Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Mukjizat dan bahaya thaledomide

Penelitian baru mengungkapkan : thaledomide manjur dalam mengobati komplikasi penyakit lepra yang disebabkan gangguan pada sistem oto-imunisasi. kontra & pro obat yang bisa merusak perkembang janin ini.

5 Mei 1990 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

REPUTASI thaledomide memang begitu buruk. Bahkan obat ini membawa tragedi bagi sebagian generasi yang dilahirkan di akhir tahun lima puluhan dan awal enam puluhan, sehingga masih terasa dampaknya. Di Eropa, saat itu, setelah wanita yang mengandung menelan thaledomide sebagai obat penenang, 12 ribu bayi lahir dengan tangan dan kaki cacat. Sejak dilarang beredar di Barat, 1961, nama obat ini malahan tabu dibicarakan kecuali di lorong dunia kedokteran. Namun, dalam beberapa tahun terakhir ini, penelitian-penelitian baru telah memaksa para tabib di Eropa dan Amerika Serikat tergoda untuk mempertimbangkan kembali mukjizat thaledomide. Apalagi setelah seorang peneliti Israel mengungkapkan: thaledomide manjur dalam mengobati komplikasi penyakit lepra yang disebabkan gangguan pada sistem oto-imunisasi. Penemuan tersebut diperkuat oleh berbagai hasil uji coba, sebagian besar di negara-negara berkembang, yang membiarkan thaledomide bebas beredar. "Laporanlaporan yang kami terima berasal dari tempat-tempat yang tak diduga, seperti Ethiopia," ujar dr. Georgia B. Vogelsang dari Johns Hopkins School of Medicine di Baltimore. Malah, sekarang ini, perawat-perawat di leprosarium sudah mulai menggunakan thaledomide untuk mengobati penyakit oto-imunisasi lain seperti lupus erythematosus dan artritis. Sentral pada thaledomide adalah sifatnya yang menekan kerja daya tahan tubuh. Sehingga, dalam kasus lepra, saat sistem imunisasi seseorang "terkecoh" oleh bakteria-bakteria mati di sekitar sel-sel sehat, obat ini berperan sebagai agen yang mencegah tubuh menyerang sel-selnya sendiri. "Ini obat ajaib," seru dr. Robert C. Hastings, direktur penelitian pada National Hansen's Disease Center di Carville, Amerika Serikat. Setiap tahun, sejak 1966 National Hansen's memberikan pengobatan terhadap 350 pasien penderita lepra. "Dalam tempo 24 jam, thaledomide mampu mengimbangi serangan oto-imunisasi pada 95 persen pasien kami," kata Hastings. Sementara itu, bagi dr. Vogelsang, "obat ajaib" tersebut baru pada 1983 menarik perhatiannya. Ketika itu, setengah dari pasiennya yang menerima transplantasi tulang sumsum menderita komplikasi menyerupai penyakit oto-imunisasi. Penyebabnya adalah sel darah putih dari tulang sumsum cangkokan yang "menolak" dan "menyerang" sel-sel tubuh. Pengujian terhadap binatang, menurut ahli tumor ganas itu, membuahkan kesimpulan bahwa thaledomide satu-satunya agen yang dapat menyelamatkan seekor binatang dari penyakit akibat sistem imunisasi. Pengujian pada pasien yang menderita komplikasi parah akibat pencangkokan, pada 1987, baru dilakukan oleh dr. Vogelsang dan rekan-rekannya. "Dampak sampingan yang ditemukan yakni mengakibatkan kantuk, konstipasi ringan, dan dalam satu kasus, rasa nyeri pada jari tangan dan kaki," kata Vogelsang, seperti dikutip The New York Times 10 April lalu. Menurut dia, penggunaan thaledomide tidak membawa risiko kepada keturunan, karena pencangkokan telah membuat pasien steril sebelumnya. Hasilnya? Dari 100 pasien yang dirawat di John Hopkins dan pusat-pusat lainnya di dunia, sekitar 55 sampai 60 persen memberikan respons yang menggembirakan. Mereka yang tidak menunjukkan perubahan disebabkan karena tidak mampu menerima pengobatan thaledomide. Terdorong hasil-hasil yang dicapai di Johns Hopkins, pengujian thaledomide terhadap manusia mulai dilakukan di berbagai pusat penelitian di Amerika Serikat, Kanada, Australia, dan Amerika Latin. Beberapa peneliti kini bahkan menilainya sebagai obat yang lebih aman ketimbang steroid dalam pengobatan komplikasi pencangkokan tulang sumsum. Kendati begitu, para peneliti dan tabib masih menghadapi masalah besar perihal penggunaan thaledomide. "Walaupun thaledomide dianggap ajaib, saya tidak yakin obat ini akan dipakai secara meluas," ujar dr. Kenneth I. Kaitin, asisten direktur pusat pengembangan obat-obatan di Tufts University School of Medicine, Boston. "Di masa lampau, thaledomide menyebabkan tragedi yang mengakibatkan perubahan-perubahan pada undang-undang perobatan. Bahkan, sampai sekarang, sebagian besar dokter masih menganggapnya berbahaya." Contohnya juga ada di Hansen's Disease Center. Menurut dr. Hastings, penggunaan thaledomide terhadap pasien wanita yang subur sangat diawasi. "Selama pengobatan, mereka diharuskan mencatat periode menstruasi dan menjalani pemeriksaan tes kehamilan setiap minggu," katanya. Bahkan Food and Drug Administration, di Amerika Serikat, masih membatasi penggunaan obat penyakit "luar biasa" ini. Sampai hari ini malah belum ada yang berani memproduksinya. Kalaupun thaledomide tersedia -- seperti dihasilkan Andrulis Research Corporation di Besthesda -- umumnya masih dalam bentuk kimiawi. Justru itu, peneliti seperti dr. Vogelsang terpaksa mengubahnya sendiri dalam bentuk yang dapat digunakan. Sementara itu, pusat penelitian lain lebih senang memesan thaledomide dari Brasil. Reputasi thaledomide sebagai obat yang dapat merusak janin memang masih menakutkan banyak orang. Buntutnya bahkan panjang. "Sehingga kerja sama antara ahli kedokteran, perusahaan obat-obatan, dan pemerintah menjadi sulit," keluh Vogelsang. Yudhi Suryoatmodjo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus