap lurus, bukan cuma di bulan Puasa. Bukan hal baru jika dikatakan bahwa "dengan berpuasa kita ikut merasakan lapar dan hausnya orang-orang miskin" -- sesuatu yang akan mendorong kesetiakawanan sosial. Tapi baru kali ini para khatib seperti berlomba menjadikan masalah sosial sebagai tema. Baik masih disangkutkan langsung dengan ibadah puasa, maupun dengan prinsip Islam secara umum. Mungkin tepat apa yang dikhotbahkan Syu'bah, wartawan yang menjadi salah seorang pengajar di Klub Pengajian Paramadina. Kata Syu'bah, saat ini Islam di Indonesia "sedang bergerak dari agama ritual (sesuatu yang semata bersifat pribadi) menjadi agama sosial." Sejumlah fakta dikemukakannya. Hingga tahun 1970-an, kata Syu'bah, tak banyak orang salat di kantor. Kalaupun dilakukan bahkan cenderung diejek "kuno." Sekarang, itu sesuatu yang biasa. Zakat yang dapat dikumpulkan pun kini semakin berlimpah. Antara lain dengan zakat, Islam meredam "dendam mereka yang kebetulan miskin terhadap mereka yang kebetulan kaya." Dengan zakat, gap kaya-miskin ditimbun. Umat bukan tak tahu soal ini. Maka, kalau K.H. Hasan Basri menyeru mereka yang mampu agar membantu fakir miskin, yatim piatu, yang telantar, yang terkena musibah, sebenarnya bukan "mengajak", melainkan "mengingatkan". Cara mengingatkan bisa beragam. Misalnya, seperti yang dilakukan Syu'bah. Ia mengatakan, "Kekayaan kita bukanlah milik kita sendiri. Yang sebagian adalah milik -- antara lain -- bocah-bocah asongan itu. Sungguh kebetulan semata bahwa anak-anak asongan itu bukan anak kita. Padahal, cahaya matanya -- bila Anda pandang -- sama dengan cahaya mata anak-anak kita." Dengan penyampaian yang lebih bernada ilmiah ketimbang teateral, Emil Salim menyatakan serupa. Ia menyebut lima prinsip Islam sebagai dasar pembinaan keakraban sosial. Yakni persamaan, persaudaraan, kesetiakawanan, menegakkan keadilan, dan kemerdekaan. Ada memang seseorang -- atau sekelompok orang -- yang menempati strata sosial lebih ketimbang yang lain berkat penguasaan modal, keterampilan, keahlian, teknologi, serta informasi yang berlebihan. Ini yang melahirkan kesenjangan sosial. Dalam pandangan Emil, jalan keluarnya adalah mengembangkan sistem ekonomi yang membina keakraban sosial. Misalnya koperasi. Modal perlu disebar. Bukan sebagai hibah. Melainkan sebagai investasi. Salah satu landasannya adalah Quran, surat Furqan 67. Yunan Helmy lebih langsung mengarahkan umat pada masalah sosial. "Keabsahan beragama," kata Yunan, "terletak pada usaha menyantuni dan mengayomi fakir miskin." Bertumpu pada hadis, ia menyebutkan empat tiang utama untuk membangun manusia seutuhnya. Yakni doa orang miskin, kemurahan pemilik harta, ilmu cendekiawan, serta keadilan penguasa. Para khatib tampak sadar benar pada arah khotbahnya. Mereka paham, pikiran komunis sering menumpang isu sosial. Maka, mereka memagarnya. Yunan lalu mengatakan, "Jangan mengeksploatasi kemiskinan dengan menumbuhkan nafsu amarah, iri, dengki, benci, serta membuat pertentangan kelas. Karena hal itu tak pernah menjadi obat perbaikan umat." Kenyataannya memang begitu. Banyak orang berteriak membela kalangan miskin sebagai cara menjadikan diri mereka anggota elite baru. Menurut istilah Zainuddin mereka berteriak "berantas korupsi." Tapi, begitu mendapatkan kesempatan, mereka bahkan lebih korup ketimbang yang dikritiknya. Maka, dengan gaya seperti membaca puisi, Taufik Ismail mengajak jemaah berdoa. "Jadikanlah zakat kami, wakaf kami, sedekah kami, kekuatan gabungan untuk mengatasi kesenjangan kaya dan miskin, untuk menutup pintu merajalelanya kembali komunisme di tanah air." Allahuakbar. Mungkin Lebaran kali ini terasa sepi dari letusan mercun. Tapi lebih ramai dengan seruan ke arah solidaritas sosial. Umat diajak melakukan ibadah sosial yang -- menurut Syu'bah -- pahalanya tak kurang dari ibadah ritual. Dan Islam "bukan agama tahunan" yang menganjurkan umatnya bersaleh-saleh selama bulan Puasa, tapi membiarkan semaunya pada sebelas bulan yang lain.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini