DI antara 10 tamu penting itu tampak Hosen, Yulia, Tai-tai, dan Pauli. Setelah menginap sehari di Jakarta, mereka langsung diterbangkan ke Wanariset di Semboja, Kalimantan Timur. Di sana, Kamis pekan lalu, Hosen, Tai-tai, dan kawan-kawan, yang tak lain adalah orang utan, disambut Pangeran Bernhard dari Belanda. Peristiwa itu merupakan pengembalian orang utan yang kedua kalinya dari Taiwan. Sebelumnya, November 1991, dipulangkan tujuh ekor. Kesehatan mereka tampak meyakinkan. Menurut dokter hewan kebun binatang Taipei, Chi Chau-hwa, kesepuluh orang utan itu bebas dari TBC dan hepatitis. Umumnya, hewan itu merupakan kiriman dari penduduk. Tahun-tahun belakangan ini pemerintah Taiwan cukup peduli pada nasib satwa langka. Tiga tahun lalu, dikeluarkan UU konservasi. Lalu, biaya pemulangan sepuluh orang utan itu pekan lalu juga dari pemerintah Taiwan. Bahkan mereka berjanji membiayai rehabilitasi di Wanariset. "Dananya akan kami bicarakan," kata Sunny Ho, dari Yayasan Orang Utan Taiwan. Di Wanariset, orang utan akan direhabilitasi dengan pola reintroduksi. Berbeda dengan rehabilitasi di Tanjung Puting, pola reintroduksi yang diperkenalkan Herman Rijksen (Belanda) berintikan pengembalian orang utan ke kehidupan liar. Kontak dengan manusia, termasuk wisatawan, dibatasi sekali. "Pola ini akan dibakukan karena paling sempurna," kata Dirjen PHPA, Sutisna Wartapura, pada Rizal Effendy dari TEMPO. Tapi, Dodin Sayuti, Kepala Pusat Studi Satwa Primata IPB, Bogor, tidak sependapat. Katanya, orang utan itu merupakan sampah Taiwan. Tak jelas betul maksudnya. Tapi jika yang sepuluh itu sampah, lalu bagaimana ratusan orang utan lainnya, yang masih berada di Taiwan?BAS
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini